Share

4. ANDRE

"Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas.

"Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre.

"Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya.

"Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengembalikannya. "Udah nih. Makasih ya." Ia hanya mengangguk tak peduli sambil mengambil buku tugasnya. Dengan kecepatan yang sama aku kembali menyalin jawaban perempuan itu.

"Cepet salin. Biar kita pulang." Aku menyerahkan bukuku ke Andre bergegas menyalin dan mengembalikan buku tugas padaku.

"Nggak sia-sia kemampulan lo Yo. Thanks." Andre mengambil bukuku untuk di kumpulkan bersamaan. Aku menenteng tasku dan mengikuti Andre keluar kelas. Saat berjalan menuju parkiran Andre tiba-tiba berhenti.

"Lo beneran mau bantu gua kan?" Andre kembali memastikan. Aku mendekatinya merangkul bahunya. "Udah lo tenang aja. Selama itu ngebuat lo susah bakal gua bantuin." Andrea menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Jijik woi. Nggak usah natap gua pakai muka terharu lo." langsung saja ku timpuk wajahnya dengan tas ransel. Ia hanya balas tertawa puas sambil berlarian ke arah parkiran. Aku hanya bisa menggeleng menyaksikan tingkah kekanakan sohib ku itu.

"Yo, lu jangan banyak nanya ya kenapa gua minta bantuan lu. Gua cuma butuh kejelasan doang." Ucapan Andre barusan menunjukkan betapa besar kekhawatirannya. Membuat motor yang kami naiki seperti berjalan lambat. Atmosfer yang tadinya biasa saja seketika keruh. Kami tenggelam dalam diam. Aku tahu bukan saat yang tepat aku memberikan penghiburan atau semacamnya.

Saat itu siang. Panasnya terik matahari menembus baju seragam putih kami. Andre mengendarai motornya perlahan. Tidak seperti biasanya. Hingga panas yang terasa di kulit menjadi dua kali lipat. Motor melaju ke arah rumah yang tidak pernah ku datangi. Bukan rumah Andre juga bukan rumahku. Aku setengah mati ingin bertanya tapi aku memilih diam. Ingat permintaan Andre sebelumnya.

"Disini akar masalahnya Yo. Tolong bantu gua ya. Kalau sekiranya prasangka gua bener tolong kasih tahu gua dengan cara paling nggak menyakitkan." Disitu aku makin penasaran. Ada hubungannya dengan keluarganya? Aku memutuskan untuk tetap diam.

"Gua tinggal ya Yo. Gua nggak mau lu liat reaksia gua. Gua.."

"Oke Ndre, lo pulang aja nanti gua kabarin. Hati-hati di jalan lo. Jangan banyak pikiran." Aku dengan segera menyuruh Andre pulang. Sejujurnya baru kali ini ia meminta bantuanku dengan ekspresi sekacau itu. Sejujurnya juga aku takut membiarkannya pulang sendiri dengan kondisi seperti itu. Tapi ya sudahlah.

Andre sempurna meninggalkanku sendiri. Rumah dengan pagar hitam tinggi menyambutku. Dari luar aku bisa melihat pohon kamboja yang mulai berbunga. Di sudut kanan rumah ada pohok mangga yang tak kalah tinggi. Daun-daun kering berguguran di tanah. Pintu putih itu terlihat menawan. Rumah ini terbilang sederhana.  Tetapi penampilan yang disuguhkan sungguh menenangkan. Khas rumah-rumah jaman dahulu.

Aku menyentuh pagar hitamnya yang tampak baru saja dipoles. Ingatan dan kenangan satu per satu muncul. Untung saja di sekitar sini tampak sepi. Jadi aku bisa lebih leluasa memilah kira-kira ingatan mana yang sebenarnya Andre cari. Hingga ada satu ingatan yang membuatku terkesiap. Darahku seketika naik ke kepala. Andre ada dalam ingatan ini. Ia menangis tersedu. Tampak hancur. Menyedihkan sekali. Aku masih belum bisa mengambil kesimpulan sebenarnya apa telah terjadi. Suara derit pagar. Pintu mobil yang terbuka. Aku terkejut bukan main. Aku marah. Ingatan inikah...

"Nak, kamu cari siapa ya?" Wanita paruh baya menyapaku. Ia menatap aku yang bingung di depan pagar rumahnya. Pintu putih menawan itu terbuka. Wanita paruh baya itu mengenakan daster merah motif bunga-bunga.

"Kamu tersesat?" tanyanya lagi. Aku tak menyangka akan ada orang didalam.

"Sebenernya iya bu." langsung saja ku ambil kesempatan. "Saya sedang mencari rumah teman tapi saya kehilangan kertas alamatnya." Wanita itu berjalan mendekati pagar dan membukakannya untukku.

"Ada yang bisa Ibu bantu mungkin?" Tatapannya teduh khas Ibu-ibu rumah tangga biasa. Aku tersenyum kaku. "Kamu ingat alamatnya? atau sudah coba hubungi?" Wanita itu bertanya lagi. "Sudah saya hubungi tetapi tidak aktif Bu. Saya juga tidak ingat alamatnya." Lagi-lagi aku mengarang cerita. Tiba-tiba perutku keroncongan. Baru kali ini aku bersyukur saat alarm alam itu berbunyi di depan orang tak di kenal.

