Seperti Juna
Juna baru sampai di rumah saat jarum jam di tangan kanannya menunjukkan pukul 10 tepat. Ia sengaja memilih untuk tidak ikut sholat tarawih di rumah, melainkan mampir di masjid yang ia lewati.
Suasana rumah besar itu sudah sepi. Lampu-lampu di ruang utama sudah dimatikan kecuali lampu untuk taman dan teras rumah yang sengaja dibiarkan selalu menyala.
Juna membawa mobilnya memasuki garasi, dan memarkirnya sedikit menjauh dari mobil Baskara. Ia lantas berjalan masuk, naik ke ruang kerjanya. Membersihkan badannya sebentar lalu mulai membuka laptopnya kembali, meneruskan pekerjaannya yang masih belum selesai.
Suara ketukan jarinya di atas laptop mengalun memenuhi ruangan kerjanya. Juna benar-benar mempersiapkan dengan detil, materi yang akan ia bawa untuk bertemu kliennya esok. Jangan sampai usahanya tidak membawa hasil apa-apa. Bagaimana pun, biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan sangatlah be
Tunggu Aku Lily tengah sibuk memotong ketupat di ruang makan, sedangkan kedua orang tuanya tengah menerima tamu. Ponselnya berdering, memaksa dirinya untuk berhenti sejenak dan bergegas mengambil benda pipih itu di kamarnya. "Assalammu'alaikum." Tidak ada suara yang terdengar di ujung sana. Sunyi. "Halo?" Masih sama. "Halo?" Lily masih bersabar menunggu. Terdengar desahan nafas di ujung sana. *Halo... Apa kabar? Deg. Detak jantung Lily seakan berhenti. Suara ini. Tenggorokannya terasa tercekat, tidak mampu menjawab sepatah kata pun. *Apakah masih di situ? Lily seketika gelagapan. Ia bingung hendak berkata apa. "Hmmm... Ma-Mmasih." Hening. Tidak ada satu pun yang bersuara. *Tolong maafkan aku. Banyak hal yang sudah kulakukan dan kuucapkan padamu, yang aku yakin, pasti sudah sangat menyakiti perasaanmu. Lily bergeming mendengarkan semua perkataan Juna. Entah mengapa, mendengar suara pria itu saja, sudah membuatnya lupa akan semua hal yang pernah Juna lakukan dan ucapkan
Berhutang Nyawa Juna turun dari taksi online yang mengantarnya dari bandara hingga ke depan rumah. Ia setengah berlari, menghindari rintik hujan yang mulai rapat. Tangan kanan melindungi kepalanya, dengan tas selempang yang diletakkan di atas kepalanya, sedangkan tangan kiri membawa koper berukuran sedang. Ia melihat sosok yang beberapa hari ini terus membayangi hidupnya, sedang berlari-lari sambil membawa baju-baju masuk ke dalam rumah, mencoba menyelamatkan baju-baju yang sudah kering itu dari guyuran hujan. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya, terus melangkah mendekat ke teras rumah. Juna segera melepas sepatuyang basah kuyup, dan meletakkan tas selempangnya di kursi teras berdampingan dengan koper berwarna biru navy. Ia pun melepas jaketnya yang juga basah kuyup terkena guyuran air hujan. Ingin sekalian melepas pakaiannya tapi urung, karena dirnya masih berada di
Malam Panas Juna terus mengamati wajah Pak Broto yang kini tampak sedang berpikir keras. Ia melihat ada keresahan di sana. Apakah pernikahannnya dengan Lily begitu berarti bagi laki-laki tua itu? Apakah ada suatu alasan tersendiri yang disimpan sang kakek? "Kakek?" Juna mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan laki-laki tua itu. Pak Broto melihat ke arah cucu laki-lakinya itu. "Tidak ada apa-apa. Hanya saja... Ada satu hal yang mengganggu pikiran Kakek. Sella. Mengapa gadis itu selalu saja datang kemari setiap dirinya menghabiskan liburan sekolah? Bukankah dirinya punya rumah sendiri?" Juna menghela nafas kasar. "Kakek tanyakan saja pada Mama. Juna sudah berulang kali mengingatkan mama. Juna dan Baskara juga sering mengigatkan gadis itu untuk tidak lagi datang kemari. Terlebih lagi, ada Lily di sini. Juna khawatir, Sella mempunyai tujuan buruk terhadap Lily." Pak Broto terkejut mendengar penuturan Juna. " Apakah ia sudah berani mengganggu Lily?" Juna menggelengkan kepala
