Mari Bersandiwara Tenggorokan Lily seketika tercekat. Ia mulai merasa panas dingin, dan mulai mengutuki kebodohannya yang telah memancing hasrat terpendam Juna. Kali ini, ia mengaku salah. Salah besar! Suara serak Juna mengingatkannya pada malam itu. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan buruk itu. Jika boleh jujur, bukannya Lily tidak merasakan debaran aneh saat itu. Kenyataan bahwa dirinya yang belum siap, dan merasa sangat terkejut mendapati sikap Juna yang tiba-tiba menjadi begitu intim terhadapnya, membuat dirinya bereaksi berlebih. Syok karena sikap Juna yang berubah drastis dari sebelumnya dan tidak pernah terbayang dalam benaknya, dan rasa trauma karena tindakan Juna yang menjadi kasar tidak seperti dalam bayangannyan, membuatnya histeris dan membenci pria itu. Juna yang melihat tubuh Lily bergetar, terkejut. Tubuh itu gemetar, sama dengan waktu itu. Akal sehatnya kembali menguasai dirinya. Ia mundur beberapa langkah, membuat jarak dengan Lily ya
Jangan Membuatku Bingung "Bersandiwara?" Juna mengulangi ucapan Lily. Gadis itu mengagguk cepat. "Apa kau keberatan?" Lily menatap lekat manik hitam Juna. "Hanya untuk satu tahun." Juna terdiam. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa menangkap maksud usulan dari gadis yang duduk di seberangnya. Bersandiwara menjadi pasangan suami istri sesungguhnya? Ia terus mengulangi kalimat itu dan terus berusaha mencerna maksudnya. "Apa kau tidak apa-apa?" Juna memperhatikan wajah Lily yang masih menunggu jawabannya. Ia sedikit meragukan permintaan Lily. Tidakkah gadis itu menyimpan trauma terhadapnya? Mengapa justru mengusulkan hal yang tidak masuk akal seperti ini? "Tidak apa-apa." "Serius? Bukankah kau..." Juna tidak sampai hati untuk membuka kenangan malam itu. "Bantu aku untuk melupa
Apa Yang Terjadi? Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Juna mengajak Lily untuk pulang. Pembicaraan mereka masih belum selesai. Masing-masing masih memenangkan pendapatnya. Juna masih terus menolak ide Lily yang menurutnya begitu berbahaya. Ia bisa saja menyetujui ide itu, tapi ia tidak berani berjanji akan bisa mengendalikan emosinya di saat-saat tertentu, karena jika sampai hal yang sama terulang kembali, itu akan membuat hubungannya dengan Lily kembali renggang. Hanya alunan musik jazz yang terdengar. Lily dan Juna memilih diam, tidak lagi membahas masalah perceraian mereka. Pikiran mereka sibuk sendiri, mengabaikan satu dengan yang lain. Hingga akhirnya Lily bersuara, mengatakan keputusan mengerikan yang pernah ia buat sepanjang hidupnya. "Baiklah. Aku bersedia menerima konsekuensinya. Aku akan mempersiapkan diriku untuk kemungkinan terburuk." Kata-kata itu meng
Aku merindukanmu, Lily Baskara menatap keduanya. Wajahnya penuh dengan tanda tanya, tidak paham dengan yang sedang berlangsung di depannya. Lily. Sejak kapan gadis itu datang kemari? Apakah aku telah ketinggalan sesuatu, batinnya bingung. "Apa?" Juna menangkap sikap bingung Baskara, yang dengan cepat dipatahkan Baskara. "Tidak. Tidak ada apa-apa," sergahnya, lalu dengan cepat mengalihkan tatapannya kembali ke wajah Pak Broto. "Kek. Baskara pamit istirahat dulu. Besok kita lanjutkan lagi pembicaraan ini." Baskara memutar badannya, meninggalkan ketiganya. "Kemana saja kalian ini? Malam sudah larut begini baru pulang?" Pak Broto menampakkan wajah tidak sukanya pada Juna dan Lily. Pria tua itu lupa, jika Juna dan Lily sudah terikat sebagai suami istri. "Tidak ke mana-mana Kek. Hanya ke kafe di
