Share

3. AWAL MULA

Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.

Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.

Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu perasa? Sejak kemampuan bertambah, aku lebih sering menghindari kontak dengan orang-orang sekitar. Benda-benda yang tak sengaja bersentuhan dengan ku bisa saja berbicara. Lebih baik mencegah daripada harus terlibat. Ya aku bilang begitu bukan? Tetapi kenyataan berkata lain. Hingga suatu hari teman baikku meminta bantuan. Disinilah semua hal yang kupertahankan hancur satu-persatu.

Di suatu hari yang dingin. Hujan di luar seperti enggan berhenti. Anak-anak kelas sibuk berbisik bilang susah pulang. Bilang bisa menunggu lama. Padahal ini masih jam pelajaran kedua. Masih ada waktu 2 jam pelajaran lagi hingga pukul 1 siang bel pulang berdenting.

"Yo, entar temenin gua ya. Bisakan?!" Andre berbisik dari meja sebelah.

"Aman Ndre. Lu jangan kemana-mana aja abis ini." Aku balik berbisik menjawab tawaran Andre. Sejauh ini hanya Andre yang tahu kemampuanku. Jadi aku yakin ia bisa dipercaya untuk hal ini. Kami sudah berteman sejak sekolah dasar. Saat ini aku dan Andre telah duduk di bangku kelas 11 SMA. Hampir 10 tahun pertemanan kami. Ya aku rasa hal itu cukup untuk membuatnya dipercaya.

Saat pertama kali masuk SD semua tampak berjalan normal. Aku bisa berteman dengan anak-anak lainnya. Bisa menjadi kehidupan normal anak kecil yang baru merasakan pendidikan pertama. Andre menjadi teman sebangkuku. Pertemuan pertama kami juga berjalan normal seperti anak lainnya. Waktu pun berlalu hingga kejadian itu membuatku bersumpah tidak akan pernah lagi memberitahu kemampuan bodoh ini.

Seperti permainan anak-anak kecil di usianya, kami sepakat untuk bermain kelereng. Permainan berjalan baik. Andre menang dan aku tentu saja kalah. Tiga teman kami lainnya pun tidak ada masalah. Kelereng yang di dapat sudah adil sesuai permainan. Saat akan pulang salah satu teman dari tiga teman kami kehilangan kelerang favoritnya. Mulailah saling tuduh-menuduh.

"Hei Andre! Pasti kamu yang ambil kelerengku kan. Ngaku kamu!" Tanpa memeriksa dulu anak ini langsung menuduh Andre.

"Aku tahu kamu nggak bisa beli. Tapi jangan mencuri dong." Sambung anak itu. Dua temannya yang lain ikut menuduh Andre.

"Dasar miskin." Celetuk anak di samping kanannya. Seketika darahku mendidih. Aku yang masih berusia 12 tahun saat itu tahu bahwa menjelekkan kondisi hidup seseorang tidaklah baik. Langsung saja ku rampas kantong berisi kelereng miliknya. Seketika ingatan itu muncul.

"Hei apa-apaan ini. Kenapa kamu malah ambil kantongku." Teriak anak itu lagi. Aku menatapnya tajam sambil meremas ujung kantong.

"Diam!!" teriakku tak kalah kencang. "Kelerengmu tidak diambil Andre. Aku bisa jamin." sambungku masih dengan perasaan marah.

"Temanmu itu diam-diam mengambilnya dari dalam kantongmu saat kamu bermain." kutunjuk teman disamping kanannya. Si anak melirik temannya. Mereka terdiam.

"Nggak mungkin. Kamu pasti bohong." Si anak malah membantah bergantian melirik temannya seperti meminta pembenaran.

"Hei. Mengakulah." ucapku dingin. Andre yang berada disampingku hanya bisa termangu menatap kami. Ia, anak disamping kanannya tiba-tiba menunduk. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengorek isi kantong celananya.

"Ini kelereng milikmu. Aku... aku.. minta maafffff..." ucapnya tersedak diiringi tangis khas anak kecil yang ketahuan mencuri. Si anak menatap temannya tak percaya sambil mengambil kelereng miliknya dari telapak tangan temannya. Setelah itu temannya berlari pergi masih dengan tangisannya.

Aku mendekati si anak. "Minta maaf." ucapku. Matanya membesar tak percaya. "Sudahlah Rio. Nggak apa-apa asal udah tahu siapa yang ambil." Andre menarikku kebelakang mencoba mengalah.

