Warning! 18+
"Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"Mendengar kalimat itu, darah Mahira mendidih. Ia luar biasa marah. Rasanya perempuan itu benar-benar ingin menghabisi Alex.Mahira pun keluar dari kamar. Ia ingat pernah melihat tongkat bisbol dibawa salah satu pengawal yang berjaga di dekat dapur. Perempuan itu ke sana, mengambil tongkat tadi, kemudian mendatangi Alex yang sudah berada di ruang tamu.Ia sudah pernah menduga ini, bukan? Alex bisa saja tak mengakui anak yang sekarang Mahira kandung. Namun, mendengar hal itu secara langsung seperti tadi, hati Mahira benar-benar hancur.Manusia macam apa Alex ini? Sudah keji mencuri sesuatu dari Mahira, pun mengingkari kebenaran yang ada.Maka Mahira merasa tak boleh lagi menahan kemarahan. Ia ayunkan tongkat bisbol itu hingga menghantam perut Alex. Si pria memekik, kemudian terjatuh di lantai.Mahira menangis. "Aku bahkan tidak mengenalmu, tapi kau tega berbuat sejahat ini padaku? Kau pantas mati!"Dua pukulan lagi Mahira berikan ke tubuh Alex. Satu di punggung, satu di kaki si lelaki. Alex mengaduh kesakitan."Mahira, ini sakit. Kau mau membunuhku?" Alex berteriak sembari memegangi kakinya yang seperti akan patah.Berjalan pelan mendekat, Mahira mengangguk. Ia ayunkan kembali tongkat di tangan. Nyaris mengenai kepala Alex, kalau saja lelaki itu tidak mengelak.Tongkat di tangan Mahira menghancurkan vas bunga di atas meja yang terbalik. Perempuan itu menggigit bibir geram karena sasarannya meleset. Kepala Alex masih tegak.Namun, saat Alex kembali berdiri, Mahira terkejut saat menemukan darah segar mengalir dari kening si pria. Alex bahkan terlihat mengerjap-ngerjap dan sempoyongan.Tak lama, Alex roboh ke lantai. Mata pria itu tertutup, luka di keningnya mengeluarkan darah semakin banyak.Tongkat dari tangan Mahira terjatuh. Tangan perempuan itu gemetar. Ia mendekat, kemudian berjongkok di samping Alex yang sudah tak sadarkan diri.Mahira mendongak dan menemukan Albert. Pengawalnya itu tampak ketakutan."A--apa dia mati?" tanya Mahira.Albert tidak menjawab. Matanya terus memaku tatapan pada Alex."Al-Albert? Apa dia mati?" ulang Mahira. "Dokter. Panggil dokter!" Perempuan itu lemas saat cairan merah dari kepala Alex sudah membasahi lantai.***Mahira tak menyangka kalau ia akan merasakan ini. Perempuan itu bersyukur, lega, ketika Albert datang dan membawa kabar jika Alex masih hidup.Selepas kejadian kemarin, Alex dibawa ke rumah sakit. Sampai siang tadi Mahira tak mendengar kabar apa-apa soal keadaan laki-laki itu. Ia hampir mati penasaran dan takut. Beruntung Albert berbaik hati memberitahu."Anda nyaris membunuhnya, Nona," tutur Albert, sembari mengangsurkan segelas air putih pada Mahira.Mahira menyipitkan mata. "Kenapa kalian tidak menghentikanku?"Albert menggeleng. "Tuan Alex melarang."Dahi Mahira berlipat. "Kenapa dia melarang? Apa dia benar-benar mau mati di tanganku?"Albert mengangkat bahu. "Mungkin, Tuan merasa bersalah?"Perkataan Albert membuat Mahira tertegun. Merasa bersalah? Itu sebabnya Alex diam saja dan tak mengerahkan para pengawal di rumah untuk melawan Mahira kemarin?"Nona, apa sungguh Nona akan puas jika Tuan Alex mati?"Ditanyai begitu, Mahira merasa dituduh. Perempuan itu menatap lurus, menilik hatinya."Dia melakukan hal jahat padaku, Albert. Kau tidak tahu apa-apa."Kepala Albert menunduk. "Maafkan saya. Tapi, saya sudah tahu semuanya. Jadi, saya bisa maklum dengan kemarahan Nona."Mahira menunduk dalam. Ia malu. "Menurutmu, setelah semua yang dia lakukan. Apa aku tidak pantas membunuhnya? Dia bahkan mengurungku di sini.""Anda berniat kabur, Nona. Anda dikurung di sini agar tak sendirian merawat bayi itu."Mahira memeluk bantal sofa. Kenapa ucapan Albert terdengar masuk akal? Jadi, apa Alex tidak sejahat itu?"Apa kalau Tuan Alex mati, Anda akan memaafkannya?"Si perempuan melirik kesal pada Albert. "Apa aku terlihat sejahat dia?" protesnya tak terima dituduh menginginkan kematian orang lain."Jadi, Anda sudah memaafkan Tuan Alex?"Mahira menaruh bantal ketika berdiri dari duduk. "Tidak semudah itu," ucapnya sembari pergi ke kamar.