Aku Tidak Akan MenyalahkanmuLily mulai meronta. Ia mulai berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Baskara. Ciuman yang diberikan oleh Baskara semakin membabi buta. Dirinya sama sekali tidak menduga jika Baskara akan bertindak sejauh itu."Le-paaas! Lepaskan aku! Aku mohon," pinta Lily di tengah-tengah usahanya melepaskan diri dari ciuman menuntut yang diberikan Baskara padanya."Lily, mengapa kau menolakku? Bukankah kau juga mencintaiku? Apakah kau mulai menerima cinta Juna? Apa kau sudah mulai melupakanku dan menggantikan diriku dengan dirinya?" tanya Baskara dengan nada tidak senang."Aku... Bukan begitu. Kau tidak boleh seperti ini. Jangan- Jangan seperti ini. Jangan membuatku merasakan trauma untuk yang kedua kalinya," mohon Lily dengan sedikit terisak."Mengapa kau harus trauma? Bukankah kau juga mencintaiku? Aku lebih pantas membe
Angan Juna Juna menghampiri Lily yang duduk diam di pinggir ranjang, lalu duduk setengah berjongkok di hadapan Lily. Pria itu meraih tangan kanan Lily, lalu menatap kedua mata Lily dengan tatapan lembut. "Lily," panggil Juna sedemikian lembut, membuat Lily sedikit meremang. "Aku ingin bertanya sedikit padamu. Maukah kau menjawabnya dengan jujur?" Ah! Mengapa sikapnya sekarang jadi lembut begini, teriak Lily dalam hati. Ia membalas tatapan Juna dengan tatapan penuh tanya. "Apa yang ingin kau tanyakan?" Lily memberanikan diri. "Apakah kau benar-benar setuju atau terpaksa menyetujui kesepakatan yang kita buat beberapa hari yang lalu?" Sekali lagi, Lily bergeming. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Juna. Ia justru semakin tajam menatap manik mata Juna yang, selama ini tidak pernah ia lakukan. "Jawablah dengan j
Keputusan Terbaik Juna bergeming. "Bukan begitu maksudku. Aku hanya..." Juna tidak melanjutkan kalimatnya. Ia mengikuti Lily yang kini beranjak dari tempatnya berdiri, berjalan meletakkan bantal yang ia bawa dari kamar tamu. "Aku tidak ingin berebut bantal dan guling denganmu. Aku ingin menikmati mimpi indahku tanpa harus bergulat demi sebuah guling denganmu." Lily menjawab pertanyaan yang tercetak jelas di wajah Juna, yang terkejut melihat dirinya membawa bantal dan guling dari kamar tamu. "Tidak! Tidak akan! Aku tidak akan mengganggumu. Aku bisa memastikan padamu bahwa dirimu bisa tidur dengan tenang dan menikmati mimpi indahmu. Aku akan tidur di sofa itu, dan kau bisa tidur di ranjang itu sendirian. Gunakanlah sesuka hatimu. Aku jamin aku tidak akan mengganggumu," ucap Juna dengan cepat. Pria itu dengan sigap mengambil buku yang tadi ia bawa, yan
Aku Harus Menjawab Apa? Baskara mengangkat kepalanya. Ia melihat Juna sudah berdiri tepat di seberang tempatnya duduk. Ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok Lily. "Lily masih di dapur memasak mie. Apakah kau juga lapar? Ayo, kita makan bersama," ajak Juna pada akhirnya. Ia dapat melihat dengan jelas kesedihan di wajah adiknya itu. Namun, ia tidak dapat berbuat banyak. Ia pantang membatalkan keputusan yang sudah ia ambil meski itu akan menyakitkan beberapa pihak. Tapi, setidaknya itu adalah hal terbaik yang harus ia ambil untuk saat ini. "Tidak usah. Aku hanya mampir untuk mengambil jaket dan sweater kakek yang ketinggalan." Baskara menolak ajakan Juna, meski sebenarnya perutnya sudah mulai keroncongan, akibat aroma menggoda bumbu mie goreng yang mengganggu indera penciumannya sejak tadi. "Menolak rezeki itu tidak baik. Perutmu sudah bernyanyi s