"Ibu mau ada pembantu di rumah ini.” Bu Rohimah tiba-tiba memberi usulan saat sedang ada di meja makan.
Pagi itu Sandra, Alan dan Bu Rohimah hanya sarapan roti dan selai coklat seperti biasa. Wanita tua itu tampak tidak berselera seperti biasanya juga. Ia tidak biasa sarapan dengan roti, makan ya harus dengan nasi. Roti itu cuma camilan baginya.Tapi apa mau dikata. Bu Rohimah juga tidak kuat jika harus membuat sarapan setiap hari dan Sandra terlalu sibuk mengurusi Rio dan Alan ditambah bersiap untuk berangkat kerja. Sedangkan Alan, lelaki itu sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan rumah.Sandra mengangguk setuju. Sudah lama ia membicarakan perihal pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh bayi pada Alan tapi lelaki itu tidak suka. Alan tidak suka orang asing ikut tinggal di dalam rumahnya karena untuk lelaki itu, rumah adalah privasi keluarga.“Bagaimana Lan? Ibu nggak mungkin terus-terusan jaga Rio setiap kamu dan Sandra kerja. Ibu sudah tua lho. Lagi pula mending ibu tinggal di kampung, di sini ibu nggak ada temennya, udah gitu cape pula.” Wanita tua itu melirik Sandra dengan tatapan tidak nyaman.“Aku setuju sama Ibu, Mas.” Jawab Sandra, tidak sadar akan pandangan tidak mengenakkan dari mertuanya. “Aku kurang setuju, Bu.” Jawab Alan.“Kenapa?” Tanya Bu Rohimah.“Aku ngerasa kalau privasi kita jadi terganggu aja kalau ada orang luar.”“Terus solusinya bagaimana? Sandra keluar dari kerjaan aja?”Sandra hampir memuncratkan susu yang sedang ia minum mendengar usul sang mertua untuk berhenti bekerja.“Nggak bisa begitu dong Mas. Mending kita sewa pembantu atau pengasuh aja lah, dari pada aku berenti kerja kan?”“kenapa nggak bisa? Gajiku lebih dari cukup untuk biayain kamu, Rio dan Ibu. Jadi menurutku malah bagus kalau kamu berenti kerja.”“No. No.” Sandra mengibas-ngibaskan tangannya. “Bisa stress aku Mas kalau kamu suruh untuk berhenti kerja dan diam di rumah terus.”“Sandra, kamu sekarang sudah punya anak yang butuh perhatian kamu. Kamu nggak akan kesepian karena ada Rio. Ada ibu juga kalau kamu butuh teman cerita. Membesarkan anak itu juga sama seperti berkarir, malah lebih berat.”“Sudah-sudah, jangan berantem pagi-pagi.” Bu Rohimah menengahi. “Pokoknya kalian rundingkan dengan cepat. Ibu sudah janji sama Lastri kalau akan kasi tahu keputusan sore ini.”“Lastri Bu?” Tanya Alan penasaran seketika.Sedangkan Sandra tidak lagi mengikuti percakapan pagi itu karena Rio terdengar menangis dari kamar.“Iya. Lastri anaknya Pak Waidin.”“Bukannya dia sudah nikah sama juragan bebek ya? Kok mau jadi pembantu?”“Dia kan sudah cerai enam bulan lalu karena suaminya nikah lagi.” Jelas Bu Rohimah. “Pokoknya kamu cepat rundingkan sama Sandra, kalau bisa sih kamu setuju-setuju saja. Ibu nggak nyambung ngomong sama istrimu yang sok modern itu, kalau ada Lastri kan ibu jadi nggak kesepian.”*****Karena Rio rewel saat sarapan, Sandra jadi kehilangan momen untuk menanyakan perihal riwayat pencarian di ponsel Alan. Sandra buru-buru ke kantor dengan ojek online sedangkan mobil mereka digunakan Alan karena tempat kerja suaminya lebih jauh dan berlawanan arah dengan Sandra.“Wah tumben si cantik Sandra terlambat.” Baru juga masuk ke ruangan, Sandra sudah digoda oleh Faiz, teman kerjanya.