Share

Part 4

“Saya diceraikan karena sudah nggak cantik lagi Pak.” Ujar Lastri dengan mata menerawang.

Wanita itu sudah selesai mempersiapkan bahan untuk masak besok. Tapi Alan masih ingin mengobrol. Setelah obrolan basa-basi tentang kampung halamannya, percakapan mereka berdua jadi lebih serius.

“Kamu masih cantik kok.”

Alan hanya menjawab sesuai yang ia pikirkan. Namun jawaban itu membuat Lastri terkejut. Sudah lama tidak ada yang mengatakan bahwa dirinya cantik.

Wanita itu hanya membalas dengan senyuman dan itu membuat Alan salah tingkah. Alan menyesali kata-katanya barusan, kata-kata seperti itu cukup berbahaya untuk diucapkan kepada seorang wanita.

“Sekarang Sekar ikut sama bapaknya?” Alan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan tentang anak Lastri.

“Tinggal sama bapak saya di kampung. Bapaknya sudah sibuk sama istri baru, mana ingat sama anak. Makanya saya kerja, karena Sekar butuh biaya untuk sekolah. Sedangkan bapak di kampung cuma buruh tani.”

Mata Lastri berkaca-kaca saat membicarakan soal anaknya.

“Saya juga berat ninggalin Sekar di kampung, tapi bagaimana lagi.”

Alan menepuk bahu Lastri tanpa sadar karena bersimpati dengan kesusahan wanita itu. Baik Lastri juga Alan terkejut karena hal itu. Alan segera menarik tangannya.

“Sudah larut malam, Pak.” Akhirnya Lastri berinisiatif mengakhiri obrolan ini.

Sedangkan Alan sibuk merutuki dirinya yang tidak tahu batasan dan membuat suasana jadi canggung.

“Iya sudah terlalu malam. Sebaiknya kamu istirahat.” Alan buru-buru bangkit lalu meninggalkan Lastri sendirian di dapur.

*****

“Cape Mas?” Sandra melirik nakal pada sang suami.

Sandra duduk di tepi tempat tidur dengan baju terbuka sambil menyusui Rio. Matahari sudah tinggi, sepertinya Alan bangun cukup siang.

“Iya.” Jawab Alan tidak terlu tertarik.

Sandra hanya senyum-senyum saja, berpikir bahwa suaminya kesiangan karena melewati malam dengannya. Padahal alasan Alan kesiangan karena lelaki itu mengobrol terlalu lama dengan Lastri.

“Lan, sarapan…”

Tumben ibu mertuanya mengetuk pintu kamar Alan dan Sandra pagi-pagi.

“Iya Bu.”

“Lastri sudah masak enak di bawah, cepat turun.” Sambung ibunya.

Sandra menghela napas panjang. Selama ini ia memang jarang membuat sarapan karena sibuk dan sedari kecil ia tidak terbiasa makan nasi dipagi hari.

“Ini semua untuk sarapan?” Alan terkejut melihat beraneka ragam lauk untuk sarapan saat sudah sampai di meja makan.

Setelah menikah, ia biasanya hanya mendapati roti atau telur di atas meja makan. Sudah bertahun-tahun rasanya, ia tidak makan makanan sungguhan untuk sarapan.

“Makanya udah ibu bilang kan, ajari Sandra masak. Untung kemarin ibu suruh kamu jemput Lastri di kampung.” Bu Rohimah berbisik pada anaknya.

“Iya Bu, iya…” Alan langsung mengambil posisi duduk.

Lastri dengan sigap mengambil piring milik Alan dan menyendokkan dua sendok nasi ke atasnya.

“Terimakasih.” Alan sedikit canggung pada Lastri. Apalagi setelah semalaman mengobrol dengan wanita itu.

“Roti bakarku mana?” Sandra datang sambil menggendong Rio yang baru habis menyusu. Ia celingukan mencari roti yang biasa ada di meja.

“Saya taruh di dapur, Bu.” Jawab Lastri yang entah mengapa selalu terlihat canggung di sekitar Sandra.

“Saya nggak sarapan nasi.” Kata Sandra cuek. Lantas duduk di kursi sebelah Alan.

“Baik Bu, sekarang saya buatkan roti bakarnya.”

Bu Rohimah terlihat tidak senang dengan sikap menantunya. Sudah lama ia merasa tidak nyaman dengan Sandra, apalagi setelah tahu bahwa Sandra bersikap ‘terlalu modern’dan seakan lupa tugas juga kodratnya sebagai wanita, istri serta menantu.

“Cobain dulu sarapan nasi. Kamu kan juga orang Indonesia, jangan sok ke barat-baratan lah.”

