Share

1. KILAS MIMPI

"Tidak Rio, mama tidak akan beri izin kamu ke tempat saudaramu itu. ",  mama lagi-lagi melarangku karena hal sepele.

"Kamu tau kan, perjalanan kerumah Nina butuh waktu setidaknya 30 menit", lanjut mama. Nina mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Tentu saja aku setuju. Sejauh ini hanya dia yang bisa ku andalkan.

"Rio janji hanya 2 hari. Mama tidak perlu khawatir, okay?" pintaku memelas pada mama. Setelah menimbang-nimbang mama akhirnya buka suara.

"Baiklah 2 hari Rio. Tidak lebih. Tapi dengan syarat kamu jangan pernah terlibat lagi untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan kamu." Aku mengangguk dan mengemas pakaianku siap untuk berangkat.

Selagi mengemasi pakaian, aku tersenyum lalu sedih kemudian tertawa. Menyentuh sesuatu membuatku bahagia dan tersakiti. Selama ini aku kira hal yang wajar seseorang mengingat kenangan hanya dengan melihat benda yang akrab baginya. Contohnya saja, beberapa waktu yang lalu papa membelikanku bolpoint unik. Seminggu kemudian temanku menghilangkannya. Setelah kejadian itu setiap melihat bolpoint yang serupa entah dimanapun perasaanku akan kehilangan bolpoint itu tetap terasa.

Benarkah perasaan manusia sedalam itu hanya untuk hal-hal kecil? Atau bisa jadi hal-hal kecil berupa benda sederhana yang kita temui malah memberikan pengaruh besar terhadap sesuatu yang tidak kita sadari. Seperti mengubah dunia mungkin?! Ini hanya dugaanku. Sebab akibat benar adanya bukan. Hubungan timbal balik. Dasar fisika hukum Newton 3 aksi reaksi. Hingga kini aku tahu aku ada bukan tanpa sebab. Kenangan yang aku ingat bisa menyelamatkan seseorang. Membuatku semakin yakin bahwa jalan yang aku pilih tidak salah.

"Rio, mau berangkat jam berapa?" mama meneriakiku dari dapur. Pikiran apa itu tadi? bodoh. Mana mungkin menyelamatkan orang. Aku tertawa miris sambil melangkah keluar kamar. "Sudah siap ma. Rio pergi dulu." ucapanku membuat mata mama berkaca-kaca. "Rio akan baik-baik saja ma. Tenang dan percayakan anak mama ini." lanjutku menghibur mama. Mama memelukku erat. "Hati-hati Rio. Ingat pesan mama."

Inilah gambaranku ketika berpamitan pergi. Terlihat berlebihan mungkin. Tetapi begitulah alur hidupku, dijaga sebab menimbulkan rasa sakit. Aku berbeda dan aku tahu itu. Namun aku ingin mama mengerti aku bisa hidup dengan perbedaan ini. Mungkin nanti, mungkin juga tidak akan.

Aku melangkah keluar sambil menyampirkan tas dipunggung dan masuk mobil. Mengendarainya dengan kecepatan normal sambil tersenyum, sedih dan tertawa.. Rasa sakit dan bahagia yang muncul bergantian. Aku pikir aku sudah gila.

Jalan yang ku lalui tidak sepadat biasanya. Hanya beberapa kendaraan bermotor dan mobil yang lalu lalang. Tiga puluh menit kemudian aku tiba di rumah Nina. Ia dengan senyum jenakanya melambaikan tangan. Aku turun dari mobil dan masuk rumah.

"Hai cebol." sapaku yang di sambut  pukulan di bahu. Nina cemberut namun terlihat senang.

"Dasar bodoh" ejeknya lalu berlari ke dalam rumah. Aku hanya terkekeh melihat tingkah konyolnya. Saat melangkah ke kamar tamu. Ibu Nina menyambutku dengan senyum teduhnya.

"Rio, maaf ya bibi pikir kamu tiba nanti malam. Ya sudah, masuk kamar saja bereskan pakaian kamu terus istirahat. Bibi ke kamar dulu." aku hanya mengangguk setelah bibi menyelesaikan kalimatnya dan melangkah masuk kamar.

Ku buka pintu kamar dan mataku langsung tertuju ke sebuah lemari kayu. Ahh ternyata masih ada, batinku. Kususun pakaianku di dalam lemari sembari menyambut kenangan dan ingatan yang hadir. Tentang coretan di pintu lemari, benda-benda yang menghiasi bagian atasnya juga isi lemari yang penuh pakaian sebelumnya.

Aku ingat, kamar ini dulunya ditempati Lea, kakak Nina. Setelah setahun tak berpenghuni kamar ini selalu ku tempati setiap datang berkunjung. Benda-benda yang sebelumnya ada di pindahkan atau di buang entahlah aku pun tak tahu pasti. Aku bisa merasakan melalui benda lain yang mengirim sinyal kepadaku. Kata mereka penghuni lama sering menangis. Terkadang hampir mencoba bunuh diri. Lemari dihadapanku menjadi saksi bisu persembunyiannya setiap malam di tengah isaknya agar keluarga tidak mendengar. Langit-langit kamar dan dinding putih ikut bersedih melihatnya. Aku terhanyut dalam rasa sakit ini. Tanpa sadar airmataku ikut jatuh.

"Sial. Lagi-lagi aku menangis." tak mau berlama-lama terhanyut aku memutuskan naik ke kasur dan merebahkan badanku. Hari yang melelahkan. Tak lama aku tertidur diiringin dongeng dari kasur yang di tiduri. Katanya kenangan bisa menjadi pengingat. Tapi setidaknya aku tak perlu ikut bersedih. Sebab bukan salahku menjadi tahu.

Ya.. bukan salahku menjadi berbeda.

"Rio! Rio! Kenapa kamu tinggalin aku saat itu. Kenapa kamu pergi. " perempuan di hadapanku menangis tersedu-sedu.

"Siapa..." lirih sekali suaraku. Melihat perempuan ini membuat dadaku sakit. Tetapi siapa dia?

"Rio! lihat aku, aku tahu kamu mengenalku. Rio.."

"Rio!!!"

"Rio!"

Tok tok tok

"Rio.."

Tok tok tok

"Rio bangun. Acaranya akan di mulai, bersiaplah."

Astaga. Aku terbangun. Mimpi itu..

"Rio, buka pintunya." Bibi masih mengetuk pintu kamar. "Baik bi." jawabku sambil bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Bibi mengernyit dahinya saat melihatku. "Kamu gapapa?" tanyanya. "Kamu abis liat hantu?" tanyanya lagi.

"Aku baru bangun tidur bi. Tadi mimpi aneh." jawabku singkat. Bibi hanya menggelengkan kepala lalu menepuk bahuku. " Yaudah siap-siap sana. Acara sebentar lagi."

Aku keluar kamar menenteng handuk dan beberapa alat mandi saat melihat keluar rumah hari sudah mulai gelap. Aku tertidur cukup lama. Setidaknya aku tidak menghabiskan waktu dengan menyentuh benda-benda.

"Hei bodoh. Cepatlah bersiap. Tamuku sebentar lagi datang. Masa mereka harus liat saudaraku yang masih kucel dan bau ini." Nina tiba-tiba datang entah dari mana.

"Iya bawel." balasku menoyor kepala Nina dan berlari ke kamar mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status