“Iya nih. Kayaknya dandan lama makanya telat.” Celetuk Handoko yang secara umur sudah jauh lebih tua dari Sandra.Sandra hanya tersenyum yang dipaksakan lalu duduk di meja kerjanya. Dasar laki-laki celamitan!“Andai istri saya mau dandan sedikit saja kayak Sandra, saya pasti betah di rumah.” Belum selesai, Pak Handoko malah membuka pembicaraan.“Masih mending istri bapak, istri saya sudah dandan nggak mau, badannya lemak semua, pakai daster itu-itu saja sampai saya malu.” Faiz ikut-ikutan.Kata-kata Faiz membuat Sandra teringat akan riwayat pencarian di ponsel suaminya. Kalau dipikir-pikir, tidak masuk akal kalau Alan yang sudah memiliki istri sempurna seperti dirinya malah tertarik pada wanita yang tidak sesuai dengan standar lelaki pada umumnya.“Memangnya laki-laki nggak suka sama wanita gemuk dan nggak dandan ya Pak?” dari pada penasaran, yasudah Sandra tanyakan saja pada teman-teman kerjanya.“Ya jelas lah. Perempuan itu harus yang bodynya bagus. Laki-laki itu makhluk visual, nggak cukup sama cinta doang. Iya nggak Pak?” Pak Handoko menjawab.“Iya. Suami mana sih yang nggak ingin istrinya tampil cantik. Tapi dasar perempuan ada-ada aja ngelesnya kalau disuruh rawat diri. Sibuk urus anak lah, sibuk urus rumah lah, sampe suami sendiri nggak diurus. Kalau nanti suami yang selingkuh, laki-laki yang disalahkan.” Sandra mengangguk-angguk mendengar jawaban kedua rekan kerjanya. Benar juga, tidak mungkin Alan tertarik pada wanita seperti yang ada di ponsel lelaki itu tadi malam. Pasti suaminya itu hanya iseng saja.*****“Ibu nungguin siapa?” tidak biasanya sang mertua menyambut Sandra di depan gerbang.Melihat Sandra yang datang, senyum Bu Rohimah langsung hilang.“Nunggu pembantu baru.” Jawabnya singkat lalu langsung masuk ke rumah lagi.Sandra mengangguk-anggukkan kepala, berarti Alan sudah setuju kalau ada pembantu di rumah. Baguslah, pikir wanita itu. Jadi Alan tidak perlu mengungkit soal dirinya yang harus berhenti kerja atau tidak.“Mas Alan sudah setuju Bu?” Tanya Sandra basa-basi.“Iya.” Lagi-lagi ibu menjawab dengan singkat. Ibu mertuanya memang tidak pernah mau mengobrol panjang dengan Sandra, berbeda sekali dengan saat sebelum Sandra dan Alan menikah.“Rio di kamar?”“Iya. Langsung tidur habis ibu kasi susu.”Sandra hanya mengangguk. Rasanya canggung harus ngobrol berlama-lama. Wanita itu segera ke dapur. Makanan dari catering langgangan Sandra sudah tersedia di meja makan. Sengaja ia bedakan menu untuk dirinya juga mertuanya karena selera mereka berdua sangat berbanding terbalik. Sandra makan salad ikan salmon dan pasta sedangkan ibu mertuanya ia pesankan menu makanan rumahan Indonesia.Sambil makan, Sandra sekalian memompa ASInya untuk ia simpan sebagai stok saat sedang bekerja. Walau bekerja, Sandra rutin pulang ke rumah setiap makan siang untuk memompa ASI untuk Rio. Alan bisa ngamuk kalau Rio sampai mendapatkan susu formula dan bukannya ASI dari Sandra.Selesai makan siang dan memompa ASI, Sandra mendengar suara mobil memasuki rumah. Ia lirik jam, waktu makan siang sudah hampir habis dan tidak biasanya Alan pulang ke rumah saat makan siang. Butuh setidaknya satu jam untuk sampai dari rumah ke tempat kerjanya.Terdengar suara riang ibu mertuanya disusul dengan suara wanita yang asing untuk Sandra.Segera setelah membenahi bajunya dan menyimpan botol ASI di kulkas, wanita itu keluar dan mendapati Alan, mertuanya dan seorang wanita muda dengan tubuh gemuk di teras rumah.