Share

Bab 3

Duduk sendirian di salah satu kursi, Mahira membuat senyum saat melihat adiknya, Leoni, turun dari panggung kemudian menghampiri. Ada perasaan senang yang menggelayuti hati si kakak. Akhirnya, hari ini ia bisa menyaksikan Leoni bertunangan dengan Riga.

Pertunangan itu diadakan di sebuah gedung mewah. Meski tamu tak sampai ribuan orang, tetapi Mahira tetap senang, sebab adiknya terlihat bahagia. Terlebih, setelah ini, Riga berjanji akan secepatnya mengaturkan pernikahan. 

"Terima kasih," ucap Leoni usai memberi pelukan pada Mahira. "Kalau bukan kau yang mengenalkanku pada Riga, ini semua tak akan terjadi."

Mahira menggeleng. "Aku kenalkan pun, kalau kalian memang tidak saling suka, ini semua tak akan terjadi."

Leoni mengangguk saja. "Oh, iya. Aku ingin ceritakan sesuatu." Perempuan itu mendekatkan kursi pada Mahira.

"Soal apa?" Mahira berusaha fokus mendengarkan, meski sebenarnya kepala penuh dengan masalah sendiri.

"Aku bertanya pada orangtuanya Riga tadi. Soal harus memberikan hadiah apa pada Riga, saat ulang tahun nanti."

Kepala Mahira mengangguk satu kali. "Lalu?"

"Mereka bilang ulang tahun Riga masih lima bulan lagi."

"Terlalu cepat menyiapkan hadiah?" tebak Mahira.

Leoni menggeleng. "Riga sendiri yang mengatakan padaku kalau ulang tahunya seminggu lagi." Wajah perempuan itu dihiasi mimik bingung.

Leoni tidak paham mengapa bisa orangtua Riga tidak ingat ulang tahun anak sendiri. Riga yang salah memberitahu atau memang orangtua Riga yang keliru. Dan entah kenapa, masalah kecil ini cukup membuat Leoni khawatir.

Ia dan Riga berkenalan baru dua bulan. Jujur, Leoni belum bisa memastikan ia mengenal sang calon suami sepenuhnya. Belum lagi, selama ini ia belum pernah berkunjung ke rumah si pria. Hanya Riga yang kerap datang, itupun menginap di hotel.  Karena itu, wajar saja baginya bila merasa hal sepele tadi patut dipikirkan.

Di tempatnya, Mahira berusaha mencerna. Tak tega melihat wajah gusar sang adik, ia mengambil opsi paling masuk akal untuk dikatakan.

"Mungkin, mereka lupa. Mereka sudah tua. Ayah saja suka lupa ulang tahunmu, 'kan?" tutur Mahira berusaha menenangkan adiknya.

Leoni mengangguk saja. "Apa aku terlalu serius menanggapi itu?"

Mahira memberi senyum. "Tenang saja. Sejauh ini Riga terlihat jujur, 'kan?"

Mahira berusaha meyakinkan diri atas kalimat tadi. Mulanya, Riga bilang tak ingin mengundang orangtuanya. Namun, ketika didesak, pria itu menuruti. Belakangan si lelaki mengaku kalau memang hubunganya dengan ayah dan ibu tidak terlalu baik.

Sejauh ini, Riga memang terlihat jujur. Jadi, harusnya tak perlu ada yang dikhawatirkan. Dan sebenar-benarnya, Mahira tak mau membuat Leoni cemas berlebihan. Adiknya itu terlihat sangat mencintai Riga.

Si adik berdeham mengiyakan. Mahira mulai merasa perutnya tak nyaman. Mualnya datang lagi. Ia pun permisi untuk pergi ke toilet.

Selesai dari toilet, Mahira memilih menenangkan diri di taman yang berada di belakang gedung pertunangan. Duduk di sana sendirian, perempuan itu mulai memikirkan kembali masalahnya.

Sial sekali. Tebakan Riga kemarin benar seratus persen. Mahira ternyata memang hamil. Bukan hanya satu alat tes yang membuktikan itu, tetapi tujuh.

Sekarang, si perempuan sedang bingung harus melakukan apa. Ia sama sekali tak punya cara untuk menangani keadaan sulit ini.

Tawaran Riga yang bersedia mengantar Mahira bertemu Alex, jelas tidak akan mengubah apa-apa. Mahira yakin Alex tidak akan mengakui apa yang sudah diperbuat. Meminta Alex bertanggungjawab hanya akan membuat Mahira jauh lebih menyedihkan.