"Minta maaf. Cepat!!" Bentakku di wajah anak itu. Ia terkejut. Mukanya pias. Namun perlahan mendekati Andre dan meminta maaf. Aku mendelik temannya satu lagi. Ia tanpa di suruh langsung bergerak mendekati Andre dan ikut minta maaf.

Setelah itu, aku melangkah pergi meninggalkan mereka diikuti Andre di sampingku.

"Yo. Makasih ya." ucap Andre tulus. Aku tahu saat itu hatinya sakit tetapi aku tak ingin menanggapi. Sepanjang jalan aku hanya terdiam. Andre yang tahu aku tak ingin diganggu ikut diam. Sesaat aku tersadar, barusan aku menggunakan kemampuanku.  Apakah Andre akan mencurigaiku? Atau anak-anak lain akan mencurigaiku? Aku rasa tidak. Jangan sampai.

"Akhhhh. " gerutuku frustasi. Andre yang berjalan si sampingku terkejut. "Tidak apa-apa." jelasku. "Kamu pulang saja." Ucapku kelewat dingin. Ah sudahlah. Dengan tergesa-gesa kutinggalkan Andre yang masih berdiri diam dan memilih pulang.

Tak disangka-sangka keesokan harinya saat aku masuk kelas anak-anak kelas menatapku ngeri. Sebagian berlari menjauh ketakutan sebagian lain berbisik-bisik. Andre yang duduk di bangku kami menatapku prihatin. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Ia mencoba tersenyum. Senyum yang dipaksakan.

"Kamu nggak papa kan sampai rumah kemarin?" tanyanya memulai percakapan. Canggung. Sangat canggung.

"Ah iya." jawabku singkat. Sepertinya Andre enggan membahas apa yang terjadi sekarang. Setelah mendengar jawabanku ia hanya ber-oh panjang melanjutkan membaca buku yang ku tahu tak ia baca sama sekali.

"Andre, apa yang.. " ucapanku terpotong saat segerombol anak laki-laki memasuki kelasku sambil ribut-ribut.

"Monster!!!" Teriak mereka bersahutan. "Rio monster!!" Teriak mereka lagi. Andre yang mendengar teriakan itu maju meninju muka anak yang kemarin bermain bersama kami. Bisa di bilang ketua geng mereka.

Aku terpana. Bocah cupu itu maju membelaku. Tak mau ketinggalan aku ikut maju meninju mereka. Aku tahu akar masalahnya dimana. Kejadian kemarin pasti menjadi pemicu. Dasar anak-anak kecil bodoh. Mereka pikir dengan menyebarkan rumor aku akan menjadi lemah di benci semua orang. Anak-anak kelas lain berteriak heboh. Anak  perempuan menangis ketakutan yang laki-laki malah menyemangati.

"Andre ayo kita bantai mereka." aku tersenyum licik. Andre tertawa mengiyakan tawaranku. Pertengkaran yang lebih tepatnya terlihat seperti sekelompok bocah sok kuat yang saling pukul tak jelas berlangsung panas. Tak lama wali kelas kami datang tergopoh-gopoh membawa rol kayu panjang di tangannya. Kami yang melihatnya tak peduli. Harga diri lebih penting.

Teman-teman lain mencoba memisahkan kami. Walau terbilang lam akhirnya kami dapat dipisahkan. Kami saling menatap benci.

"Dasar miskin, monster." celetuknya lagi. Seketika amarahku kembali memuncak. Untung saja beberapa anak menahanku. Wali kelas menatap kami lelah.

"Sudah cukup. Sekarang ikut saya ke ruang BK." ucapnya tenang.

Kami berlima melangkah bersama diawasi Wali kelas dari belakang. Di fuang BK kami diceramahi panjang lebar tentang betapa pentingnya memiliki hubungan baik dengan orang-orang sekitar. Aku hanya menatap malas. Ini bukan tentang hubungan baik atau semancamnya. Ini soal kebenaran. Tapi ya sudahlah aku memilih mendengarkan daripada harus memberi pembenaran.

Akhir dari ceramah panjang itu kami berlima dihukum menulis surat permintamaafan dan  pemanggilan orang tua pastinya. Dan sejak itu aku memilih menyembunyikan kemampuanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status