“Mas? Ini siapa?”Jantung Sandra berdesir, kecurigaannya terhadap Alan muncul lagi. “Ini Lastri yang akan kerja di rumah kita mulai hari ini.” Jawab Alan, lelaki itu membawa tas besar yang Sandra yakin adalah milik Lastri.“Kok bisa barengan?” Tanya Sandra lagi. “Iya, Ibu yang suruh Alan jemput Lastri di kampung biar nggak nyasar.”Sandra melihat Alan dengan tatapan menuntut jawaban. Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa soal dia yang pulang ke kampung untuk menjemput Lastri.“Terus gimana kerjaan kamu hari ini, Mas?”“Aku udah izin kok San. Kamu nggak perlu khawatir.”“Bukan itu, tapi kamu kok gak bilang-bilang…”Sandra sebenarnya masih punya banyak hal untuk ditanyakan. Namun, driver ojek online yang sudah ia order sebelumnya sudah datang. Mau tidak mau, Sandra harus meninggalkan ketiga orang itu dengan kepala penuh pertanyaan yang belum terjawab.*****Bu Rohimah yang bangun terlebih dahulu karena Rio yang menangis terus mencari sang Ibu agak kaget dengan keadaan rumahnya. Hari masih subuh, akan tetapi dari arah dapur sudah tercium aroma masakan yang sangat disukainya. Siapa yang memasak? Tidak mungkin rasanya jika Sandra yang memasak sepagi ini. Apalagi setelah kekacauan yang ia buat semalam.“Sandra…” Bu Rohimah memanggil sang menantu sambil kaki tuanya berjalan menuju dapur. Rio masih menangis di dalam gendongannya, bayi lelaki itu sedih sekali.“Eh, Ibu? Sudah bangun?” tanya Sandra lalu segera mencuci tangan dengan air di wastafel dan mengelap tangannya yang basah dengan serbet sebelum mengambil Rio dari gendongan Bu Rohimah.“Kamu ngapain?” tanya Bu Rohimah heran. Tentu saja heran karena Sandra tiba-tiba berubah menjadi baik.“Nyiapin sarapan,” jawab Sandra sambil langsung menyusui Rio. Bayi yang malang, Rio terlihat sangat kehausan dan langsung tenang setelah disusui oleh Sandra.“Sarapan? Kamu bikin sarapan?”“Iya. Ibu tunggu
“Kenapa? Kamu pikir kamu sudah menang?” Sandra tertawa lagi. “Lastri, Lastri, kamu bukan cuma menghinakan diri kamu sendiri tapi kamu juga sebentar lagi akan membusuk di penjara!” kata Sandra sambil menyeringai ke arah Lastri yang terlihat sangat marah.Derap langkah berat dan cepat terdengar mendekati Sandra. Lalu seorang laki-laki langsung memegangi lengan Lastri dan langsung memasangkan borgol pada wanita itu. Seorang laki-laki lain membantu Sandra berdiri dan menanyakan keadaan Sandra.“Dasar perempuan gila!” Lastri berteriak dan meronta-ronta hingga polisi yang membantu Sandra bangun ikut memegangi Lastri, “Perempuan sinting! Nggak waras!” teriaknya lagi.Lastri terus mengumpat pada Sandra meski polisi yang menangkapnya berulang kali menyuruh Lastri diam. Sedangkan Sandra tidak membalas sama sekali dan hanya menyeringai pada Lastri untuk memprovokasi wanita itu.“Ibu perlu kami antar pulang?” tanya polisi yang lebih muda.“Nggak, Pak. Saya dijemput teman saya di sini,”“Baik kala
