Sementara Huang masih bimbang sebab mengejar Hoaren sama saja seperti mengejar bayangan yang tak pasti, Feng langsung membuat keputusan untuk segera menyusul ke Pulau Hainan.Dia mengangguk menanggapi si pria kedua. “Apakah kapal di sana itu adalah kapal Anda?”Pria kedua tersenyum dan menggeleng. “Sayangnya, tidak. Maaf, Anak Muda. Sepertinya kami tidak dapat membantumu untuk ke Hainan.”Feng menghela napas dalam-dalam. Baru saja dia seolah mendapatkan satu harapan, namun kemudian harapan itu memudar begitu saja bersama dengan ucapan si pria kedua.“Kakak,” ucap Huang dengan sedikit pelan pada Feng. “Apa kau yakin?”“Yaah …” jawab Feng dengan setengah nelangsa.Huang tersenyum sebab dia cukup mengerti apa yang sekarang sedang dirasakan kekasihnya itu. Dia mungkin sedikit kecewa dengan tidak adanya kapal menuju ke Hainan, pikirnya.Setidaknya, tidak sekarang.“Hei,” Huang menyentuh bahu sang kekasih. “Jika kau yakin, maka aku pasti akan bersamamu, ke mana pun kau pergi.”Feng tersenyu
Huang melangkah mondar-mandir di dermaga kayu itu. Sesekali, dia memandang ke arah belakang, arah hutan rindang di tepi pantai, lalu beralih memandangi sang rembulan yang telah berada di titik tertingginya.“Oh, demi para Dewa-Dewi di Istana Langit,” ucapnya dengan raut wajah setengah kesal, “apakah mereka jadi berangkat atau kita harus menunggu lagi sampai esok hari?”Feng membuka matanya dan tersenyum tipis. Dia sedang duduk tenang di satu bangku kayu di samping satu-satunya bangunan tak bersekat di dermaga tersebut.“Sabarlah, Adik Huang,” balasnya dengan lembut. “Kegelisahanmu tidak akan mengantarkan kita lebih jauh lagi daripada sekarang.”“Atau mungkin orang-orang di sore tadi itu berbohong pada kita?” Huang bertolak pinggang sembari memandang ke arah laut, lalu berpaling pada sang kekasih. “Berengsek!”“Tidak,” Feng menghela napas lebih dalam. “Kurasa tidak ada alasan bagi mereka untuk membohongi kita. Lagi pula, kita dan mereka tidak saling mengenal.”Kapal bertiang satu itu m
Yang Huajin melirik pada tangan Huang yang menutupi sesuatu itu dengan kening mengernyit.“Apa itu?” tanyanya dan lantas mereguk habis minuman di tangannya. “A Yin?”“Biaya atas tumpangan kami berdua,” jawab Huang.Yang Huajin terkekeh. Sementara Huang saling pandang dengan Feng.“Satu tael emas, hah?” Lagi, si pemilik kapal tertawa-tawa dengan gelengan kepala.“Jika kau merasa kurang,” kata Huang, “kami bersedia menambahkan satu tael emas lagi.”“Oh, tidak, tidak, A Yin,” ucap Yang Huajin. “Jangan salah menanggapiku. Aku tertawa sebab jarang-jarang ada yang memberiku uang sebanyak ini.”Feng dan Huang sama merasa lega.“Apa pun yang kalian kejar ke Hainan,” lanjut Yang Huajin seraya melirik pada Feng dan Huang bergantian. “Sepertinya sesuatu yang besar. Dan aku lebih baik tidak mengetahuinya.”Feng dan Huang kembali saling pandang. Intuisi si pemilik kapal ini sepertinya tidak bisa dianggap remeh.“Kami belum mengatakan apa-apa,” kata Huang. “Tapi―”Yang Huajin kembali mengangkat sat
“Tapi, tunggu dulu!” Hoaren mendelik memandangi si pemilik penginapan, lalu pada gadis pelayan di belakangnya. “Bagaimana kalian bisa tahu?”Kebingungan juga muncul di wajah si pemilik penginapan dan si gadis pelayan terhadap Hoaren sendiri.“Tuan Muda?”“Sebentar, sebentar!” Hoaren mengangkat satu tangan. “Apakah aku pernah mengatakan padamu,” deliknya pada wanita paruh baya berdandan sedikit menor itu, “bahwa aku sedang mencari seorang Biksu?”“Bukan mencari,” kata si pemilik penginapan. “Anda justru hendak menghindarinya, Tuan Muda.”Hoaren mengernyit lagi sembari memijit keningnya. Dia bahkan tidak bisa mengingat sama sekali kapan dia mengatakan hal semacam itu pada si pemilik penginapan.“Hei, hei, hei … Sepertinya ada yang salah di sini!”Wanita paruh baya tersenyum lebar. “Oh, Tuan Muda,” ujarnya. “Aku tidak akan heran jika Anda tidak mengingat ucapan Anda sendiri, Tuan Muda.”“Jadi, aku benar-benar mengatakan hal ini padamu?”“Bukan hanya padaku,” jawab si pemilik penginapan,
