Share

Part 6

“Sandra mana Bu?” Tanya Alan pada ibunya begitu sampai rumah.

“Di kamar kayaknya, dari tadi nggak keluar. Kenapa pulang malam sekali?” Tanya Bu Rohimah yang sedari tadi juga bertanya-tanya kenapa anaknya terlambat sampai rumah.

“Mobilnya mogok, jadi Alan mampir ke restoran sekalian bungkusin makan malem.”

Alan menyodorkan bungkus makanan tersebut pada sang Ibu lalu berjalan masuk ke kamar. Saat membuka pintu kamar, Alan langsung mendengar suara tangisan Rio sedangkan Sandra malah duduk di sudut ranjangnya memegang ponsel.

“San, Rio nangis bukannya ditenangin malah main handphone.” Alan segera mengangkat Rio yang dibiarkan berbaring begitu saja di atas kasur. Setelah berada dalam gendongan Alan, bayi laki-laki tersebut berangsur tenang.

“San? Kamu kenapa? Kerjaan kantor lagi? Segitu sibuknya sampai anakmu nangis pun nggak dilihat?” Tanya Alan beruntun karena mulai kesal sebab sang istri tidak juga menjawab.

“Habis dari mana?” Tanya Sandra dingin. Wanita itu melemparkan ponselnya dengan kasar di atas tempat tidur lalu menatap Alan dengan berang.

“Aku kan habis dari pasar, emang dari mana lagi?”

“Sampai jam segini?” suara Sandra masih terdengar dingin.

“Mobil aku mogok jadi nunggu sebentar.” Alan mendengus. Baru juga dirinya sampai rumah.

“Harus ya nunggu mobil mogok sambil makan di restoran dan ketawa-ketiwi sama Lastri?”

“Ya ampun Sandra, kebetulan aku lapar dan aku juga kepikiran kamu sama ibu mungkin belum makan jadi sekalian bungkusin makanan.” Bela Alan.

Sandra tertawa sinis. Alasan Alan tidak bisa ia terima.

“Makan malam berdua sama perempuan lain? Kamu bahkan nggak ngabarin aku.”

“Ponselku mati.”

“Sekalian aja kamu bilang kalau ada gempa bumi terus kalian terjebak di restoran jadi nggak ada pilihan lain!” Sandra berteriak karena marah.

Rio yang tadinya sudah mulai tenang kembali menangis. Alan mengayun-ayunkan Rio di gendongannya, berharap anaknya segera tenang kembali.

Sedangkan Sandra hanya diam, menatap Alan dengan mata nyalang. Ia masih tidak terima sikap lelaki itu.

“Pertama kamu jemput Lastri tanpa sepengetahuanku, sekarang yang kedua kamu makan malam berdua sama dia! Yang ketiga apa? Kamu mau menyelinap dan ngobrol malam-malam sama dia pas aku tidur?! Ha?!” Sandra masih berteriak.

Alan diam, ia tidak bisa membela diri mendengar kalimat terakhir istrinya. Kadang-kadang memang Alan ngobrol dengan Lastri saat Sandra sibuk di kamar atau sudah tidur. Tapi bukan berarti ia berselingkuh, ia hanya mengobrol biasa. Sandra lah yang terlalu berlebihan.

“Kenapa diam? Benar?!”

Rio menangis semakin keras mendengar teriakan Sandra.

“Kamu ibu macam apa sih? Liat Rio nangis terus karena kamu teriak-teriak!” diteriaki sang istri ditambah suara tangis Rio membuat Alan juga emosi.

“Ibu macam apa? Kamu yang bapak macam apa! Kamu sudah beristri tapi…”

“Cukup!” Alan berteriak. Kesabarannya sudah habis. “Kamu bahkan nggak mau dengar penjelasanku dan ambil kesimpulan seenaknya. Sekarang anakmu sedang nangis pun nggak kamu pedulikan. Dasar perempuan egois.”

Alan keluar dengan membawa Rio dan kemudian membanting pintu kamar.

*****

“Biar saya saja yang gendong Rio, Pak.”

Tahu-tahu Lastri muncul dan menawarkan diri untuk menggendong Rio. Alan yang dari tadi mondar-mandir depan teras untuk menenangkan anaknya itu lantas langsung menyerahkan sang buah hati kepada Lastri.

Ajaibnya, baru juga dipegang oleh Lastri, Rio langsung tenang.

Alan duduk di salah satu kursi teras, ia memperhatikan Lastri yang di matanya tampak sangat keibuan. Berbeda sekali dengan Sandra. Andai Sandra memiliki setengah saja sifat dan pembawaan Lastri, pasti Rio tidak akan sering rewel jika digendong oleh dirinya.

 “Makasih ya Las.” Kata Alan begitu Rio tertidur.

“Iya Pak. Sama-sama.” Lastri berbicara setengah berbisik, takut suaranya membangunkan Rio.

Wanita itu duduk di kursi teras yang lain, duduk bersisian dengan Alan yang dipisahkan meja kaca kecil.

“Andai Sandra punya sedikit saja sifat kayak kamu, pasti aku jadi lebih tenang Las. Tapi yang kayak kamu liat, baru juga pulang, dia malah marah-marah. Rio nangis pun dia nggak peduli.” Alan menghela napas berat.

Semakin lama Sandra semakin jauh dari ekspektasinya. Dulu ia menikahi Sandra murni karena cinta. Tentu saja kemandirian dan sikap perfeksionis wanita itu juga menjadi salah satu daya tariknya. Namun, kini sifat mandiri dan perfeksionis pada diri Sandra malah membuat Alan merasa tidak dibutuhkan. Membuat hubungan pernikahan mereka semakin renggang.