***Mahira terbangun di dini hari. Hal itu membuat seisi rumah ikut terjaga. Albert langsung masuk ke kamar sang Nona saat mendengar suara orang muntah."Anda tidak makan obat dari dokter?" Albert memberi segelas teh hangat pada Mahira yang baru saja keluar dari kamar mandi.Tidak menjawab, Mahira memilih langsung merebahkan tubuh di kasur. Perempuan itu berusaha tidur, berharap mualnya mereda."Minum ini sedikit." Albert menawarkan.Si perempuan menggeleng. "Keluar kau dari sini." Ia mendadak sedih."Kenapa saya harus keluar? Saya harus pastikan Anda sudah baik-baik saja."Mahira menatap Albert tajam. "Keluar kataku! Kau siapa memangnya? Apa kau ayah anak ini?!"Emosi Mahira meledak. Perempuan itu merasa suasana hatinya kacau. Sejak kemarin, ia punya rasa bersalah pada Alex. Bagaimana juga, ia nyaris melenyapkan lelaki itu.Kemudian, morning sickness si perempuan yang semakin parah. Tidak kenal waktu. Entah itu pagi atau dini hari seperti sekarang. Mahira semakin sering mual. Ia hanya bisa makan bubur, kadang tak bisa menelan makanan yang sangat ingin dimakan.Parahnya, Mahira juga mengharapkan perhatian. Perempuan itu akhirnya sadar jika pergi dari rumah ayah dan ibu adalah keputusan salah. Mahira butuh dipedulikan. Ia ingin ditemani. Namun, tak ada satu orang pun di sini.Albert memang selalu siap siaga. Lelaki itu bahkan kerap tidak tidur demi siaga membantunya di keadaan seperti sekarang. Namun, bukan itu yang Mahira harapkan.Merasa keinginannya sangat bodoh, Mahira menangis. Perempuan itu menyembunyikan wajahnya di bantal. Meredam tangis, meski isakannya masih terdengar."Anda butuh sesuatu, Nona?" Albert mendekat ke ranjang. Ia tiba-tiba saja iba."Tidak. Kau keluar saja.""Anda butuh ayah bayi itu, Nona?"Tidak menjawab, suara tangis Mahira terdengar lebih kencang. Hal itu membuat Albert menghela napas. Lelaki itu pun terpaksa keluar dari kamar.Duduk di ruang tamu, Albert langsung menghubungi seseorang. Ia yakin orang itu belumlah tidur. Kalau pun tidur, Albert akan tunggu sampai orang itu bangun."Sebenarnya kau mau apa dengan Mahira?" tanyanya sesaat setelah panggilan dijawab."Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Dia butuh teman. Perempuan itu lebih rapuh dari yang kau lihat. Dia butuh seseorang. Bukan hanya diberi tempat tinggal dan asupan nutrisi yang cukup. Dia perempuan hamil."Albert menceritakan hal-hal yang ia lihat selama menjadi asisten pribadinya Mahira."Dia tak punya orang untuk diajak bicara. Dia mual hampir tiap saat. Dia bahkan dibuat marah. Apa kau pikir semua ini baik?"Albert diam, mendengarkan orang di seberang sana bicara. Namun, itu tak lama, sebab menurutnya orang itu tak mengerti tujuannya."Dia butuh perhatian. Dari seseorang yang harusnya bertanggungjawab. Kalau kau tidak paham, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu yang buruk nantinya."Albert mematikan telepon. Ia mendengkus. Lelah, bingung dan sedikit kesal.Menyimpan ponsel di saku, ia kembali masuk ke dalam kamar. Ditemukan lelaki itu Mahira sedang duduk sembari memeluk lutut."Butuh sesuatu, Mahira?" tanyanya dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin.Mahira mengangkat wajah. Mata perempuan itu bengkak. "Aku lapar," akunya.Albert mengulas senyum. "Maafkan saya, tapi saya hanya bisa membuatkan telur mata sapi. Anda mau?"Mahira mengangguk. Perempuan itu turun dari ranjang."Anda bisa