Pelayaran di atas kapal yang lebih besar tentu saja memberikan sensasi yang lebih menyenangkan dan lebih menenangkan. Alunan ombak yang mengguncang kapal tidak begitu terasa berbanding ketika berada di atas kapal yang lebih kecil.Meskipun perjalanan mereka bukanlah untuk bersenang-senang, bukan sebuah darmawisata, akan tetapi, mereka cukup menikmati ketenangan yang ada, terutama pada Huang yang belakangan suasana hatinya menjadi tak terlalu baik.Setidaknya, ada sekitar lima puluh penumpang di kapal itu, termasuk dengan Feng dan Huang sendiri, dan sekitar lima belas orang awak kapal beserta nakhodanya.Di geladak kapal, sebagian besar mereka sedang menikmati makanan dalam kelompok-kelompok kecil. Lainnya ada yang menikmati pemandang laut di siang hari, ada yang bersama kekasihnya, ada pula yang bersama anak-istri mereka.“Mungkin pria itu sudah berada di Hainan,” ucap Huang. “Mungkin pula dia telah menyeberang ke daratan lainnya.”“Adik―”“Yang ingin aku katakan adalah,” Huang meliri
Dari satu atap, Hoaren melompat lagi ke atap lainnya, dan berpindah lagi dengan gerakan yang sangat ringan, tanpa kesulitan. Dia sengaja memilih sisi yang sepi sehingga gerak-geriknya yang mencurigakan itu tidak diketahui oleh orang lain.Hoaren mengawasi kondisi di bawah. Dia melihat dua biksu muda sedang menuju ke sebuah kuil yang berada paling belakang. Dua biksu muda masing-masing membawa kain bersih yang terlipat dengan baik.Dia tersenyum, menunggu kedua biksu muda memasuki kuil di belakang, dan kemudian melompat lagi dengan ilmu meringankan tubuhnya yang baik hingga dia menjejakkan kakinya di atap kuil itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.Hoaren mencari celah agar dapat melihat bagian dalam kuil atau setidaknya, mendengar pembicaraan di dalam.“Guru Ma,” ujar seorang tetua kuil dengan sedikit membungkukkan badan.Dari segi usia, dia jelas lebih tua daripada Guru Ma sendiri. Akan tetapi, soal pendalaman ilmu Sutra, Guru Ma jelas lebih unggul.“Perjalanan menuju Laut Melayu
“Anak Muda!” Tetua kedua melesat dengan satu cakar terjulur pada Hoaren.Teph!Cakar itu hinggap di bahu kanan Hoaren. Akan tetapi, dia sudah bersiap untuk itu sehingga cakar sang tetua tidak mampu menembus pertahanan tenaga dalamnya.Desg!Sebaliknya, dengan menggeser sedikit bahunya, Hoaren telah mampu memaksa tetua kedua menjauh dan dia sendiri melompat dua langkah ke belakang.“Kau!” Tetua kedua tertegun. “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menguasai jurus-jurus Shaolin?”Hoaren menyeringai sementara dua biksu muda dengan toya dan sepasang ruyung terlihat ragu-ragu, berdiri di belakang tetua kedua.“Benar!” sahut biksu muda bertoya sembari menunjuk Hoaren. “Kau mengalahkan adik kami dengan jurus Tinju Baju Besi. Dari mana kau mempelajari itu?!”Hoaren menyeringai dan berkata, “Aku tidak perlu menjawab keingintahuan kalian.”“Lancang!” hardik biksu muda dengan sepasang ruyung di tangannya.“Lagi pula,” lanjut Hoaren tanpa menghiraukan si biksu muda. “Bukan hanya Shaolin saja yang pun
“Terima kasih karena sudah mengantar kami,” ucap Feng pada si pemilik kapal.“Silakan, Tuan Muda,” balas pria paruh baya tersebut. “Nona!”Feng dan Huang turun dari kapal yang telah berlabuh di salah satu dermaga yang ada di Kota Haikou.Sang pemuda tersenyum mendapati sang kekasih memandang ke sana dan kemari, seolah mengawasi sestuatu di tengah keramaian pelabuhan itu di pergantian senja ke malam hari saat ini.Dia menghela napas lebih dalam. “Di sini jauh lebih ramai.”Huang melirik ke samping kiri. “Tentu saja,” ujarnya. “Dari apa yang pernah kupelajari, Hainan adalah pulau yang berada di antara lalu-lalang kapal-kapal dagang. Jadi, sudah pasti mereka jauh lebih sibuk daripada kawasan lain.”Feng tersenyum menahan tawa. Dia bukannya tidak mengetahui akan hal ini, namun lebih kepada upayanya untuk membuat Huang tidak begitu tegang dalam perburuan mereka terhadap Hoaren.“Kurasa,” ujarnya kemudian, “untuk saat ini, lebih baik kita mencari tempat penginapan terlebih dahulu. Bos kapal