Share

Bab 5

Hal pertama yang Mahira lihat di pagi ini ketika membuka mata adalah ... Alex.

Perempuan itu mengerjap. Memastikan bahwa pusing yang mendera bukan sebab ia berhalusinasi. Berkedip beberapa kali, Mahira masih melihat Alex di hadapannya. Ia pun duduk.

Mahira mengangkat tangan, kemudian menemukan ada jarum infus yang tertempel di sana. Ia kembali menoleh dan masih melihat Alex di sana.

"Mencariku, Sayang?"

Si wanita berhenti berkedip. Sorot matanya menjadi dingin. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, tangan Mahira berhasil memberikan satu tamparan keras di wajah Alex.

"Bajingan," maki Mahira pelan, tetapi penuh kebencian.

Alex menggosok pipinya sesaat. Pria itu tersenyum jenaka. Seolah makian atau tamparan Mahira tak berarti apa-apa untuknya.

Lelaki itu mendekat, duduk di tepian ranjang Mahira. "Bagaimana keadaanmu?" Mata Alex melirik ke arah perut si perempuan. "Kau hampir membahayakan bayimu, Sayang."

Kemarin, Mahira nyaris jatuh dari atas pohon. Kelelahan, pun perempuan itu keras kepala untuk bertahan di atas pohon. Karena itulah Alex ada di sini sekarang.

Tak puas hanya menampar, Mahira melepas jarum infus. Pukulan bertubi-tubi ia berikan pada Alex. Kepala, wajah, semua bagian tubuh Alex yang bisa ia jangkau, Mahira pukul.

Napasnya yang tersengal membuat Mahira berhenti menganiayai Alex. "Kenapa kau lakukan itu padaku?"

Alex mengusap sudut bibirnya yang terasa sedikit sakit. "Kau cantik," balasnya tanpa menatap si perempuan.

Saat Mahira kembali hendak melayangkan pukulan, kali ini Alex sigap mencekal tangan perempuan itu.

"Cukup. Kau bisa pingsan." Alex bisa melihat bagaimana Mahira kesulitan mengambil napas. "Albert!" panggilnya.

Tak lama, Albert datang.

"Ambilkan air. Panggilkan dokter," perintah Alex, sembari memaksa Mahira berbaring.

Albert pergi menjalankan perintah, Mahira kembali berusaha bangun. Namun, Alex menekan bahunya, hingga perempuan itu kembali terbaring.

"Jauhkan tanganmu dariku, Bajingan!"

Menggeleng tenang, Alex mengambil seutas tali dari laci nakas. Ia satukan kedua tangan Mahira ke atas kepala perempuan itu, kemudian mengikatnya ke kepala ranjang.

"Berbaring. Kau bisa pingsan lagi."

Alex menyelipkan bantal di bawah kepala Mahira. Saat Albert datang membawakan air, ia bantu si perempuan minum. Namun, Mahira malah menyemburkan air itu ke wajahnya.

"Lepaskan aku, Bajingan. Kau kira kau bisa melakukan ini padaku?"

Menyeka wajahnya yang basah, Alex tak menyerah. Ia kembali membantu Mahira minum. Kali ini perempuan itu menurut, setelah Alex sedikit melotot.

Alex kembali duduk di tepian ranjang. Ia menatapi wajah Mahira lumayan lama, kemudian tersenyum.

"Dengarkan aku ...." Pria itu memindahkan pandang ke arah dua lengan Mahira yang terikat ke atas. "Astaga, kenapa kau cantik sekali?"

Pria itu beranjak, memilih duduk di kursi dekat ranjang. Berusaha bersikap hati-hati.

"Dengarkan aku," ulangnya berusaha fokus menatap wajah Mahira dan bukan yang lain. "Jangan persulit dirimu. Tinggal di sini, setidaknya sampai anakmu lahir."

Mahira membuang wajah. Hatinya entah kenapa terasa sakit mendengar Alex bicara begitu. Anakmu? Hanya anak Mahira?

"Itu tidak sulit. Kau hanya perlu jadi penurut dan berhenti mencoba kabur. Kau tak akan bisa ke mana-mana. Sekali lagi kuberitahu, kau tidak akan bisa ke mana-mana lagi, Mahira."

Tak ada yang bicara lagi selama bermenit-menit setelahnya. Mahira berusaha tetap tenang dan mencari jalan keluar. Alex asyik menatap wajah perempuan di hadapannya.

"Kau ingin sesuatu sekarang?" tanya Alex memecah hening.

Mahira menengok. "Membunuhmu?"

Tawa Alex langsung menyembur setelah mendengar itu. "Apa kau sangat membenciku? Salahku apa?"

"Salahmu apa? Apa meniduri perempuan yang bahkan tidak kau kenal bukan kesalahan?"

Alex diam untuk sesaat. Pria itu tersenyum penuh arti setelahnya. "Kau membenci orang yang menidurimu?"

"Lalu aku harus berterima kasih?" balas Mahira dengan senyum miring.

