Share

Part 3

Sandra merasa terganggu. Ia tidak bisa fokus mengerjakan pekerjaannya. Riwayat pencarian di ponsel Alan yang sempat ia lupakan kini lagi-lagi mengganggu pikirannya. Apalagi sekarang ada Lastri, pembantu baru yang tadi siang dijemput Alan tanpa sepengetahuan Sandra.

Wanita itu memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia tidak bisa bekerja dengan tenang.

Sesampainya di depan rumah, terdengar suara tawa sang mertua. Suara yang jarang sekali Sandra dengar. Lalu disusul oleh suara tawa Alan yang entah mengapa membuat Sandra kesal, sudah lama sang suami tidak tertawa seperti itu saat ngobrol bersama dengan dirinya. 

Begitu masuk rumah, ia mendapati suami, mertua dan pembantu barunya sedang duduk di ruang tamu sambil minum teh dan makan kue. Sandra tidak ingat kapan ia dan sang mertua juga suami kumpul sambil mengobrol seperti yang ia lihat sekarang.

“Eh San, tumben cepet pulang.” Alan bicara dengan wajah sumringah. “Ayo gabung.” Katanya.

Sandra memperhatikan Lastri yang terlihat segan karena kedatangan Sandra. Wanita itu mengenakan daster hijau kebesaran dengan rambut diikat ke atas, mirip seperti gaya wanita di pencarian ponsel Alan. Dipangkuan wanita itu ada Rio yang duduk dengan anteng, tidak seperti saat Sandra yang memegang Rio.

“Saya bikinkan tehnya dulu, Bu.”

Meski bertubuh gemuk, Lastri terlihat masih cantik. Kulitnya bagus dan sudah jelas jika wanita itu lebih muda dari Sandra.

“Nggak usah repot-repot Las, Sandra nggak minum teh manis.” Sang mertua menghentikan Lastri yang bersiap berdiri dari duduknya. “Duduk aja di sini temenin ibu ngobrol. Ibu masih rindu cerita-cerita di kampung.”

Sandra mengulurkan tangan, setidaknya ia ingin mengambil Rio dari Lastri. Lastri dengan kikuk memberikan Rio pada Sandra tapi bayi berusia enam bulan itu langsung meronta-ronta saat dipegang ibunya.

“Sudah aku bilang San, Rio nggak suka bau make up sama parfum kamu. Kamu mandi dulu aja baru habis itu pegang Rio.”

Sandra menatap Alan dengan kesal. Situasi ini membuat Sandra merasa tersisihkan. Rasanya seperti kehadiran Lastri lebih diharapkan dibandingkan kehadiran dirinya.

“Ikut aku Lan, aku mau ngomong.” Kata Sandra yang tidak bisa menutupi rasa tidak sukanya.

*****

“Kenapa?”

Sandra mendengus lalu menutup pintu kamar. Ia memandangi lelaki yang lima tahun ini sudah jadi suaminya.

“Kamu mau ngomong apa?” Tanya Alan lagi karena pertanyaannya belum dijawab.

“Kenapa nggak bilang-bilang kalau kamu terima pembantu baru? Bukannya sampai tadi pagi kamu masih nggak setuju kalau ada pembantu di rumah ini?”

“Kan memang kamu sama ibu yang mau pembantu, jadi aku pikir buat apa bilang lagi toh tadi pagi kan kamu juga yang setuju.”

Benar, memang Sandra setuju untuk mempekerjakan pembantu baru. Tapi bukan seperti ini maksudnya.

 “Tapi seengaknya kamu ngomong dulu sebelum milih pembantu kan.” Sandra kesal.

“Lastri itu pilihan Ibu, San. Ibu sudah kenal lama sama Lastri, jadi ibu tahu Lastri itu orang yang bagaimana. Lagi pula ibu jadi ada teman ngomong selama kita kerja.”

“Yakin bukan karena kamu yang butuh teman ngobrol?” tuduh Sandra. Melihat betapa Alan sangat menikmati percakapan sore harinya dengan ibu dan pembantu baru, bisa jadi memang sebenarnya yang butuh teman ngobrol adalah sang suami.

Alan tertawa, ia memegang pundak Sandra lalu menatap wanita itu hangat.

“Kamu cemburu sama Lastri? Kamu cemburu sama pembantu baru kita?”

Sandra membalas tatapan Alan. Iya. Dia memang cemburu. Tapi harga diri Sandra terlau tinggi untuk mengakui bahwa wanita hebat sepertinya cemburu hanya karena seorang pembantu dari desa.

“Bukan begitu. Tapi aku nggak suka kalau caranya begini.” Sandra membela diri.

“Caranya bagaimana? Aku salah dimana?”

“Kamu sampai jemput Lastri ke kampung tanpa sepengetahuanku. Kamu bahkan bolos kerja untuk itu. Apa itu pantas?”

Alan menggelengkan kepala lantas tertawa. “Kamu cemburu, Sandra.” Bisiknya dengan nada nakal di telinga sang istri.