jalan? Mau saya bantu, Nona?"Mahira menoleh pada lelaki itu. "Mahira saja, tolong?" pintanya mengiba."Apa bedanya?""Setidaknya, dengan begitu aku bisa pura-pura tidak sedang diculik."Albert pun mengangguk. "Baiklah. Jadi, bisa jalan sendiri, Mahira?"Si perempuan mengangguk. "Terima kasih," ucapnya sembari mengulas senyum kecil.Mahira tersenyum lebar ketika melihat Albert datang dan membawakan ranselnya yang selama ini disembunyikan. Albert memang menjanjikan ini kemarin. Namun, tak Mahira sangka akan benar-benar dikabulkan. "Kau benar-benar membantuku?" tanya perempuan itu tak percaya. Ia memeluk ranselnya erat."Dengan satu syarat. Jangan hubungi keluargamu. Jika Anda melakukan itu, maka semua akan jadi kacau. Keluarga Anda bisa saja dalam bahaya."Duduk berhadapan di halaman belakang rumah, Mahira terpaksa mengangguk, setuju. Ia membuka ranselnya. Mengeluarkan laptop dan beberapa camilan dari sana."Ponselku?"Albert menggeleng. "Jika Anda menepati janji dan tidak menghubungi keluargamu, nanti akan saya berikan."Mahira mengangguk saja. Perempuan itu membuka, lalu menyalakan komputer jinjingnya."Anda melakukan apa?" Albert menarik kursinya dan duduk di samping Mahira. Memeriksa dan memastikan si perempuan tak melakukan sesuatu yang salah, seperti menghubungi keluarganya."Pekerjaanku," jawab si gadis."
"Selamat pagi, Sayang?"Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer."Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."Alex mengge
Mahira sedang bersiap menerima suntikan dari perawat, saat tiba-tiba saja Alex datang dan mengarahkan sebuah tembakan pada dokter yang tadi memeriksa Mahira. Bunyi letusan menggema di ruangan itu. Lelaki berambut coklat itu kemudian berlari menuju si perawat. Ia jambak rambut perempuan itu, lalu diseret menjauh dari Mahira. "Obat apa itu?" tanyanya setelah membuat si perawat berlutut di bawah kaki. Mendengar pertanyaan Alex, Albert bergegas menjauhkan jarum suntik yang tadi dijatuhkan si perawat di samping Mahira. "I--Itu vi--vitamin untuk ibu hamil, Tuan," jawab si perawat terbata. Alex menyeringai. Ia arahkan ujung pistol ke kepala si perawat. "Kau mau kepalamu bolong seperti dokter itu?" Si perawat menangis ketakutan. "Maafkan saya, Tuan. Sa--saya hanya diperintah." Menghela napas, Alex mulai habis kesabaran. "Jawab pertanyaanku, sialan. Itu obat apa, siapa yang membayar kalian?" "Itu obat untuk meluruhkan janin, Tuan."Albert langsung terbelalak. Pria itu menjauhkan tas si
Karena sebuah pemikiran konyol, malam ini Mahira tak bisa tidur. Berulang kali perempuan itu mengubah posisi. Menghadap ke kanan, kiri, ia ragu untuk menelungkup mengingat janin di dalam rahim. Entah kenapa, saat makan malam tadi, Mahira terpikirkan sesuatu yang luar bisa aneh. Itu semua karena ia makan satu meja dengan si bajingan Alex. Mahira mendadak penasaran. Apa warna di rambut Alex itu asli atau hanya buatan. Mahira mendadak punya rasa penasaran soal apakah anaknya nanti akan punya rambut coklat atau hitam. "Kenapa, Mahira? Ada yang sakit?" Alex yang sejak tadi pura-pura tidur akhirnya menghampiri si perempuan. Laki-laki itu duduk di tepian kasur Mahira. "Ada yang sakit, Sayang?" tanyanya lembut. Si perempuan menggeleng. "Aku hanya tidak bisa tidur.""Mau kubuatkan teh? Susu?" Mahira menggeleng. "Kau bisa membawaku jalan-jalan?" Mata Alex yang semula mengantuk, sedikit terbelalak. Sudah pukul berapa sekarang? Mahira ingin jalan-jalan? "Kau bisa kena angin, Sayang. Mau j