"Kau marah karena kau hamil?" tebak Alex.

Si perempuan merapatkan bibir. Ia memalingkan wajah sekali lagi.

"Kalau begitu, apa kau mau aku melenyapkan janin itu untukmu?"

Sadar kakinya tidak terikat, Mahira melayangkan satu tendangan ke wajah Alex. Ia puas karena berhasil membuat lelaki itu tersungkur dari kursi, meski punggung kakinya terasa berdenyut sakit.

"Mahira!" bentak Alex tak terima. Ia memegangi pipinya yang tadi ditendang. Matanya menatap galak si perempuan.

Mahira langsung membalik tubuh. Memunggungi Alex. Meski berusaha tak takut, tetapi Mahira tetap merasa gugup saat mata tajam Alex menatapnya seperti barusan. 

***

Esok paginya, Mahira tak lagi menemukan Alex di rumah itu. Ikatan di lengannya juga sudah dilepas. Pagi ini, Mahira diajak, lebih tepatnya dipaksa Albert untuk sarapan di meja makan.

Mengabaikan rasa marahnya, pagi ini Mahira menikmati sarapan dengan tenang. Ia memikirkan janin di yang berada di kandungan. Jika terus-terusan kurang nutrisi, perkemabngan janin itu bisa terganggu.

"Di mana bajingan itu?" tanya Mahira usai menandaskan isi gelasnya.

"Tuan Alex?"

"Memang ada bajingan lain selain dia?"

"Tuan Alex sudah pergi dini hari tadi. Kembali ke rumahnya."

Mendengar panggilan Tuan yang Albert sematkan, Mahira menjadi makin yakin jika benar Alexlah dalang di balik semua keburukan yang menimpanya.

"Tuan Alex membawakan banyak pakaian untuk Nona. Dia juga berpesan untuk membiarkan Anda keluar rumah."

Mata Mahira melebar. Ia terlihat luar biasa antusias. "Keluar rumah? Benarkah?"

Albert mengangguk. "Bersama saya dan beberapa pengawal."

Beberapa pengawal. Mahira kira mungkin hanya dua. Ternyata, saat ia bilang ingin keluar rumah untuk sekadar berjalan-jalan, lima iring-iringan mobil mengikuti mobil yang Mahira tumpangi.

Si perempuan menyandarkan kepala ke kaca mobil. Wajahnya terlihat mendung. Kalau begini, apa bedanya?

"Anda boleh menurunkan kaca jendelanya, Nona," saran Albert yang duduk di samping Mahira.

Mahira hanya melirik kesal. "Apa ini namanya boleh keluar rumah? Kau kira aku ini apa?"

Albert jadi serba-salah. "Bukankah tadi Anda bilang hanya ingin diajak berkeliling dengan mobil?" Ia bingung kenapa Mahira masih saja protes.

"Apa gunanya kalau kau juga membawa lebih dari dua puluh orang?"

Mahira sangsi dirinya akan bisa kabur. Kalau hanya diikuti dua atau tiga pengawal, mungkin ia bisa melarikan diri. Jika sampai ada dua puluh orang? Bagaimana Mahira bisa lepas dari pengawasan?

"Itu harusnya tidak masalah, Nona," balas Albert dengan senyum pongah. "Kecuali, Anda merencanakan kabur. Dua puluh orang cukup untuk mencari Anda."

Alasan ingin berkeliling gagal, Mahira meminta segera pulang. Setibanya di rumah, perempuan itu menemukan Alex di kamarnya.

"Bagaimana jalan-jalanmu?" Lelaki itu langsung berdiri dan memundurkan langkah saat tahu Mahira mengambil ancang-ancang untuk memukulnya.

"Aku benar-benar akan membunuhmu!" Tak tahu harus melampiaskan rasa kesal dan putus asanya pada siapa, Mahira memilih meluapkan itu pada Alex.

Alex memegangi kedua tangan Mahira yang berusaha memukulnya. "Hei, apa kau begitu membenciku? Aku salah apa?"

Salah apa? Mahira menginjak kaki Alex sekuat yang dia bisa.

"Kau membuatku hamil dan masih bertanya salahmu apa?"

Mahira menjambak rambut Alex. Tangannya terasa lengket karena jel rambut yang lelaki itu pakai. Belum puas, ia mencubit lalu mencakar pipi Alex. Si lelaki berteriak, seolah perutnya ditusuk.

"Bajingan! Aku bersumpah akan membunuhmu!" teriak Mahira puas.

Berusaha melepaskan diri dari Mahira, Alex berhasil menarik lepas rambut dan pipinya dari perempuan itu.

"Aku tidak bersalah, Mahira! Kenapa kau terus-terusan memukuliku?!" protes pria itu tak terima.

Mahira berusaha mengatur napas. Perempuan itu mengambil ancang-ancang untuk kembali mencakar wajah Alex, tetapi mendadak terdiam saat si lelaki buka suara.

"Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"

....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status