Lantas Alan mendekapkan tubuh Sandra, memeluk Sandra dengan erat sebelum mencium bibir sang istri.

“Sandra yang aku tahu nggak akan cemburu hanya karena hal kayak begini. Sandra yang aku tahu itu wanita hebat yang nggak akan membiarkan hal-hal nggak masuk akal mengganggu pikirannya.” Kata Alan dengan bibir yang sudah ikut merah karena lipstick sang istri.

Mau tidak mau Sandra ikut tersenyum menyadari betapa bodohnya dia karena sudah berprasangka yang tidak tidak.

“Kamu mandi dulu ya, nanti malam kita lanjut lagi.” Kata Alan sambil mengedipkan mata.

*****

Hanya lelah yang Alan rasakan setelah sekian lama ia kembali melakukan aktifitas ranjang bersama Sandra. Dulu ia sangat menyukai aktifitas itu, ia bahkan bisa tergoda hanya dengan melihat istrinya terbaring dikasur. Bahkan ketika sang istri sedang hamil, Alan masih sering tergoda. Namun, entah mulai kapan, tubuh sang istri tidak lagi menggodanya.

Ia tahu Sandra sudah berusaha untuk menarik perhatiannya. Wanita itu bahkan sengaja menggunakan lingerie-lingerie seksi beraneka warna dan bentuk hanya untuk membuatnya bergairah. Meski begitu, ia tidak kunjung tergoda.

Sekarang di matanya Sandra hanya seperti manusia yang ia temui sehari-hari, tidak lagi menarik seperti ubahnya seorang wanita. Meski begitu, Alan yakin dia masih mencintai Sandra. Terlebih Sandra sudah melahirkan Rio, anak yang selama ini ia nanti-nantikan.

Ia hanya kehilangan gairah, bukan kehilangan cinta.

Setelah memastikan Sandra terlelap, Alan keluar dari kamar. Badannya terasa panas setelah melakukan aktifitas ranjang, ia ingin menghirup udara segar dan minum air untuk mendinginkan tubuh.

Lampu dapur masih menyala ketika Alan datang. Di sana, berdiri Lastri dengan daster hijau kebesarannya. Memunggungi Alan sambil menyiapkan bahan dapur agar besok pagi tidak repot saat menyiapkan sarapan.

Jantung Alan berdesir melihat penampakan Lastri. Dengan tubuh montok bisa dibilang gemuk, wanita itu dengan cekatan memotong bahan masakan untuk besok pagi.

Akhir-akhir ini Alan sadar ada yang aneh dengan dirinya, dibandingkan tubuh ramping dan hampir sempurna milik Sandra, tubuh wanita berlemak dengan balutan baju sederhana seperti daster membuatnya lebih penasaran. Entah sejak kapan tetapi wanita gemuk berdaster memiliki sesuatu yang bisa membuat Alan kembali tergugah dan tergoda.

“Eh, Pak Alan. Belum tidur?” Ada raut kekagetan di wajah Lastri ketika ia berbalik dan melihat sang majikan sedang berada di ambang pintu dapur memperhatikan dirinya.

“Iya. Mau minum.” Jawab Alan dengan kikuk.

Lelaki itu kemudian membuka kulkas, mencari air dingin untuk diminum.

“Bapak nggak butuh sesuatu lagi?”

Tahu-tahu Lastri sudah ada di belakang Alan, cukup dekat hingga membuat Alan menjadi canggung. Detak jantungnya menjadi tidak karuan.

Wajah wanita itu terlihat cerah. Pipi tembamnya mengembang saat ia tersenyum dan bicara pada Alan. Oh manis sekali, pikir lelaki itu.

“Ah, nggak.” Alan menjawab dengan terbata-bata.

“Kalau begitu permisi Pak, saya mau ambil tomat di kulkas.”

“Oh, iya, iya. Maaf.”

Alan segera menggeser badannya, hendak pergi. Namun berhenti tepat diambang pintu. Ia melirik ke arah Lastri yang berjongkok mencari tomat di kulkas. Dasternya yang sedikit tersingkap membuat betis putih wanita itu terlihat. 

“Kamu masih lama tidurnya?” Tanya Alan dengan hati-hati.

“Saya mau selesaikan bahan buat sarapan besok sih Pak, biar besok pagi nggak kelabakan.”

“Temenin saya ngobrol, Mau?”

Alan menyesali kata-katanya. Sekarang Lastri akan berpikir bahwa dirinya adalah lelaki mesum. Sudah punya istri tapi masih mengajak wanita lain untuk ngobrol malam-malam.

“Boleh, Mas.” Jawab Lastri dengan senyum tertahan.

Lelaki itu terkejut dengan jawaban dari Lastri. Ia pikir Lastri akan merasa tidak nyaman atau setidaknya menolak ide tersebut.

Sempat Alan berpikir apakah yang ia lakukan sekarang adalah hal yang salah. Sandra mungkin tidak akan senang dengan apa yang ia lakukan sekarang.

“Pak?” panggil Lastri karena Alan masih mematung.

Toh ini cuma ngobrol. Alan mencoba untuk membenarkan dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status