Share

Bab 4

Ada yang ingin melenyapkannya.

Demikian asumsi Mahira pagi ini, setelah ia terbangun dan menemukan diri berada di sebuah kamar yang asing. Mahira menyadari dirinya sudah diculik. Dibawa ke sebuah tempat dan dikurung.

Pintu kamar itu terkunci ketika Mahira berusaha membukanya. Si gadis mengetuk, bahkan memukul-mukul, juga memanggil. Namun, tak ada orang yang menyahut atau datang.

Siapa? Kenapa? Untuk apa?

Siapa yang menculik Mahira? Kenapa orang itu melakukannya? Memang apa yang bisa diambil dari Mahira?

Beban pikiran si perempuan makin banyak. Belum juga berhasil merampungkan masalah soal kehamilan, sekarang, sudah ada masalah bau.

Perempuan itu bergerak menjauh dari pintu. Memeriksa meja dan nakas, mencari ransel dan ponsel. Namun, dua benda itu tak satu pun kelihatan.

Mahira kembali menggedor pintu kamarnya dari dalam. "Hei! Apa yang kalian lakukan padaku! Keluarkan aku dari sini!"

Masih tak ada sahutan. Mahira tidak menyerah. Ia terus menggedor pintu, memutar kasar kenopnya. Sembari menilik celah lain untuk bisa keluar dari sana. Sayangnya, kamar itu tidak dilengkapi jendela. Hanya ada ventilasi kecil di bagian atas, yang sudah pasti tak cukup untuk bisa meloloskan tubuh Mahira.

"Permisi, Nona."

Tangan Mahira berhenti memukul pintu. Ia mundur satu langkah, saat mendengar kunci pintu diputar.

Pintu itu akhirnya dibuka. Seorang pria muncul dengan senyum licik yang membuat Mahira waspada.

"Makananmu, Nona."

Lelaki itu mengangguk satu kali, kemudian seorang wanita dengan pakaian pelayan masuk membawa sebuah nampan berisi sepiring makanan dan segelas air.

Mahira mengabaikan wanita itu. Ia berusaha terlihat tenang dan menatap tajam pada lelaki tadi.

"Siapa kau? Kenapa kau mengurungku di sini?"

Lelaki itu tersenyum kecil. "Saya Albert, Nona. Dan perlu Nona ketahui, bukan saya yang mengurung Anda di sini. Saya hanya pekerja."

"Siapa bosmu?" tanya Mahira langsung.

"Anda masih harus menunggu," balas lelaki itu. "Selagi menunggu, silakan nikmati sarapan Anda."

Melihat Albert sudah akan pergi, Mahira sigap menarik lengan si lelaki. "Aku tidak mau menunggu," tuntut perempuan itu penuh penekanan.

Albert menjauhkan tangan Mahira. "Jangan sia-siakan tenaga Anda. Tunggu saja, jangan berpikir akan bisa lari dari sini."

"Kau pikir aku bodoh?" Mahira baru mengambil ancang-ancang untuk lari ke arah pintu, tetapi Albert lebih dulu menahan langkahnya dengan mendorong bahu perempuan itu.

"Jangan melakukan hal yang bisa membahayakan kehamilan Anda, Nona. Bos tidak akan suka."

Albert pergi. Pelayan yang tadi mengantar makanan juga melakukan hal serupa. Mahira ditinggalkan sendiri di ruangan yang pintunya sudah dikunci dari luar. Perempuan itu punya lebih banyak pertanyaan lagi sekarang.

Siapa orang yang sudah melakukan ini padanya? Mengapa bisa orang itu tahu jika saat ini Mahira sedang mengandung?

***

Berhari-hari sudah berlalu. Mahira semakin putus asa, sebab tak bisa berbuat apa-apa. Untuk keluar dari kamar saja pun, perempuan itu tak mampu.

Rumah tempat ia disekap benar-benar penjara. Sekali pun beberapa hari belakangan pintu kamar Mahira sudah tidak dikunci dari luar, tetap saja perempuan itu tak bisa ke mana-mana.

Di tiap sudut rumah berlantai satu itu diisi penjaga. Di depan pintu kamar mandi, di dapur, di teras, di halaman belakang, bahkan di belakang kamar yang Mahira gunakan.

Putus asa membuat Mahira stres. Karena itu, pagi ini perempuan itu tak mampu bangkit dari ranjang. Tubuhnya lemas sebab sejak kemarin belum mendapat asupan makanan apa pun. Mahira mual sepanjang hari sejak kemarin. Kepalanya juga pusing luar biasa.

"Nona, makanlah sedikit." Albert kembali membujuk Mahira, usai pelayan yang biasa mengantar makanan Mahira mengadu.

Di atas ranjang, Mahira hanya mampu melirik tajam pada lelaki itu. "Kau tidak mengerti? Aku bilang, aku tidak bisa makan. Aku akan memuntahkannya nanti."

