Share

Bab 6

Warning! 18+

"Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"

Mendengar kalimat itu, darah Mahira mendidih. Ia luar biasa marah. Rasanya perempuan itu benar-benar ingin menghabisi Alex.

Mahira pun keluar dari kamar. Ia ingat pernah melihat tongkat bisbol dibawa salah satu pengawal yang berjaga di dekat dapur. Perempuan itu ke sana, mengambil tongkat tadi, kemudian mendatangi Alex yang sudah berada di ruang tamu.

Ia sudah pernah menduga ini, bukan? Alex bisa saja tak mengakui anak yang sekarang Mahira kandung. Namun, mendengar hal itu secara langsung seperti tadi, hati Mahira benar-benar hancur.

Manusia macam apa Alex ini? Sudah keji mencuri sesuatu dari Mahira, pun mengingkari kebenaran yang ada.

Maka Mahira merasa tak boleh lagi menahan kemarahan. Ia ayunkan tongkat bisbol itu hingga menghantam perut Alex. Si pria memekik, kemudian terjatuh di lantai.

Mahira menangis. "Aku bahkan tidak mengenalmu, tapi kau tega berbuat sejahat ini padaku? Kau pantas mati!"

Dua pukulan lagi Mahira berikan ke tubuh Alex. Satu di punggung, satu di kaki si lelaki. Alex mengaduh kesakitan.

"Mahira, ini sakit. Kau mau membunuhku?" Alex berteriak sembari memegangi kakinya yang seperti akan patah.

Berjalan pelan mendekat, Mahira mengangguk. Ia ayunkan kembali tongkat di tangan. Nyaris mengenai kepala Alex, kalau saja lelaki itu tidak mengelak.

Tongkat di tangan Mahira menghancurkan vas bunga di atas meja yang terbalik. Perempuan itu menggigit bibir geram karena sasarannya meleset. Kepala Alex masih tegak.

Namun, saat Alex kembali berdiri, Mahira terkejut saat menemukan darah segar mengalir dari kening si pria. Alex bahkan terlihat mengerjap-ngerjap dan sempoyongan.

Tak lama, Alex roboh ke lantai. Mata pria itu tertutup, luka di keningnya mengeluarkan darah semakin banyak.

Tongkat dari tangan Mahira terjatuh. Tangan perempuan itu gemetar. Ia mendekat, kemudian berjongkok di samping Alex yang sudah tak sadarkan diri.

Mahira mendongak dan menemukan Albert. Pengawalnya itu tampak ketakutan.

"A--apa dia mati?" tanya Mahira.

Albert tidak menjawab. Matanya terus memaku tatapan pada Alex.

"Al-Albert? Apa dia mati?" ulang Mahira. "Dokter. Panggil dokter!" Perempuan itu lemas saat cairan merah dari kepala Alex sudah membasahi lantai.

***

Mahira tak menyangka kalau ia akan merasakan ini. Perempuan itu bersyukur, lega, ketika Albert datang dan membawa kabar jika Alex masih hidup.

Selepas kejadian kemarin, Alex dibawa ke rumah sakit. Sampai siang tadi Mahira tak mendengar kabar apa-apa soal keadaan laki-laki itu. Ia hampir mati penasaran dan takut. Beruntung Albert berbaik hati memberitahu.

"Anda nyaris membunuhnya, Nona," tutur Albert, sembari mengangsurkan segelas air putih pada Mahira.

Mahira menyipitkan mata. "Kenapa kalian tidak menghentikanku?"

Albert menggeleng. "Tuan Alex melarang."

Dahi Mahira berlipat. "Kenapa dia melarang? Apa dia benar-benar mau mati di tanganku?"

Albert mengangkat bahu. "Mungkin, Tuan merasa bersalah?"

Perkataan Albert membuat Mahira tertegun. Merasa bersalah? Itu sebabnya Alex diam saja dan tak mengerahkan para pengawal di rumah untuk melawan Mahira kemarin?

"Nona, apa sungguh Nona akan puas jika Tuan Alex mati?"

Ditanyai begitu, Mahira merasa dituduh. Perempuan itu menatap lurus, menilik hatinya.

"Dia melakukan hal jahat padaku, Albert. Kau tidak tahu apa-apa."

Kepala Albert menunduk. "Maafkan saya. Tapi, saya sudah tahu semuanya. Jadi, saya bisa maklum dengan kemarahan Nona."

Mahira menunduk dalam. Ia malu. "Menurutmu, setelah semua yang dia lakukan. Apa aku tidak pantas membunuhnya? Dia bahkan mengurungku di sini."

"Anda berniat kabur, Nona. Anda dikurung di sini agar tak sendirian merawat bayi itu."

Mahira memeluk bantal sofa. Kenapa ucapan Albert terdengar masuk akal? Jadi, apa Alex tidak sejahat itu?

"Apa kalau Tuan Alex mati, Anda akan memaafkannya?"