“Ini saya, Lastri, Bu,” kata Lastri setelah akhirnya memutuskan untuk menghubungi Sandra.Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Lastri bahwa ia akan menghubungi Sandra seperti ini. Akan tetapi dirinya sudah putus asa. Terlebih sekarang dirinya penuh dengan kemarahan yang sudah tidak tertahankan.Tadi sewaktu berjalan kaki tanpa tujuan, beberapa anak kecil meledek pakaian dan bentuk tubuhnya. Ia juga terjatuh dan sandal yang ia gunakan talinya lepas. Tidak berhenti disitu, kesialan dirinya seakan berlanjut. Setelahnya ia hampir terserempet mobil dan sekarang ia sudah kelelahan dan tidak tahu harus beristirahat dimana.Uang lima ribu sisa pemberian petugas kebersihan sudah habis dibelikannya minuman. Kini Lastri tidak punya uang sepeserpun. Nanti malam sudah pasti dirinya akan kelaparan. Belum lagi ia juga harus tidur di emperan toko.Menjadi gelandangan ternyata lebih menyesakkan ketimbang menjadi buronan. Tidak tahu harus makan apa, tidak tahu harus tidur di mana. Lastri juga tidak
“Saya nggak bersalah!” teriak Lastri ketika dua orang polisi dengan sigap berlari ke arahnya dan memegangi pundak serta pergelangan tangan Lastri. Lastri meronta-ronta mencoba meloloskan diri akan tetapi kedua polisi itu malah memeganginya semakin kuat.“Apa salah saya? Kenapa saya ditangkap?!” pekik Lastri lagi tidak peduli jika penangkapan dirinya dijadikan tontonan oleh pengunjung lain.“Harap tenang!” bentak polisi yang lama-kelamaan kewalahan juga menahan pergerakan dna bobot tubuh Lastri.Lastri ciut mendengar suara teriakan yang menggelegar. Wanita itu pun menurut dan ikut keluar dari restoran dengan tenang. Namun, bukan Lastri namanya kalau menyerah begitu saja. Awalnya ia memang menurut saja saat digiring oleh petugas akan tetapi itu sebelum sebuah ide terlintas di otaknya.Dengan tiba-tiba Lastri menjatuhkan badannya ke belakang lalu kejang-kejang dengan lidah menjulur ke luar. Tubuh Lastri ambruk di tanah karena meski coba di tahan, bobotnya yang besar dan gerakannya yang t
Sekali lagi Lastri merasa berada di atas awan. Bagaimana tidak, Alan mengajaknya untuk makan siang setelah lelaki itu berjanji untuk mencabut laporan ke polisi. Lastri yakin sekali bahwa Alan menyukainya. Kalau tidak suka, tidak mungkin Alan mengajaknya makan siang, kan?“Maafin saya ya, Las. Tadi saya kebawa emosi, saya panik juga karena kamu ancam-ancam makanya saya ngomong keras begitu,” kata Alan tanpa memandang wajah Lastri. Lelaki itu fokus mengendarai mobilnya.“Iya, Pak. Nggak apa-apa,” kata Lastri. Seolah ia memang pantas untuk menjawab begitu.Lastri tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Setelah beberapa hari bersembunyi dalam ketakutan, siang ini Lastri merasa hidup kembali.Tidak butuh waktu lama, keduanya sampai ke sebuah restoran yang terkenal dengan masakan cinanya. Alan hanya asal pilih saja, karena sebenarnya lelaki itu sama sekali tidak memiliki selera makan.Saat tiba, beberapa orang langsung menjadikan Alan dan Lastri sebagai objek perhatian. Wajah tampan dan badan
Alan langsung menekan tombol panggil guna menelpon nomor yang baru saja mengirim video pada dirinya. Akan tetapi malah pemberitahuan bahwa nomor tersebut tidak aktif yang ia terima. Lelaki itu tidak menyerah dan mencoba beberapa kali lagi akan tetapi tetap saja ia mendapatkan pemberitahuan yang sama dari operator. Bahwa nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif.Serasa disambar petir di siang bolong, dunia Alan serasa runtuh. Jika video yang dikirimkan padanya dilihat oleh Sandra, tentu rumah tangganya yang sekarang sedang diujung tanduk akan langsung jatuh dan hancur berkeping-keping. Sandra bukan tipe wanita yang akan menerima lelaki yang selingkuh dari dirinya. Alan tahu hal tersebut dan bodohnya masih saja melakukannya.Alan terduduk lemas, lelaki itu meremas rambutnya, menampar wajahnya sendiri. Apa yang bisa ia lakukan sekarang untuk menebus dosanya? Ah, yang lebih penting adalah apa yang bisa ia lakukan untuk menyembunyikan dosanya dari Sandra? Biarlah Tuhan tahu dosanya, asal j