Menghela napas, Albert menaruh mangkuk bubur di nampan. "Kalau begitu, biar saya panggilkan dokter saja. Nona bisa pingsan kalau terus tidak makan apa pun."

Albert menghubungi dokter. Setelah meminta dokter itu datang, ia kembali duduk di kursi dekat ranjang Mahira. Pria itu menaikkan alis ketika mendapati sang Nona menatapinya.

"Katakan padaku. Siapa bosmu?"

Tersenyum licik, Albert menggeleng.

Mahira menekuk wajah. "Apa kau tidak tahu kalau aku ini sedang stres?"

"Karena itu, jangan stres. Nona tidak lupa kalau sekarang sedang mengandung, 'kan?"

Mahira memukul kasur. "Bagaimana bisa aku tidak stres? Kalian ini siapa? Kenapa kalian menculikku?"

Albert bungkam. Pria itu memilih sibuk dengan ponsel dan mengabaikan protes Mahira.

"Baiklah. Kalau kau masih tak mau memberitahuku siapa bosmu, aku tidak sudi diperiksa dokter." Mahira menaikkan selimut hingga dagu. "Jangan bermimpi aku akan biarkan dokter itu menyentuhku!"

Meski tidak menatap Mahira, tetapi Albert sukses dibuat merapatkan gigi mendengar ancaman itu. Ia yakin si Nona benar-benar akan membutikkan ancaman itu.

Dan tebakan itu benar. Saat dokter yang Albert panggil datang, Mahira berteriak histeris. Perempuan itu menolak untuk disentuh, diperiksa atau diberi tindakan apa pun.

Mahira bahkan memukul perawat yang berusaha menyentuhnya. Meski tenaganya sudah tak banyak, gadis itu bahkan lari dari ranjang dan main kejar-kejaran dengan dokter dan perawat yang datang.

Albert sakit kepala. Ia menyerah. Maka pria itu menepi ke halaman belakang. Ia menghubungi sang tuan.

"Aku angkat tangan. Dia luar biasa merepotkan. Kalau kau mau dia dirawat, lakukan sesuatu."

Orang di ujung sambungan memaki, Albert menahan geram.

"Coba saja kau urus dia sendiri. Aku tak bisa melakukan apa pun lagi. Jika kau memang tak ingin dia mati, lakukan sesuatu."

Albert memutus sambungan telepon. Ia kembali ruang tamu, tempat tadi Mahira dan sang dokter berkejaran. Namun, ruangan itu sudah kosong. Hanya ada satu penjaga di sana.

"Di mana Mahira?"

"Nona lari ke halaman depan."

Kaki Albert bergerak cepat. Sesampainya di teras, pandangannya langsung berkeliaran untuk mencari keberadaan Mahira. Namun, tak ia temukan gadis aneh itu.

Albert melihat dokter dan perawat tadi. Ia mendekat ke sana. "Ke mana Mahira?"

Dokter dan perawat yang napasnya tersengal itu serempak mendongak ke atas. Albert ikut menengadah, kemudian mengumpat.

"Apa yang kau lakukan di atas sana, Mahira?!"

Ada sebuah pohon besar di belakang pagar rumah. Tingginya lumayan. Dan di sana, di salah satu rantingnya, Mahira sedang duduk. Albert luar biasa terkejut dan dongkol. Ia tak sangka akan ada makhluk seperti Mahira ini di muka bumi.

"Apa kau itu simpanse, Mahira? Turun!" Terlalu kesal, Albert melupakan sopan santun dan hanya menyebut nama Mahira, tanpa embel-embel Nona.

Di atas pohon, Mahira menggeleng. Ia memeluk batang pohon erat. "Beritahu aku siapa bosmu, baru aku akan turun."

Albert mengusap wajah kasar. "Kalau aku tidak mau? Kau akan terus di sana? Sampai kapan? Sampai kapan memangnya kau berani terus di sana?"

Mahira menengok ke bawah, ke arah luar pagar. Perempuan itu hanya perlu melompat, ia akan bisa menginjak beton, lalu melompat ke luar. Mata sayu perempuan itu menunjukkan kilat licik setelahnya.

"Aku akan di sini, sampai kau buka mulut soal siapa bosmu dan kenapa kalian melakukan ini padaku. Kalau kau tidak juga memberitahu, maka ... kau pasti tahu apa yang bisa aku lakukan, 'kan?"

Albert menggigit bibir. Ancaman Mahira terdengar lumayan membuat gugup. Bagaimana kalau perempuan itu benar-benar lompat? Bukan Mahira, Albert lebih mengkhawatirkan bayi di rahim si nona. Albert bisa kehilangan kepala kalau terjadi sesuatu pada janin itu.

....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status