Mari Bersandiwara Tenggorokan Lily seketika tercekat. Ia mulai merasa panas dingin, dan mulai mengutuki kebodohannya yang telah memancing hasrat terpendam Juna. Kali ini, ia mengaku salah. Salah besar! Suara serak Juna mengingatkannya pada malam itu. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan buruk itu. Jika boleh jujur, bukannya Lily tidak merasakan debaran aneh saat itu. Kenyataan bahwa dirinya yang belum siap, dan merasa sangat terkejut mendapati sikap Juna yang tiba-tiba menjadi begitu intim terhadapnya, membuat dirinya bereaksi berlebih. Syok karena sikap Juna yang berubah drastis dari sebelumnya dan tidak pernah terbayang dalam benaknya, dan rasa trauma karena tindakan Juna yang menjadi kasar tidak seperti dalam bayangannyan, membuatnya histeris dan membenci pria itu. Juna yang melihat tubuh Lily bergetar, terkejut. Tubuh itu gemetar, sama dengan waktu itu. Akal sehatnya kembali menguasai dirinya. Ia mundur beberapa langkah, membuat jarak dengan Lily ya
Jangan Membuatku Bingung "Bersandiwara?" Juna mengulangi ucapan Lily. Gadis itu mengagguk cepat. "Apa kau keberatan?" Lily menatap lekat manik hitam Juna. "Hanya untuk satu tahun." Juna terdiam. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa menangkap maksud usulan dari gadis yang duduk di seberangnya. Bersandiwara menjadi pasangan suami istri sesungguhnya? Ia terus mengulangi kalimat itu dan terus berusaha mencerna maksudnya. "Apa kau tidak apa-apa?" Juna memperhatikan wajah Lily yang masih menunggu jawabannya. Ia sedikit meragukan permintaan Lily. Tidakkah gadis itu menyimpan trauma terhadapnya? Mengapa justru mengusulkan hal yang tidak masuk akal seperti ini? "Tidak apa-apa." "Serius? Bukankah kau..." Juna tidak sampai hati untuk membuka kenangan malam itu. "Bantu aku untuk melupa
Apa Yang Terjadi? Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Juna mengajak Lily untuk pulang. Pembicaraan mereka masih belum selesai. Masing-masing masih memenangkan pendapatnya. Juna masih terus menolak ide Lily yang menurutnya begitu berbahaya. Ia bisa saja menyetujui ide itu, tapi ia tidak berani berjanji akan bisa mengendalikan emosinya di saat-saat tertentu, karena jika sampai hal yang sama terulang kembali, itu akan membuat hubungannya dengan Lily kembali renggang. Hanya alunan musik jazz yang terdengar. Lily dan Juna memilih diam, tidak lagi membahas masalah perceraian mereka. Pikiran mereka sibuk sendiri, mengabaikan satu dengan yang lain. Hingga akhirnya Lily bersuara, mengatakan keputusan mengerikan yang pernah ia buat sepanjang hidupnya. "Baiklah. Aku bersedia menerima konsekuensinya. Aku akan mempersiapkan diriku untuk kemungkinan terburuk." Kata-kata itu meng
Aku merindukanmu, Lily Baskara menatap keduanya. Wajahnya penuh dengan tanda tanya, tidak paham dengan yang sedang berlangsung di depannya. Lily. Sejak kapan gadis itu datang kemari? Apakah aku telah ketinggalan sesuatu, batinnya bingung. "Apa?" Juna menangkap sikap bingung Baskara, yang dengan cepat dipatahkan Baskara. "Tidak. Tidak ada apa-apa," sergahnya, lalu dengan cepat mengalihkan tatapannya kembali ke wajah Pak Broto. "Kek. Baskara pamit istirahat dulu. Besok kita lanjutkan lagi pembicaraan ini." Baskara memutar badannya, meninggalkan ketiganya. "Kemana saja kalian ini? Malam sudah larut begini baru pulang?" Pak Broto menampakkan wajah tidak sukanya pada Juna dan Lily. Pria tua itu lupa, jika Juna dan Lily sudah terikat sebagai suami istri. "Tidak ke mana-mana Kek. Hanya ke kafe di
Aku Tidak Akan MenyalahkanmuLily mulai meronta. Ia mulai berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Baskara. Ciuman yang diberikan oleh Baskara semakin membabi buta. Dirinya sama sekali tidak menduga jika Baskara akan bertindak sejauh itu."Le-paaas! Lepaskan aku! Aku mohon," pinta Lily di tengah-tengah usahanya melepaskan diri dari ciuman menuntut yang diberikan Baskara padanya."Lily, mengapa kau menolakku? Bukankah kau juga mencintaiku? Apakah kau mulai menerima cinta Juna? Apa kau sudah mulai melupakanku dan menggantikan diriku dengan dirinya?" tanya Baskara dengan nada tidak senang."Aku... Bukan begitu. Kau tidak boleh seperti ini. Jangan- Jangan seperti ini. Jangan membuatku merasakan trauma untuk yang kedua kalinya," mohon Lily dengan sedikit terisak."Mengapa kau harus trauma? Bukankah kau juga mencintaiku? Aku lebih pantas membe