Share

Part 5

“Mau kemana?” Sandra baru selesai memandikan Rio ketika melihat Alan juga baru selesai mandi. Bersiap entah kemana.

Biasanya Alan tidak pernah keluar rumah di hari minggu. Alan adalah tipe suami rumahan, setelah menikah, ia tidak pernah lagi nongkrong dengan teman-temannya.

“Disuruh ibu anter Lastri ke pasar.”

“Sore-sore gini?” Sandra tampak tidak senang.

Sudah seminggu lebih Lastri bekerja di rumahnya. Baik mertua juga suaminya sudah sangat akrab dengan pembantu itu karena memang mereka sudah saling mengenal di kampung. Hanya Sandra yang masih tidak nyaman.

Rio juga sangat anteng jika sudah dipegang oleh Lastri, lebih anteng ketika Sandra yang menggendong bayi itu. Padahal Rio tipe bayi yang sensitif, tidak mau digendong oleh sembarang orang. Hal itu membuat Sandra lebih tidak nyaman lagi.

Selain itu ia juga masih mendapati mertuanya menjelek-jelekkan dirinya di hadapan Lastri. Rasanya seakan Lastri lebih diterima oleh sang mertua ketimbang dirinya.

“Memang nggak bisa sendiri? Bisa pakai ojek online kan, aku kerja juga pake ojek online. Pembantu kok manja banget.”

Alan menggaruk kepalanya, bingung. Kalau nada suara istrinya sudah seperti itu, berarti sang istri tidak mengizinkannya keluar. 

 “Lan? Kok belum siep?” bu Rohimah tiba-tiba datang dan bertanya pada Alan.

“Kata Sandra biar Lastri pergi pakai ojek online aja Bu.”

Sandra melirik kesal pada sang suami. Harusnya Alan tidak perlu menambahkan ‘kata Sandra’ segala.

“Lastri mana ngerti ojek online. Handphonenya aja jadul begitu. Emang bisa pesan ojek online lewat sms?”

Bu Rohimah menatap Sandra, jelas sekali tatapan tidak senangnya.

Alan menggaruk kepalanya lagi karena bingung harus menuruti siapa. Ia tatap Sandra, minta petujuk tapi Sandra melongos.

“Sudah-sudah, kamu saja yang anter. Lagian ponsel Lastri jadul begitu, mana tahu dia aplikasi ojek online. Dia kan nggak modern kayak istrimu ini.”

Bu Rohimah menekankan kata modern sambil melihat Sandra.

“Saya sudah siap Bu.” Lastri tiba-tiba datang dengan buru-buru.

“Kamu keluar aja duluan, Alan mau ambil kunci mobil dulu.” Kata Bu Rohimah. “Iya kan Lan?”

Meski ia bertanya pada Alan, tapi Sandra lah yang dilirik.

Sandra yang kesal kemudian menjauh dari sang mertua. Masuk kamar dan membanting pintu.

“Begitu kalau perempuan terlalu sok modern, sampai lupa sopan santun.” Kata Bu Rohimah setelah mendengar bantingan pintu Sandra.

 “Sudah jangan dipeduliin istrimu itu, kamu berangkat aja nanti keburu malem terus pasar tutup.” 

*****

Lastri celingak-celinguk mencari Alan sambil menenteng dua kresek besar yang membuatnya kewalahan. Ada berbagai macam bahan makanan untuk persediaan dua minggu.

Alan yang melihat Lastri kesulitan dengan barang bawaannya langsung berlari menghampiri wanita itu dan membantunya membawa barang bawaan.

“Mau minum es dulu Las?” tawar Alan melihat keringat mengalir di pipi tembam Lastri.

“Jangan deh Pak, nanti Ibu marah.”

Alan mengangguk setuju. Ia tidak ingin mencari masalah dengan Sandra. Jadi keduanya memutuskan langsung pulang.

Namun, keadaan berkata lain. Saat di tengah jalan, tiba-tiba saja mobil yang dikendarai Alan mogok. Untungnya mobil tersebut mogok tidak jauh dari sebuah bengkel sehingga bisa dibantu dorong untuk diperbaiki.

“Kira-kira lama gak, Pak?” Tanya Alan.

Ia melirik jam di ponsel, baterai ponselnya tinggal dua persen. Ia mencoba mengirimkan pesan pada Sandra soal keadaan mobilnya tapi belum juga dikirim, ponselnya keburu mati.

“Paling setengah jam juga selesai, Pak. Mau ditunggu?”

 

Alan melirik Lastri yang menunggu dengan tenang lalu melihat langit yang sudah hampir malam. Kalau ia pulang dengan taksi, besok pagi ia akan kerepotan saat berangkat kerja.

“Saya tunggu aja, Pak.” Jawab Alan pada montir.