Mengaku pada keluarga, pun tak berani Mahira lakukan. Ia yakin ayahnya akan terkena serangan jantung saat mengetahui putri sulungnya hamil dan ditinggalkan begitu saja.

Mahira benar-benar menemukan jalan buntu. Ia terjebak di situasi yang serba salah. Tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa ke mana-mana.

Tunggu.

Tidak bisa ke mana-mana?

Itu tidak benar sepertinya.

***

Pagi-pagi sekali di esok harinya, Mahira berpamitan pada ayah, ibu dan juga adiknya. Dengan dua ransel, perempuan itu akan pergi meninggalkan rumah hari ini.

"Apa harus kau pergi mendadak seperti ini?" Adi, ayahnya Mahira, terlihat enggan melepas si putri.

Mahira mengangguk. Ia memasang senyum meyakinkan, seolah semua baik-baik saja. Seolah kepergiannya ini memang untuk bekerja di luar kota. Bukan melarikan diri demi menyembunyikan kehamilan.

Siapa sangka? Mahira akhirnya menemukan solusi. Daripada mendatangi Alex, tidak ingin membuat orangtuanya sedih dan terbebani. Mahira putuskan untuk mengungsi sementara.

Bekerja adalah alasan perempuan itu. Ia akan tinggal di tempat yang jauh dari keluarga. Menunggu sampai bayinya lahir, kemudian ... entahlah. Nanti saja dipikirkan.

Usai berpamitan, Mahira bergegas berangkat. Perempuan itu sudah membeli tiket bus kemarin.

Tepat waktu tiba di loket bus, Mahira berangkat sesuai jadwal di tiket. Di dalam bus, meski perasaannya gusar dan sedikit takut, Mahira berusaha menguatkan hati. Saat ini ia hanya bisa mengandalkan diri sendiri.

Ia mulai merancang apa-apa saja yang harus dilakukan saat sudah tiba di kota yang baru. Pertama, Mahira akan mencari tempat tinggal yang murah. Kemudian, mencari pekerjaan. Lalu, hidup dengan tenang.

Menyedihkan memang nasib yang perempuan itu punya. Namun, ia bisa apa sekarang? Menangisinya? Menyalahkan orang lain? Mahira sadar itu hanya akan membuatnya semakin merasa sakit. Jadi, lebih baik seperti ini saja.

Mahira akan berusaha bertahan, sekuat yang ia bisa.

Saat Mahira tengah menikmati pemandangan pepohonan di kiri dan kanan jalan, tiba-tiba saja bus yang perempuan itu tumpangi berhenti mendadak. Semua orang di dalam bus berteriak histeris.

"Ada apa ini?" Seorang penumpang yang duduk di depan Mahira berdiri untuk memeriksa.

"Saya juga tidak tahu. Mobil-mobil mewah ini tiba-tiba mengadang jalan kita."

Mahira ikut berdiri. Benar kata si supir. Ada lebih dari lima mobil sedan hitam yang terpakir asal di depan bus mereka.

"Siapa mereka?"

Baru saja tanya itu disuarakan penumpang yang lain, Mahira terkejut saat tiba-tiba saja segerombolan lelaki yang turun dari sedan memaksa masuk ke bus.

Orang-orang berwajah bengis itu memeriksa satu per satu kursi, seolah sedang mencari sesuatu. Atau seseorang, sebab saat salah satu dari mereka melihat Mahira, orang itu berteriak.

"Di sini. Kita menemukan dia."

Mahira gelagapan saat dua orang lelaki langsung menyergap tangannya. Memeganginya kuat, lalu menyeretnya turun dari bus.

"Lepaskan! Kalian siapa?!" Mahira menendang kaki lelaki di kiri. Sayang, sepertinya kurang kuat, sebab orang itu bergeming.

Semua orang yang tadi masuk ke bus turun, saat Mahira berhasil dibawa keluar dari bus. Perempuan itu dipaksa masuk ke dalam salah satu sedan. Meski si gadis sudah berusaha meronta dengan menendang atau memukul, pada akhirnya perlawanan itu sia-sia belaka.

Seseorang membekap mulut Mahira dengan sapu tangan yang beraroma wangi. Wanginya amat menyengat, sampai-sampai si gadis dibuat tak sadarkan diri, kemudian dibawa pergi tanpa perlawanan lagi.

....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status