Share

5. ANDRE (2)

Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.

Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku.

"Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre.

"Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tanganku masih terkepal hingga kuku-kuku ku memutih. Kurasakan ketakutan dan kemarahan yang bergabung dalam nada suara Andre.

"Tunggi gua. Lu dimana? Di rumah? Oke gua kesana sekarang." Aku yang juga geram bersiap menemui Andre.

"Nggak Yo. Gua kesana. Lu tunggu. Gua juga mau liat dengan mata kepala gua" Andre memutus telpon. Aku tahu dia bergegas kemari.

Aku berjalan bolak-balik. Seumur-umur aku tak pernah melihat Andre semarah ini. Dia adalah anak yang ceria. Pembawaannya yang tenang membuatnya dekat dengan siapa saja. Setiap aku punya masalah ialah satu-satunya orang yang dapat kuandalkan.  Ketika ia berada dalam masalah yang tak dapat ia selesaikan artinya dunia sedang tidak baik-baik saja.

Sudah lewat 10 menit. Aku menimbang-nimbang untuk menghubunginya. Tapi urung kulakukan. Aku tunggu saja. Saatku lihat sebuah mobil hitam bersiap melewatiku, disitulah Andre muncul dengan sepeda motornya. Berhenti tepat di depan mobil itu. Ia membuka helm dan turun dari sepeda motor. Mobil yang di cegat tiba-tiba mengerem mendadak. Ckitttt. Terdengar gesekan ban ke jalanan yang dipaksa rem.

Seorang pria separuh baya keluar dari mobilnya. Mengenakan setelan bos khas kantor. Sepatu hitamnya mengkilat. Jam tangan emasnya bersinar terkena sinar matahari. Andre menatap tajam pria di depannya. Pria itu menghela nafas panjang. Membenarkan jasnya dan berjalan mendekati Andre.

"Kenapa kamu bisa sampai kesini?" Suaranya tenang. Pria itu tak gentar sedikitpun. Berkebalikam dengan reaksi Andre. Dadanya naik turun. Andre dengan mata tak percaya memandang ayahnya.

"Bisa-bisanya Ayah bertanya seolah tak terjadi apa-apa." suara Andre bergetar. Aku yang menyaksikan dari jauh bisa mendengar percakapan mereka. Auranya yang terasa semakin panas. "Kau tidak bisa disebut ayah." Ia menunduk. Tangannya terkepal erat. Ia mengigit bibir menahan amarah.

"Apa yang kamu maksud Andre? Ayah tidak mengerti" Pria itu lagi-lagi memasang wajah seolah-olah tak terjadi apa-apa.

"Bangsat!!" Amarah Andre meledak. Pria yang ia sebut ayah berhasil menyulut api yang sebenernya bisa saja tak terjadi jika ia jujur dari awal. Andre melangkah perlahan sambil sambil merenggangkan jemarinya. Aku tahu yang akan terjadi. Sebelum benar-benar terjadi aku berlari bermaksud menahan Andre.

Bukk.

Satu tinju sudah melayang di pelipis pria paruh baya itu. Aku terlambat. Ku lihat punggung Andre yang naik turun tak beraturan. "Laki-laki sejati tidak pernah menghianati keluarganya." Ia berbalik, meraih helmnya dan naik seatas motor. Aku mengikuti di belakang dan duduk di boncengan. Ia menstater motornya dan pergi melewati pria bermobil hitam itu.

Yang kulihat pria itu tercengang sambil memegang pelipisnya yang lebam. Ia memeriksa ponselnya sebentar ntah menghubungi siapa. Sesaat kemudian masuk mobil memutar arah dan pergi. Aku yang berada di boncengan sadar amarah Andre belum reda. Kukunci mulutku rapat-rapat hingga Andre tenang dan akan ku ceritakan apa yang telah kulihat.

Motor yang Andre kendarai menuju rumah besar kediamanku. Aku turun begitu juga Andre. Ia masuk rumah menyapa Mama dan memeluknya.

"Andre kangen Tante." ucapnya bak anak kecil yang minta dimanja. Ku pandang ia yang seolah tak terjadi apa-apa barusan. Ia kembali menjadi Andre yang ku kenal.

"Andre kesayangan Tante, tante juga kangen."  Balas Mama memeluk Andre balik. Andre nyengir. Aku hanya menggangkat bahu tak mengerti.

"Aku keatas dulu Ma." ucapku menyela kegiatan berkasih-kasih mereka. Mama tertawa. "Kamu pasti cemburu kan. Makanya jadi anak jangan jaim-jaiman" Mama meledekku yang ku balas kerutan di dahi.

"Andre ayo makan malam disini aja. Tante udah masak banyak." Andre sejenak ragu. "Nggak deh Tan. Andre mau makan bareng Ibu aja." Mama terlihat kecewa namun tetap membiarkan Andre pulang.

"Andre pulang Tante." Andre sudah naik ke motornya. Mama melambaikan tangan dari depan pintu. "Salam buat Ibumu ya Ndre. Kalo Tante sempat pasti berkunjung ke rumah kamu." Andre menggangguk dan menyalakan motornya.

"Urusan kita belum selesai Ndre." teriakku saat ia keluar dari pagar rumahku. Andre mengiyakan dengan isyarat tangan. Ok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status