Seperti kemarin, Dasta di kejutkan dengan kehadiran Shaka yang sudah menunggunya pulang kerja. Pria itu terlihat sangat tampan dengan memakai kacamatanya, melipat kedua tangannya di dada dan menyandarkan tubuh kekarnya di mobil.
Dasta menghampiri Shaka yang menatapnya tajam di balik kacamata itu. Takut-takut Dasta berjalan menghampirinya."Sudah selesai?" tanya Shaka seraya membuka kaca matanya.Dasta mengangguk. "Kenapa Abang menjemputku lagi?" Dasta mengigit bibirnya ketika pertanyaan itu keluar dari mulutnya."Kenapa? Kau tidak suka jika aku menjemputmu?" Dasta menggeleng cepat."Lalu, mengapa kau selalu menanyakan hal itu?" tanya Shaka lagi yang merasa jika kehadirannya menjemput Dasta tak di sukainya."Aku-""Dengar Dasta, mulai sekarang aku yang akan menjemputmu pulang kerja. Bahkan kalau perlu aku juga yang akan mengantarkanmu pergi bekerja." keputusan Shaka tegas dan tak bisa di ganggu gugat."Apa? Ke-kenapa harus begitu bang?""Karena kamu calon istriku," Dasta terdiam setiap kali Shaka mengingatkannya jika ia adalah calon istrinya."Kamu harus mulai membiasakan diri padaku Dasta, toh nanti juga setelah menikah, kamu tak perlu lagi bekerja di toko roti ini. Mengerti!" lagi, Shaka memutuskan usulan secara pihaknya. Dan Dasta hanya bisa menganggukkan kepalanya, ia tak ingin membuat Shaka marah."Masuklah, aku ingin membawamu ke rumah malam ini. Rasty yang meminta, ia sangat merindukanmu." titah Shaka menyuruh Dasta masuk setelah ia membuka pintu mobil. Mendengar nama Rasty di sebut, tentu saja Dasta dengan senang hati menurutinya.Mobil Shaka berjalan meninggalkan toko roti tempat Dasta bekerja. Selama di perjalanan keduanya tampak diam membisu. Hanya sesekali Dasta melirik ke arah Shaka yang tengah fokus menyetir menatap jalanan depan."Kenapa kau melihat ku seperti itu?" tanya Shaka tiba-tiba membuat Dasta gelagapan. Dasta terlihat seperti orang yang sedang terciduk ketahuan mencuri, ke tangkap basah oleh para masa."Dasta, apa kau takut padaku?" tanya Shaka lagi karena Dasta sedari tadi hanya diam.Dasta bingung ingin menjawab apa, karena jujur ia memang sangat takut pada Shaka serta raut wajahnya.Tanpa Dasta duga, tangan kiri Shaka yang bebas terulur ke arah Dasta dan mengelus-elus lembut rambut serta kepalanya. Menghadirkan rasa nyaman dan terlindungi bagi Dasta.Shaka melirik sebentar ke arah Dasta yang tampak tenang, hanya sebentar, Shaka kembali fokus pada jalanan dan melepaskan tangannya di kepala Dasta."Dasta, maafkan perkataan ku tadi yang mungkin sedikit kasar dan melukai perasaanmu. Tapi sungguh, aku melakukan itu agar kau mengerti maksudku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, kau calon istriku Dasta."Hati Dasta berbunga dan jiwanya seakan melayang mendengar kalimat yang di lontarkan Shaka. Memang tidak manis maupun romantis, tapi arti makna dari ucapan Shaka itu lah yang membuatnya bahagia. Shaka ingin yang terbaik untuknya."Dan..., Ku harap kau tidak takut lagi padaku. Masa sama calon suami sendiri takut, sih." goda Shaka, Dasta terkekeh mendengarnya."Katakan sesuatu!" Dasta menoleh bingung ke arah Shaka. "Ayo, katakan sesuatu menurut penilaianmu tentangku.""Abang baik,""Hanya itu?""Iya."Shaka menganggukkan kepalanya, arti kata baik dalam artian apa yang di maksud Dasta ini? Shaka tentu baik, ia tidak sakit."Baik dalam artian apa? Setahuku baik, cantik atau tampan itu relatif bukan. Orang sering dan hampir selalu mengatakan hal itu pada seseorang yang baru di kenalnya."Dasta mengangguk membenarkan ucapan Shaka. "Jadi, coba kau katakan yang sejujurnya menurut penilaianmu tentangku. Bukankah kita sudah saling mengenal lama?""Kita memang sudah saling mengenal lama bang, tapi kita baru sedekat ini setelah kita berdua tahu, bahwa kita di jodohkan." ungkap Dasta menyuarakkan suara hatinya."Apakah kau kurang yakin padaku, Dasta?""Entahlah bang, terkadang aku masih sering merasa takut padamu. Melihat aura menakutkan di wajahmu. Terkadang juga, anehnya aku merasa jika raut wajahmu