Dengan wajah pura-pura tak enakan aku tersenyum malu. "Maaf Bu, kalo begitu saya pulang saja." Aku balik badan bersiap pergi hingga wanita itu memanggil ku kembali. "Mau masuk sebentar? Saya masak kebanyakan. Ayo, kebetulan saya hanya berdua saja dengan anak saya." Aku menggangguk dan mengikuti langkah wanita itu masuk rumah.

"Rumah Ibu bagus sekali." komentarku saat melewati ruang tamu. Dengan hati-hati aku secara alami menyentuh benda-benda yang ada dalam jangkauanku. Sofa di ruang tengah, guci di sudut pintu masuk dan meja pigura diruang tamu. Wanita dihadapanku tertawa. "Ahahaha mana mungkin. Rumah ini sama saja seperti kebanyakan rumah keluarga lainnya." Ia sedang sibuk dengan beberapa piring berisik lauk.

"Tapi beneran kok Bu. Tadinya saat saya di depan pagar rumah Ibu secara tak sadar saya malah berdiri lama. Penampilan luarnya saja sudah menarik." Bantahku sambil duduk di meja makan.

"Kamu bisa saja. Ah iya namamu siapa nak?"

"Rio Bu."

"Kelas 2 SMA?"

"Iya Bu."

"Ya sudah nak Rio silahkan makan. Ibu mau panggil anak Ibu sebentar." Aku mengangguk sebagai ganti berbicara. Saat wanita itu meninggalkanku sendiri, aku mencoba menyentuh kembali benda-benda yang berpotensi memberika informasi paling akurat. Meja makan ku usap dari ujung ke ujung. Piring, sendok dan alat dapur lainnya ku sentuh asal saja. Sekedar memastika informasi mana yang benar-benar ku cari.

"Nak Rio, maaf lama menunggu. Ini anak Ibu paling kecil. Namanya Freya masih duduk di bangku SD. Ayo Freya kenalan sama bang Rio." perempuan kecil itu mendekatiku dengan sikap paskribra.

"Lapor! Saya Freya kelas 5 SD Nusa ingin berkenalan dengan abang. Laporan selesai." Ia masih tegak berdiri di hadapan ku. Aku terkekeh menyaksikan tingkah konyolnya. Namun karena tak ingin kalah akupun bersiap siaga. Menyambut tingkahnya sama konyol.

"Baik! Saya Rio, kelas 2 SMA. Perkenalan diterima. Silahkan kembali ke barisan." Seketika tawa kami pecah.

"Nak Rio sebenarnya tidak perlu menanggapi tingkah aneh Freya." Wanita itu berkomentar dengan sisa-sisa tawa tadi. "Karena pasti ada saja  tingkahnya yang membuat Ibu geleng kepala sangking herannya dari mana ia tahu semua itu." katanya sambil menyendok nasi ke piring. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan wanita tersebut. "Freya sini duduk. Ini piring kamu. Rio kamu ambil aja apa yang kamu mau." Aku menggangguk dan menyendokkan nasi ke piringku.

Tidak ada yang bersuara saat semua mulai makan. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang bersahutan. Bocah perempuan itu juga terlihat makan dengan tenang. Keluarga yang luarbiasa. Pendidikan sejak dini yang sangat baik. Hingga rasanya tidak dapat dipercaya apabila mereka dapat menyakiti orang lain. Sejauh ini infomasi yang kudapatkan masih samar-samar. Setidaknya aku dapat kepastian dari salah satu mereka. Setelah itu aku akan langsung ke rumah Andre memberitahunya.

"Bagaimana masakan saya, Rio?" Wanita itu menatapku bertanya. "Enak Bu." jawabku tersenyum. Freya yang masih makan ikut bersuara. " Ayah nggak pulang lagi Bun?" Pertanyaan yang sangat tidak di sangka-sangka. "Abang tahu Ayah Freya sangatttt sibuk. Kalau bisa dihitung cuma pulang sebulan sekali." ceritanya sambil menghitung lewat jari-jarinya.

"Dan dari satu hari ayah hanya menghabiskan waktu sebentar dengan kami. Bentar Freya hitung." Aku memperhatikan gadis itu sambil memangku tangan.

"Satu.. dua.. tiga.. Ah dua deh dua" Bocah itu mengoceh sendiri masih dengan jari-jari mungilnya menghitung.

"Cuma  9000 detik, 150 menit jadi dua setengah jam." Jelasnya rinci. Wanita itu tersenyum-senyum mendengar cerita anaknya. Sedangkan aku tertegun. Benar-benar tertegun. Sebenarnya apa yang terjadi.

"Ayah pulang..." Kami bertiga serentak menoleh ke arah suara. Freya segera berlari duluan. "Kalau begitu saya pamit Bu. Barusan juga teman saya sudah mengabari akan menjemput saya." Dengan segera akupun pamit. Situasi ini sangat-sangat tidak kuperhitungkan. "Oh.. eh.. ohh iya iya Rio. Saya antar kedepan." Wanita itu terbata-bata seperti tak menyangka suaminya akan pulang. Aku tidak peduli. Kutenteran ranselku dan berjalan cepat ke pintu depan.

"Ayah, Bunda udah masak. Ayo temenin Freya makan." Bocah itu menarik-narik ayahnya ke meja makan. Sebisa mungkin aku menjauhi kontak dan pergi tanpa suara. Namun renacanaku ternyata tak semudah adegan di film-film.

"Lho? Rio kan. Temennya Andre." Sial. Dengan secepat mungkin aku berlari keluar meninggalkan mereka yang pasti menyisakan banyak pertanyaan. Andre. Aku harus menghubungi Andre.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status