Andai saja Alan menikahi wanita sederhana seperti Lastri…

Alan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Tidak pantas ia berpikiran seperti itu.

“Bapak kenapa?” Lastri berucap dengan lembut. Nada suaranya membuat Alan menjadi lebih tenang. Memang begini lah seharusnya seorang wanita bicara.

Ah. Lagi-lagi ia berpikir yang tidak-tidak.

“Nggak apa-apa.” Kata Alan singkat.

*****

Sandra sudah tertidur saat Alan masuk ke kamar untuk meletakkan Rio yang sudah tertidur ke boks tempat tidurnya.

Wajah Sandra yang tertidur dengan tenang membuat Alan semakin bingung dengan sang istri. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa tidur jika anaknya belum tertidur? Lalu bagaimana mungkin seorang istri bisa tidur tanpa menangis sedikit pun saat berkelahi dengan suami?

Lama Alan tertegun melihat Sandra yang sekarang sudah terasa jauh dari dirinya. Ia lalu bangkit untuk mencari udara segar.

Sesak rasanya harus berbaring di sebelah wanita yang sama sekali tidak peduli pada dirinya maupun anaknya itu.

Sampai di pintu dapur, Alan mendapati suara isak tangis wanita. Langkah kakinya ia pelankan, rumah sudah gelap dan sudah lewat tengah malam, siapa yang menangis sendirian di waktu dan tempat seperti ini? Jangan-jangan… Alan mau kembali ke kamar saja. Meski sudah besar, lelaki itu masih penakut kalau untuk hal-hal mistis.

Namun, rasa penasaran yang tersisa dalam dirinya membuat Alan tidak jadi mundur dan malah menyalakan lampu dapur.

Alan menarik napas lega saat melihat sosok wanita gemuk berdaster coklat lah yang menangis. Pundak wanita itu bergetar, wajah kagetnya karena Alan tiba-tiba menyalakan lampu dapur membuat Alan merasa bersalah.

“Kenapa nangis malam-malam di sini?”

Lastri menghapus sisa jejak tangis di pipi tembamnya lalu menggeleng.

Alan mendekati wanita itu, ingin rasanya ia sekedar menepuk pundak Lastri untuk menenangkan. Namun, ia urungkan niatnya.

“Kamu bisa cerita sama saya.” Kata Alan. Lelaki itu duduk di kursi sebelah Lastri.

“Saya cuma kangen Sekar, Pak.” Mengucapkan nama Sekar membuat tangis Lastri pecah lagi. 

Lalu tanpa pikir panjang, Alan menepuk-nepuk pundak wanita itu berharap tepukan di pundak bisa meredakan tangis Lastri.

Alan bisa merasakan pundak wanita itu bergetar, hatinya entah bagaimana ikut terasa sakit. Lastri wanita yang lemah, berbeda sekali dengan Sandra yang malah bisa tertidur pulas setelah perkelahian mereka.

“Kamu bawa aja Sekar ke sini, biar sekolah di sini juga.”

Lastri memandang Alan dengan tatapan haru.

“Memangnya boleh, Pak?”

Dipandang seperti itu, Alan merasa salah tingkah lalu mengangguk dengan cepat.

*****

“Sandra…” Bu Rohimah menyambut Sandra yang pulang ke rumah untuk memompa ASInya di jam makan siang.

Ia dan Alan masih tidak bicara. Tadi pagi keduanya sudah sibuk dengan urusan masing-masing, tidak ada satu pun di antara mereka yang berniat untuk menyelesaikan masalah tadi malam.

“Iya, Bu?” jawab Sandra heran.

Tidak biasanya sang mertua menyambutnya saat pulang ke rumah.

“Pesanin ibu makanan dong lewat aplikasi handphonemu itu.”

“Memangnya nggak ada makanan?”

Semenjak Lastri bekerja di rumah, Sandra sudah menghentikan layanan catering langganannya karena urusan makan sudah dihandle Lastri tiga kali sehari.

“Lastri kan pulang kampung.” Jawab sang mertua.

Sandra menatap sang mertua heran. Tidak ada yang memberi tahu bahwa Lastri pulang kampung pada dirinya. Meski begitu, Sandra merasa lega. Sedari awal ia memang sudah tidak suka dengan pembantu tersebut.

“Kenapa? Dia nggak betah terus minta pulang? Sudah ibu kasi pesangonnya?”

“Husshh. Lastri kan pulang kampung buat jemput anaknya biar sekalian sekolah di sini. Besok pagi juga sudah balik.”

“Apa?! Atas izin siapa Lastri boleh bawa anaknya ke sini?” karena kaget, Sandra jadi lupa mengontrol intonasi suaranya.

“Kamu ini, ngomong biasa aja. Nggak usah teriak-teriak.” Jawab Bu Rohimah santai, untungnya wanita itu tidak tersinggung. “Alan juga udah ngasi izin kok, ibu pikir Alan udah ngomong ke kamu.”

Keterlaluan! Masalahnya dengan Alan semalam saja belum selesai, kenapa sang suami malah memperumit suasana dengan mengizinkan Lastri membawa anaknya?! Sandra tidak bisa terima. Ia benar-benar tidak merasa di hargai.

“San… Sandra!”

“Iya, Bu?” tanpa sadar ia jadi melamun.

“Pesenin ibu makan siang cepetan, jangan pesen yang aneh-aneh.”

Sandra mengangguk. Pikirannya masih kalut.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status