terlihat seperti jijik melihatku, eh!" Dasta tersadar jika ia sudah terlalu jauh bicara jujur pada Shaka mengenai sikapnya.Shaka tersenyum geli, sudah ia duga jika Dasta pasti takut padanya."Wajahku memang seperti ini Dasta, sikapku pun terkadang memang sangat dingin dan menyebalkan. Tapi...." Shaka menggantungkan kalimatnya."Tapi, jika kau mau aku mengubah sikap dinginku ini. Maka aku membutuhkan mu ikut dalam berperan mengubahnya. kau mengerti kan, Dasta?"Dasta tertegun mendengarnya. "Apa kau mau ikut masuk dalam memainkan peran itu?" tanya Shaka melirik sekilas.Dasta menganggukkan kepalanya mantap. "Ya!"Bagus! batin Shaka tersenyum samar."Dasta!!!" teriak nyaring Rasty kesenangan begitu melihat Dasta masuk ke dalam rumahnya melalui pintu utama bersama Shaka.Rasty langsung berlari kecil ke arah Dasta demi memeluk tubuh sahabatnya itu, spontan karena reaksi Rasty yang tiba-tiba berlari membuat semua orang panik dan terpekik. "Rasty, jangan berlari, ingat kau sedang hamil nak." itu suara bu Marwa yang mengingatkan Rasty jika ia sedang mengandung.Rasty menghentikan larinya menjadi jalan setelah hampir sedikit lagi dekat dengan Dasta. Lalu langsung menghambur memeluk Dasta yang juga membalas pelukannya."Aku merindukanmu." bisik Rasty sedikit terisak di telinga Dasta."Aku pun juga sangat merindukanmu, Rasty." Shaka yang berdiri di belakang Dasta, memperhatikan intens ke-akraban antara adik dan calon istrinya itu.Shaka mendengkus, tentu saja mereka sangat akrab. Kan, mereka sahabat."Abang," panggil Rasty pelan pada Shaka yang persis berdiri di belakang tubuh Dasta seperti b
Aku malu, rasanya pipiku memerah seperti kepiting rebus jika aku bercermin di kaca. Sepanjang perjalanan aku hanya diam saja di dalam mobil, sesekali aku lirik bang Shaka yang berekspresi biasa saja. Sepertinya dia tak berpengaruh pada godaan Rasty dan Tante Marwa yang sepanjang makan malam tadi berlangsung.Aku memegang pipi ku yang rasanya masih memanas saja, apalagi bayangan ciuman kami di kamar bang Shaka masih terus berputar di kepalaku."Besok tidak usah bekerja," kata bang Shaka membuka suaranya yang sedari tadi hanya diam.Aku menoleh ke arahnya yang fokus menyetir. "Kenapa?" tanyaku bingung."Besok kita berdua akan pergi ke butik, memilih gaun untuk acara pertunangan kita." beritahunya mengingatkan.Aku baru ingat sekarang jika besok adalah tanggal pertunangan yang sudah di tetapkan oleh kedua pihak keluarga. Lantas aku pun mengangguk mengiyakan."Sebulan setelah pertunanga
Acara pertunangan Shaka dan Dasta baru saja selesai, suasana haru dan bahagia begitu terasa malam ini. Meski cuma baru bertunangan, tapi kedua belah pihak keluarga tampak sangat semangat dan sudah tak sabar menanti sebulan lagi agar putra-putri mereka sah menjadi suami istri.Dasta tampak memandangi cincin pertunangan yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Cincin mewah bertatahkan berlian tampak berkilau dan indah di jari tangan Dasta.Tak henti-hentinya Dasta tersenyum membayangkan adegan tadi, dimana Shaka menyematkan cincin pertunangan mereka di jari manis tangan kirinya. Begitu lembut dan romantis, Dasta suka dengan sikap Shaka yang belakangan ini semakin manis padanya."Disini kau rupanya!" Dasta tersentak saat sebuah suara terdengar dari arah belakang tubuhnya, suara langkah kaki terdengar mendekati Dasta yang saat ini tengah berada di taman belakang rumah milik Shaka.Shaka tersenyum melihat calon istrinya ternyata ada disini, dari
Dasta menahan tangisan harunya ketika ia mendengar Shaka mengucapkan janji suci, bibir Dasta bergetar tatkala dirinya juga akan mengucapkan janji suci pernikahan.Tak sanggup menahan rasa bahagia ketika Shaka mengulurkan tangannya menarik tangan Dasta untuk ia sematkan cincin pernikahan di jari manis tangannya. Hal yang sama juga Dasta lakukan, keduanya saling menatap dan tersenyum bahagia.Kini mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri, para tamu hadirin pun bersorak menyuarakan sang pengantin pria untuk mencium sih pengantin wanita.Pipi Dasta merona merah mendengarnya, membayangkan jika Shaka menciumnya di depan banyak pasang mata yang menunggu dengan antusias.Shaka mendekatkan wajahnya ke wajah Dasta dan mulai menyapukan bibirnya ke bibir merah sang istri. Awalnya ia kecup perlahan namun lama-kelamaan menjadi lumatan panas. Para tamu semakin heboh bersorak gembira, Dasta mencoba untuk mendorong tubuh Shak