“Nggak apa-apa kan Las?” Alan menghampiri Lastri.

“Iya Pak, saya ikut aja.”

“Kita shalat sekalian makan di sana ya?” Alan menunjuk restoran di sebrang bengkel. Sekalian saya bungkusin makan malem buat Sandra sama Ibu. Takutnya terlalu malam, kamu juga nggak akan sempet siapin makan.”

*****

Lastri takjub melihat makanan di depannya. Sebuah steak dengan ukuran besar, mashed potato dan sayuran. Ini pertama kalinya ia makan makanan mewah seperti ini.

“Ini buat saya sendiri, Pak? Saya nggak pernah makan daging sebanyak ini.”

Mata Lastri yang berbinar-binar entah mengapa membuat Alan tersenyum. Ia tidak ingat kapan terakhir kali Sandra terlihat berbinar-binar saat mendapatkan sesuatu. Sandra selalu bersikap biasa saja hingga membuat Alan berpikir bahwa Sandra terlalu sulit untuk dibuat senang.

Berbeda dengan Lastri, hanya dibelikan makanan begini saja wajahnya sudah sumringah. 

“Iya lah. Masa mau makan sepiring berdua.”

Alan langsung menutup mulutnya, ia lagi-lagi tidak sadar apa yang baru ia ucapkan. Entah lah, kenapa di depan Lastri mulutnya jadi susah dikendalikan. Selalu saja mengatakan hal yang bisa membuat oranglain salah paham.

“Bapak bisa aja.” Kata Lastri. Pipinya sedikit bersemu merah.

“Kamu cari apa? Kenapa nggak dimakan?” Tanya Alan karena sekarang Lastri malah celingak-celinguk.

“Nasinya mana ya, Pak?”

Alan tertawa mendengar kepolosan Lastri. Tidak sadar bahwa tawanya membuat orang-orang di meja lain melihat ke arah mereka. Lelaki itu juga tidak sadar bahwa tawanya membuat seseorang di sebrang meja memotret dia dan Lastri.

*****

Rio menangis dari tadi. Bayi laki-laki itu jadi rewel setelah menjelang maghrib. Tidak biasanya dia begini.

Sandra menggendong anak semata wayangnya, mengayun-ayunkan bayi lelaki itu. Tapi Rio tidak juga berhenti rewel. Padahal bayi tersebut baru saja selesai menyusu dan popoknya juga baru diganti.

“Mana sih Mas Alan.”

Selain karena anaknya yang rewel, Alan yang tidak juga pulang padahal sudah hampir malam membuat suasana hati Sandra jadi kacau. Padahal pasar tidak begitu jauh dari rumah, lagi pula pasar pasti sudah tutup, lantas kenapa Alan belum juga kembali?

Wanita itu tidak mau mengganggu sang mertua untuk bantu membuat Rio tenang, bisa-bisa sang mertua tambah menganggapnya sebagai wanita yang tidak bisa apa-apa. 

Sandra mencoba untuk menghubungi ponsel sang suami namun tidak aktif. Tidak biasanya Alan mematikan ponselnya. Apalagi jarak pasar dan rumah tidak lebih dari setengah jam, tentu seharusnya ia sudah pulang dari tadi.

Tentu saja suaminya dan pembantu barunya harusnya sudah berada di rumah sejak tadi kecuali mereka….

Sandra menggeleng-gelengkan kepala, menepis pikiran buruk yang melintas di dalam otaknya. 

Apa yang dia pikirkan?

Tidak mungkin sang suami berselingkuh dengan seorang pembantu apalagi Lastri jauh dari tipe ideal pria manapun. Wanita itu bertubuh gemuk dengan lemak yang kendor di mana-mana, pakaian yang wanita itu gunakan juga selau lusuh dan tidak menarik. Ditambah karena badannya, ia juga kerap kali berkeringat.

Tidak mungkin, tidak mungkin. Sandra meyakinkan dirinya sendiri.

Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Dari Sisil. Sahabatnya itu mengirimkan sebuah foto dengan sebuah caption singkat.

‘Ini Alan kan? Suami lo? Ngapain dia ketawa-ketawa sama cewek berduaan? Mana ceweknya nggak banget lagi!’

Seketika lutut Sandra lemas. Wanita itu langsung jatuh terduduk. Suara tangis Rio semakin kencang. Dadanya sakit.

Kenapa Alan malah makan berdua di restoran dengan Lastri? Kenapa ia harus tertawa sebegitu lebarnya saat makan dengan sang pembantu? Ingatannya terbang lagi pada riwayat pencarian Alan yang dulu ia temukan, apakah Alan tertarik pada Lastri? Tapi kenapa?

Apa yang kurang dari seorang Sandra Maharani?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status