Si perempuan melirik kesal pada Albert. "Apa aku terlihat sejahat dia?" protesnya tak terima dituduh menginginkan kematian orang lain.

"Jadi, Anda sudah memaafkan Tuan Alex?"

Mahira menaruh bantal ketika berdiri dari duduk. "Tidak semudah itu," ucapnya sembari pergi ke kamar.

***

Mahira terbangun di dini hari. Hal itu membuat seisi rumah ikut terjaga. Albert langsung masuk ke kamar sang Nona saat mendengar suara orang muntah.

"Anda tidak makan obat dari dokter?" Albert memberi segelas teh hangat pada Mahira yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Tidak menjawab, Mahira memilih langsung merebahkan tubuh di kasur. Perempuan itu berusaha tidur, berharap mualnya mereda.

"Minum ini sedikit." Albert menawarkan.

Si perempuan menggeleng. "Keluar kau dari sini." Ia mendadak sedih.

"Kenapa saya harus keluar? Saya harus pastikan Anda sudah baik-baik saja."

Mahira menatap Albert tajam. "Keluar kataku! Kau siapa memangnya? Apa kau ayah anak ini?!"

Emosi Mahira meledak. Perempuan itu merasa suasana hatinya kacau. Sejak kemarin, ia punya rasa bersalah pada Alex. Bagaimana juga, ia nyaris melenyapkan lelaki itu.

Kemudian, morning sickness si perempuan yang semakin parah. Tidak kenal waktu. Entah itu pagi atau dini hari seperti sekarang. Mahira semakin sering mual. Ia hanya bisa makan bubur, kadang tak bisa menelan makanan yang sangat ingin dimakan.

Parahnya, Mahira juga mengharapkan perhatian. Perempuan itu akhirnya sadar jika pergi dari rumah ayah dan ibu adalah keputusan salah. Mahira butuh dipedulikan. Ia ingin ditemani. Namun, tak ada satu orang pun di sini.

Albert memang selalu siap siaga. Lelaki itu bahkan kerap tidak tidur demi siaga membantunya di keadaan seperti sekarang. Namun, bukan itu yang Mahira harapkan.

Merasa keinginannya sangat bodoh, Mahira menangis. Perempuan itu menyembunyikan wajahnya di bantal. Meredam tangis, meski isakannya masih terdengar.

"Anda butuh sesuatu, Nona?" Albert mendekat ke ranjang. Ia tiba-tiba saja iba.

"Tidak. Kau keluar saja."

"Anda butuh ayah bayi itu, Nona?"

Tidak menjawab, suara tangis Mahira terdengar lebih kencang. Hal itu membuat Albert menghela napas. Lelaki itu pun terpaksa keluar dari kamar.

Duduk di ruang tamu, Albert langsung menghubungi seseorang. Ia yakin orang itu belumlah tidur. Kalau pun tidur, Albert akan tunggu sampai orang itu bangun.

"Sebenarnya kau mau apa dengan Mahira?" tanyanya sesaat setelah panggilan dijawab.

"Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Dia butuh teman. Perempuan itu lebih rapuh dari yang kau lihat. Dia butuh seseorang. Bukan hanya diberi tempat tinggal dan asupan nutrisi yang cukup. Dia perempuan hamil."

Albert menceritakan hal-hal yang ia lihat selama menjadi asisten pribadinya Mahira.

"Dia tak punya orang untuk diajak bicara. Dia mual hampir tiap saat. Dia bahkan dibuat marah. Apa kau pikir semua ini baik?"

Albert diam, mendengarkan orang di seberang sana bicara. Namun, itu tak lama, sebab menurutnya orang itu tak mengerti tujuannya.

"Dia butuh perhatian. Dari seseorang yang harusnya bertanggungjawab. Kalau kau tidak paham, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu yang buruk nantinya."

Albert mematikan telepon. Ia mendengkus. Lelah, bingung dan sedikit kesal.

Menyimpan ponsel di saku, ia kembali masuk ke dalam kamar. Ditemukan lelaki itu Mahira sedang duduk sembari memeluk lutut.

"Butuh sesuatu, Mahira?" tanyanya dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin.

Mahira mengangkat wajah. Mata perempuan itu bengkak. "Aku lapar," akunya.

Albert mengulas senyum. "Maafkan saya, tapi saya hanya bisa membuatkan telur mata sapi. Anda mau?"

Mahira mengangguk. Perempuan itu turun dari ranjang.

"Anda bisa jalan? Mau saya bantu, Nona?"

Mahira menoleh pada lelaki itu. "Mahira saja, tolong?" pintanya mengiba.

"Apa bedanya?"

"Setidaknya, dengan begitu aku bisa pura-pura tidak sedang diculik."

Albert pun mengangguk. "Baiklah. Jadi, bisa jalan sendiri, Mahira?"

Si perempuan mengangguk. "Terima kasih," ucapnya sembari mengulas senyum kecil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status