Share

6. TENTANG LEA

Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.

Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu.

"Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik.

"Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah cepat menuruni tangga ke lantaibawah.

Nina menunduk. Memainkan jemarinya cemas. Sesekali mengusap matanya yang sembab. Ia mendongakkan kepala saat melihatku diseberangnya.

"Rio..." Aku mendekat dan memeluknya. Ia terisak. Tangis yang mati-matian ia tahan pecah saat berada di pelukanku.

"Kak Lea.." ucapnya terbata-bata.

"Kak Lea.. nggak.. pulang.." sambungnya. Ku lepas pelukanku dan ku usap air matanya.

"Tenang ya. Aku dengerin kamu Nin." Nina memainkan jemarinya lagi. Cemas.

"Kak Lea." Mulainya lagi.

"Iya?" jawabku agar ia tahu aku masih mendengarnya.

"Kemarin dia pulang penuh lebam di badan tapi dia nggak mau cerita. Aku tahu dia nangis sendiri di kamar pas aku kebangun tengah malam." Nina bercerita dengan wajah sisa menangis.

"Malam ini dia nggak pulang. Ponselnya nggak bisa dihubungi. Mama sama Papa sekarang lagi di kantor polisi laporin kehilangan. Tapi mereka nggak mau cari karna mereka bilang belum pergi 2 hari. Aku.. aku.. tolong kami Rio.. " Nina terisak lagi. Ku rangkul bahunya sambil mengusap punggungnya. Berharap hal itu dapat menenangkannya.

"Nina ayo ke rumah kamu." Aku bangkit mengambil kunci mobil dan membawakan jaket untuk Nina.

"Rio pergi dulu Ma. Aku janji bakal jaga diri." Mama yang sedari tadi memperhatikan  kami memelukku erat. Mencium ubun-ubun kepalaku.

"Iya Mama tahu." Mama juga meraih bahu Nina memeluknya sama erat. "Kamu harus kuat sayang." Mama berbisik di telinga Nina. Ia mengusap matanya kasar sambil mengambil nafas panjang.

"Iya Tante." Sinar mata Nina berubah. Ia terlihat lebih kuat.