Dalam hidup, Mahira pernah satu kali merasa benar-benar tertipu. Saat umurnya 17 tahun dan hampir menjadi palayan di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah.Saat itu, dua orang penagih datang ke rumah mereka. Menagih utang yang jumlahnya tidak sedikit. Nyaris lima puluh juta. Mahira dan ibunya jelas bertanya mengenai kejelasan asal utang tersebut. Ia dan sang ibu ingat tak pernah meminjam uang sebanyak itu dari siapa pun. Selama ini mereka hidup sederhana, jarang sekali membeli barang-barng mewah.Lalu, Mahira diberitahu. Ayahnya telah berjudi selama ini. Ayah Mahira, Adi. Pria yang terlihat dingin, tetapi tak mirip seorang penjudi. Bertahun-tahun Mahira meyakini ayahnya hanya kurang peka pada sekitar dan kurang beruntung mencari nafkah. Ternyata lelaki itu tega menyunat uang belanja demi bermain kartu. Bahkan, ayahnya meminjam uang dari lintah darat, hingga mereka punya utang sebesar lima puluh juta. Belum cukup itu semua, Adi juga lari dan membiarkan Mahira dan ibunya yang meng
"Riga, sialan! Kau bisa tidur? Mahira belum makan, b*bi busuk!" "Bedeb*h! Riga! Mahira tidak keluar kamar sejak tadi pagi! Dan kau bisa makan dengan tenang di sini?" "Riga! Perban di lengan Mahira belum diganti! Kau yang menembaknya, dasar manusia keji!" Itu hanya beberapa. Sejak mereka tiba di rumah ini tiga hari lalu, seingat Riga ia sudah mendengar makian Alex lebih dari seratus kali. Entah kenapa, sepupunya itu jadi sangat cerewet. Setiap saat Alex akan mengingatkan Riga soal Mahira sudah makan atau belum. Sudah tidur apa belum. Sudah minum susu atau belum. Dan jika jawabannya adalah belum, maka Riga diwajibkan menjadi orang yang menanggung beban, dipersalahkan. Riga muak. Maka, malam ini, setelah diusir Alex dari meja makan, lelaki itu pergi ke kamar si biang masalah. Ia menemukan Mahira sedang berbaring santai di ranjang. "Apa kau peliharaan?" Riga melipat tangan di depan dada. Mahira tak menanggapi. Perempuan itu duduk, tetapi tak menatap wajah Riga. "Apa kau masih haru
Warning! 18+ Tidak Mahira sangka Riga akan mengangguk dan menyetujui tawaran yang ia berikan. Meski senang akan segera mendapatkan kembali ponsel, Mahira tak lantas berpuas hati. Sebab sekarang ia harus sudi duduk di pangkuan si lelaki."Setengah jam. Hitung dengan benar. Keluarkan ponselmu," perintah Mahira karena tak menemukan ada jam di dinding di dapur.Riga tak membalas ucapan itu. Hanya kedua lenganyna yang bergerak ke depan dan membelit perut Mahira.Si perempuan hendak protes, tetapi Riga lebih dulu memberitahu."Kau tidak lihat ada jam di pergelangan tanganku?"Ia pun mengatupkan bibir rapat. Duduk tegak, kaku, mirip patung di atas kedua paha si lelaki yang terasa keras. Belum lagi, embusan napas Riga yang seolah sengaja dibuat pria itu kasar dan berat, terasa di sisi wajah."Jadi, di mana Alex?"Mahira berusaha menekan rasa tidak nyaman yang melingkupi. Perasaannya campur aduk. Benci, marah, rendah diri, dan juga takut. Takut sampai jantungnya terasa akan pecah. "Dia haru
Mahira terperanjat ketika pintu kamarnya didorong. Beberapa orang berseragam masuk dan langsung mengevakuasinya keluar dari sana. Mahira tersenyum ketika keluar dari kamar dan menemukan Riga sudah duduk di kursi, dengan kedua tangan diborgol. Ini pembalasan dari Mahira karena Riga sudah berani menyentuhnya kemarin. Pria gila itu sungguh tak punya belas kasihan. Mahira sudah berusaha memohon, meminta sedikit saja belas kasihan. Namun, Riga tetap melecehkannya. Dan inilah yang bisa Mahira lakukan. Saat kemarin ponselnya diberikan kembali, Mahira menghubungi ayah dan ibunya. Meminta mereka melapor pada polisi, untuk kemudian melacak keberadaan dirinya. Rupanya upaya itu berhasil. Sore ini rumah Riga didatangi polisi. "Kami akan mengantar Anda pulang, Nona." Seorang polisi wanita berkata demikian pada Mahira, sembari mengajaknya keluar dari rumah itu. Mahira tersenyum senang. Ia menatap puas pada Riga hanya menunjukkan raut datar. Perempuan itu yakin, si lelaki hanya berusaha terliha