Sandra memandang sang mertua dengan bingung, tidak biasanya Bu Rohimah bersikap ketus secara terang-terangan walau Sandra tahu bahwa Bu Rohimah memang tidak nyaman di sekitarnya.

“Aku sakit perut kalau sarapan dengan nasi.”

“Itu kan bisa-bisaanmu saja. Karena kamu buat-buat sendiri. Ibu dari kecil makan nasi bisa hidup sampai setua ini.”

Sandra ingin membela diri, tapi tidak ingin berdebat dengan sang mertua. Selama ini baik Sandra dan sang mertua masih bisa berhubungan baik karena sama-sama menahan diri. Ia tidak ingin mencari keributan sekarang.

Sandra memandangi Alan agar setidaknya lelaki itu bisa jadi penengah, namun sang suami terlalu sibuk menyantap sarapannya.

“Enak Lan sarapannya?” Tanya Sandra karena melihat sang suami begitu lahap.

“Iya San, cobain deh, kamu pasti suka.” Jawab Alan tanpa mempertimbangkan situasi.

“Makanya dibiasakan makan nasi, biar ASI kamu bagus. Jangan makan roti yang entah kapan dan siapa yang bikin itu terus.”

Sandra menghela napas, kesal karena tiba-tiba saja kebiasaan sarapannya menjadi masalah. Saat yang bersamaan Rio menangis hingga Sandra punya alasan untuk pergi dari meja makan.

*****

“Padahal kamu sudah buat sarapan seenak itu tapi tetap aja si Sandra masih minta yang aneh-aneh.”

Sandra menghentikan langkah. Ia sebenarnya mau ke dapur untuk ambil minum. Namun, mendengar suara bisik-bisik sang mertua dan pembantu membuat wanita itu memilih untuk menguping. Selama ini ia tidak pernah mendengar mertuanya menjelekkan dirinya karena tidak punya teman ngomong. Ternyata setelah mendapat teman ngobrol, begini lah cara mertua memandang dirinya.

“Mungkin Bu Sandra memang terbiasa makan roti, Bu.” 

Terdengar suara Lastri seakan mencoba menjadi pihak yang netral. Setidaknya, Lastri tidak seburuk yang Sandra pikir.

“Dia juga orang Indonesia kok. Makan roti apanya. Dulu waktu masih kecil Sandra itu juga pernah susah, cuma sekarang aja dia gaya-gayaan setelah jadi orang kaya.”

Sandra menghela napas, hatinya sakit mendengar mertuanya sendiri menjelek-jelekkan dirinya di depan seorang pembantu yang baru sehari bekerja. Padahal walau ia juga tidak nyaman dengan sang mertua, tak sekali pun Sandra pernah berbicara buruk tentang wanita itu.

“Kasian Alan, setelah nikah sama Sandra jadi kurus begitu. Apa-apa harus ikutin maunya Sandra, maunya Sandra.”

Sandra tidak tahan lagi. Ia bisa terima jika sang mertua menjelek-jelekkan dirinya, tapi ia tidak bisa tahan mendengar sang mertua mengomentari hubungannya dengan sang suami seperti itu.

“Ehem.” Sandra berdehem saat hendak masuk dapur.

Bu Rohimah dan Lastri tampak terkejut dengan kehadiran Sandra. Sang mertua bahkan sampai pucat.

“Butuh apa San?” nada suaranya berubah, tidak seperti tadi saat menjelek-jelekkan Sandra di depan pembantu.

“Aku haus Bu.” Jawab Sandra seperti tidak ada yang terjadi.

“Oh.” Bu Rohimah tidak tahu menjawab seperti apa.

Saat Sandra melangkah ke depan kulkas untuk mengambil air minum, wanita itu bisa melihat kalau Bu Rohimah menyikut Lastri, memberi kode.

“Ibu mau saya buatkan makan siang apa?” Lastri bicara dengan kikuk.

Sandra mengambil botol air dalam kulkas. Ia kemudian balik memandang Lastri dan sang mertua. Ingin rasanya ia marah pada dua wanita yang sedang berpura-pura itu. Namun, tidak jadi. Sandra malah pura-pura tersenyum.

“Kalau saya bilang mau makan apa, memangnya kamu bisa buat? Kamu tahu makanannya kayak apa?” Sandra tersenyum, menyindir.

“Maksudnya Bu?”

“Kamu masak aja yang kamu bisa, jangan pedulikan selera saya.”

Sandra kemudian keluar dari dapur. Namun berhenti tidak jauh dari sana untuk menguping reaksi sang mertua setelah disindir terang-terangan begitu.

“Lihat kan Las gayanya, sudah berasa paling modern dia. Sombong sekali jadi perempuan.”

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status