Polisi datang keesokan harinya untuk memeriksa kamar Bu Rohimah yang merupakan TKP kasus pencurian. Selain itu Sandra juga diminta untuk bersaksi dan menyerahkan rekaman CCTV yang menjadi bukti utama kejahatan Lastri. Alan melaporkan Lastri untuk dua tuduhan sekaligus. Pertama kasus kecelakaan sang Ibu yang didalangi oleh Lastri dan yang kedua pencurian barang berharga.“Di sini kejadiannya,” kata Alan pada dua orang polisi yang juga memeriksa tempat Bu Rohimah terjatuh. “Dimana letak CCTVnya?” tanya polisi yang lebih muda.“Di sana. Memang saya sengaja pasang agak tersembunyi karena saya nggak percaya sama pembantu saya,” kata Sandra menjelaskan. “CCTVnya cuma dipasang di sini saja?” tanya polisi yang heran dengan letak CCTV yang terpasang. Tentu saja heran karena biasanya CCTV terpasang di tempat-tempat yang resiko kemalingannya besar. Akan tetapi di rumah ini CCTV malah terpasang di belakang rumah dimana tidak ada barang berharga tersimpan.“Sebenarnya ada di tiga titik tapi dua
“Lan cepat turun ke bawah! Jangan sampai Lastri kabur sambil membawa Rio!” Alan segera berlari turun ke bawah tanpa bertanya apapun. Seketika Sandra langsung merasakan lututnya lemas kemudian terduduk di lantai. Air matanya merangsek keluar tanpa bisa ditahan. Ia berteriak-teriak memanggil Rio yang entah ada di mana sekarang.“Ada apa, San?” tanya Sisil yang masih bingung dengan situasi yang terjadi. Wanita itu memegangi pundak Sandra yang bergetar naik turun. “Rio kemana?” tanya Sisil. Jelas-jelas tadi Rio sedang tidur nyenyak ketika Sisil memutuskan untuk turun menemui Sandra.Sisil tidak mengerti situasi macam apa yang sedang berlangsung. Rio tahu-tahu tidak ada di kamarnya dan Sandra yang menjadi histeris.“Aku nggak mau sampai Rio kenapa-kenapa,” Sandra memeluk sahabatnya itu lalu menangis lebih keras lagi.Entah apa yang sedang terjadi, Sisil membalas pelukan Sandra sambil berkali-kali mengsap punggung wanita itu. Sisil mau tidak mau jadi merasa bersalah. Kalau saja wanita itu
Alan ternganga melihat video bukti dari kejahatan Lastri. Ia sama sekali tidak menyangka kalau pembantu yang selama ini ia anggap sebagai wanita baik-baik malah menusuk keluarganya dari belakang. Padahal selama ini Alan sudah memberikan kepercayaannya secara penuh. Marah dan kecewa sekaligus.“Sialan…” desis Alan. Lalu ketika lelaki itu mengangkat kepala hendak melihat sang pelaku kejahatan, Lastri sudah melemparkan plastik yang harusnya menjadi sarapan mereka pagi ini dan berlari pergi.Alan hendak mengejar Lastri akan tetapi ditahan oleh Bu Rohimah. Wajah wanita itu terlihat pucat dan badannya gemetaran. Ia memeluk Alan untuk melegakan perasaan khawatir yang sedari tadi ia rasakan.“Untung kamu nggak kenapa-kenapa, Lan. Ibu khawatir semalaman karena kamu pergi sama penjahat itu,” kata Bu Rohimah masih memeluk sang anak.Alan mengusap-usap punggung sang ibu dan merasakan tubuh tua sang ibu yang gemetar. Hatinya kemudian diliputi rasa bersalah karena meninggalkan ibunya semalaman dan