"Ayo Rio." Aku mengangguk mengendarai mobil kearah rumah Nina. Jalanan yang kosong seolah menggambarkan perasaan kami saat ini. Tak satupun yang berani memulai percakapan. Kami terdiam menyelami pikiran masing-masing.

~~~

Kami sampai dengan selamat. Rumah Nina terang di kegelapan malam yang kian pekat. Paman dan Bibi sibuk menelepon sana sini. Saat melihatku masuk bersama Nina, mereka mengucap syukur.

"Terima kasih sudah mau datang Rio." Paman yang pertama kali bersuara.

"Nggak apa-apa Paman. Aku mau ke kamar Lea. Boleh ya." Bibi langsung mengangguk tanpa pikir panjang.

Kuikuti Nina di depanku. Ia memutar kunci gagang pintu dan terlihatlah kamar putih polos di hadapanku. Sangat sederhana untuk ukuran anak orang kaya. Saat pertama kali dibuka ntah mengapa mataku langsung tertuju ke sebuah lemari di sudut kamar. Ku usap pelan. Ingatan itu muncul tak tertahankan. Lea benar-benar tidak baik-baik saja.

Ia bolak balik sambil menggenggam ponsel. Dering pesan masuk beruntun. Ia cemas. Menggigit kuku-kuku tangannya. Tak lama satu telpon masuk.

"Iya. Aku.. bakal.. kesana.." suaranya lirih sekali. Wajahnya benar-benar pias. Tanpa pikir panjang ia kenakan jaket dan bergegas keluar lewat jendela.

Terhenti. Ingatannya hanya sampai disitu.

Aku lanjut menyentuh jendela dan dinding putih kamar ini. Lea berhasil keluar lewat jendela. Ia terlihat merapal sesuatu. Alamat? Nama tempat? Ku lihat lagi. Nina yang berada di sampingku sama cemasnya. Aku kembali menyentuh dinding kamar.

Terbaca. Ia tak jauh dari sini.

"Pabrik lama di belokan." aku berhasil membaca gerakan bibirnya. Nina tanpa jeda langsung berlari keluar. Diikuti Paman dan Bibi. Aku yang tertinggal ikut berlari. Nina menangis dalam langkahnya. Aku berhasil menyusul Nina.

"Rio.. Rio.. Cepatttt. Cepat!!" Ia meneriakiku marah. Aku tahu betapa besar  kekhawatirannya.

"Di depan. Di depan. Itu Kak Lea." Nina yang kesetanan menunjuk-nunjuk pabrik. Ia tak lagi peduli sekitar . Ia bahkan lupa memakai sandal. Paman dan Bibi tak mampu menyusul kami. Mereka tertinggal jauh.

"Nina tenang. Tenang." Aku menahan Nina. Ia dengan kasar menepis tanganku. "Tenang katamu?" Matanya merah. "Kita nggak pernah tahu apa Kak Lea bakal baik-baik aja." Ia kembali berlari sambil meneriaki nama Lea. Kami berkeliling mencari Lea.

Malam semakin larut. Beberapa warga datang ikut membantu. Paman dan Bibi yang meminta pertolongan. Tiga puluh menit berlalu tanpa hasil. Beberapa orang menyerah. Sebagian lagi tetap mencari. Aku menyentuh setiap benda yang kutemui tapi nihil. Tempat ini tak memiliki jejak. Seperti ada kekuatan yang lebih besar menaunginya. Aku tak heran. Sebab ada beberapa benda yang tak memiliki ingatan. Dihapus atau memang tak pernah ada aku tak tahu.

Tiba-tiba dari arah belakang pabrik ada yang berteriak histeris. Kami serentak menghampiri suara. Disana Nina bersimpuh memeluk seseorang. Tangisnya pecah.

"Ambulan. Tolong hubungi ambulan!!" Nina berteriak marah. Lea yang tak sadarkan diri terkulai lemah dengan badan penuh luka. Paman dan Bibi yang datang paling akhir menatap lemah anak sulung mereka. Paman jatuh terduduk. Bibi yang tak sanggup menahan rasa terkejutnya jatuh pingsan. Warga yang membantu, menggotong tubuh Bibi dan mencoba pertolongan pertama.

Lututku lemas. Kejadian ini begitu cepat. Ambulan yang dipanggil datang. Suara sirinenya yang memekakkan telinga dan lampu yang berkedip-kedip menyilaukan mata. Sejenak pikiranku kosong. Kepalaku berdenyut nyeri. Detik berikutnya aku  jatuh ke tanah tak sadarkan diri.

"Saya tidak bisa terima."

"Anda juga orang tua. Pasti tau bagaimana rasanya."

"Tidak. Tidak. Saya akan menuntut."

Sayup-sayup ku dengar suara dari luar. Paman seperti berbicara di telepon. Aku terbangun saat suara Paman mulai meninggi.

"Lea anak sayang yang paling berharga. Saya tekankan sekali lagi. Kalau kalian tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Saya akan menuntut."

Aku tertegun. Kepalaku masih nyeri. Apakah kemampuanku mulai bermasalah? Aku menatap telapak tanganku. Atau jangan-jangan kemampuanku hilang? Tidak mungkin! Ku sentuh kasur yang ku duduki. Ahh.. ternyata masih berfungsi. Kemarin malam aku pingsan. Langsung di bopong beberapa warga.

Ha? Sudah pagi? Nina. Mana Nina? Aku bangkit dengan terburu-buru dan keluar kamar. Kulihat Paman duduk memangku kepalanya.

"Paman, Nina?" hanya kalimat singkat itu yang keluar dari mulutku. Paman menatapku sendu. Ada banyak kekhawatiran disana.

"Nina di rumah sakit Yo. Sama Bibi" sebelum aku bertanya lagi Paman kembali menyambung kalimatnya. "Lea baik-baik aja. Tapi belum sadarkan diri." Paman tersenyum kecut mengusap frustasi rambut berubannya.

"Ayo kita kesana Paman." celetukku. Paman balas menatap ragu. "Kamu udah nggak apa-apa?" Aku mengangguk. "Aku baik-baik aja. Yang terpenting sekarang kita tuntaskan masalah ini bersama."

Semenit kemudian kami sudah berada di jalan menuju rumah sakit. Aku yang menyetir. Saat ini Paman tak akan bisa fokus. Berkali-kali ia mengusap wajar, menyisir rambut dengan tangan. Air mukanya cemas.

"Paman. Semua pasti baik-baik saja." hiburku berkali-kali. Jalanan pagi ini padat. Akibat jam masuk kerja. Kami sempat terjebak macet beberapa kali. Tapi untungnya tak memakan waktu lama. Setelah kurang lebih dua puluh lima menit kami sampai di tujuan. Segera saja kami menuju kamar inap Lea.

Didepan daun pintu kamar inap langkahku malah terhenti. Bibi terlihat kusut. Tak ubahnya Nina. Lebih kacau dari Bibi. Matanya bengkak. Rambutnya berantakan. Tanpa sendal. Paman yang lebih dulu masuk menepuk bahu Bibi yang tertidur di sofa.  Menyerahkan tas berisi pakaian bersih. Bibi tersenyum lemah meraih tas itu dan melangkah ke kamar mandi.

Nina yang tertidur di samping Lea dengan posisi duduk dipindahkan paman dengan hati-hati ke sofa. Aku masuk perlahan. Duduk di kursi samping ranjang Lea. Menggenggam tangannya dan berbisik menyemangati.

"Lea, kamu perempuan hebat. Ayo bangun. Nanti kita bisa jalan-jalan kemana pun yang kamu mau." kata orang berbicara dengan mereka yang tak sadarkan diri akan mempengaruhi tekad mereka untuk bangun.

Kuraih kain di meja samping, membasuhnya dengan air hangat dan memerasnya. Kuusap pelan-pelan ke lengan Lea. Bibi yang selesai bebersih menyapaku dengan senyum hangat.

"Makasih udah datang Rio." Aku balas tersenyum. "Nggak apa-apa Bi. Aku udah janji buat bantu sampai masalah ini selesai." Bibi memelukku haru. Sudut matanya basah.

"Udah Ma. Jangan nangis terus-terusan. Nanti cantikny hilang." Paman yang ku tahu juga sama khawatirnya dengan Bibi mencoba mencairkan suasana. Bibi terkekeh lemah. "Iya Pa. Nggak bakal nangis lagi."

Aku memperhatikan keluarga kecil ini. Seketika ingat dengan Andre. Apa kabar bocah itu. Sejak semalam aku lupa ia juga butuh bantuan.

"Paman, Bibi aku keluar dulu mau ngehubungin temen." Paman dan Bibi mengiyakan. Di lorong rumah sakit ku hubungi Andre. Tetap saja. Sampai dering terakhir tetap tak di jawab.

Saat aku akan masuk ke kamar inap satu panggilan masuk. Nomor tak dikenal. Setelah menimbang-nimbang di dering ketiga kujawab panggilan itu.

"Yo, untuk sementara lu hubungin gua lewat nomor ini ya. Ponsel gua ketinggalan di rumah." Belum sempat aku menjawab panggilan terputus.

Sialan Andre.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status