Pukul dua dini hari Shaka baru kembali pulang ke rumahnya, Shaka membuka pintu dan memasuki rumah megah itu dalam keadaan yang sudah sangat sunyi. Tentu saja, karena semua orang sudah tertidur pastinya.Shaka menaiki tangga menuju ke lantai atas, tujuannya saat ini adalah kamarnya yang sekarang sudah di sulap menjadi kamar pengantin. Ia sangat ingin melihat Dasta, apakah wanita itu sudah tertidur? Atau kelelahan menunggunya pulang?Shaka mengernyit heran saat ia memutar kenop pintu tapi pintunya tak bisa di buka, di kunci? Tebak Shaka cepat, ia pun merogoh saku celananya dan mengambil kunci cadangan kamar miliknya yang menang selalu ia bawa kemanapun selain kunci mobil.Cklek...Shaka membuka pintu kamar dan hal yang pertama kali ia tangkap dalam penglihatannya adalah kegelapan. Mengernyit heran karena lampu kamarnya di matikan. Apa mungkin Dasta yang melakukannya?Masuk ke kamar dan lan
Shaka yang kesal melihat wajah Dasta pun menarik rambutnya, menjambak kuat-kuat seakan ingin merontokkan rambut Dasta dari akarnya. Dasta meringis kesakitan dan berusaha melepaskan tangan Shaka."Sa-sakit..., Bang Shaka, ada apa denganmu?" rintih Dasta merasakan perih pada kulit kepalanya."Itu semua karenamu!" tegas Shaka melepaskan kasar rambut Dasta yang tadi di jambaknya.Kembali Dasta terjerembab di lantai, mata Dasta menatap lantai marmer kamarnya yang berwarna putih bersih itu. Masih tak habis pikir dengan yang barusan ia alami, Shaka membentak dirinya dan juga menjambak rambutnya kuat.Kenapa? Kenapa semua seperti ini? "Ini semua salahmu Dasta!" peringat Shaka menggeram marah.Dasta mengernyit heran dengan ucapan Shaka, semua karena kesalahannya? Dasta membalikkan badannya menghadap Shaka kembali yang menatapnya garang."Maksud bang Shaka apa? Kenapa Abang bilang ini semua salahku?" tanyanya polos."Ya, karena kaulah aku menderita!"
Semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan, kecuali Dasta yang juga belum menampakkan batang hidungnya. Semua mata menatap berbinar dan tersenyum geli saat melihat Shaka, terutama Rasty, tersenyum jahil ke arah Abangnya tersebut."Dimana istrimu, Shaka?" tanya bu Marwa.Gerakan tangan Shaka yang ingin menarik kursi untuk ia duduki pun terhenti, wajahnya mengeras saat mendengar nama wanita yang di bencinya itu di sebut.Cepat-cepat Shaka merubah raut wajahnya, tersenyum menatap ke arah sang mama."Dasta masih tidur ma, sepertinya dia sangat kelelahan sekali."Rasty bersorak kegirangan mendengar ucapan abangnya, semua orang menatap takjub dan bangga ke arah Shaka yang mengira jika mereka telah berhasil melakukan malam pertama."Kyaa!! berapa ronde tadi malam bang?" goda Rasty yang langsung mendapatkan pelototan mata Shaka.Rasty tak bisa lagi menaha
Cklek...Dasta terperanjat saat mendengar suara pintu kamarnya di buka, Dasta bangkit berdiri menyambut Shaka yang sepertinya baru pulang bekerja. Senyuman Dasta mengembang begitu melihat wajah Shaka, pria itu terlihat menutup pintu kamar dengan cepat dan sedikit membantingnya.Dasta tersentak kaget seraya menutup kedua telinganya, Shaka memandang Dasta dengan wajah marah."Beraninya kau melakukan hal seperti itu tadi pagi!" bentak Shaka murka.Kening Dasta mengkerut bingung. "Me—melakuan apa bang?" tanya Dasta tergagap."Kau masih bertanya lagi? apa kau memang lebih suka di hukum, huh?"Dasta menggeleng. "Coba Abang katakan dulu, kesalahan apa yang Dasta lakukan?""Diamlah, kau sialan!" Shaka terus membentak dan kini berjalan mendekati Dasta yang berdiri di tepi ranjang bak patung.Dasta gelagapan, ia tahu hal apa yang akan ia alami ber