"Tidak!" Nami berteriak keras hingga membangunkan James yang sedang tidur memeluknya."Nami, ada apa?" tanya James sambil mengerjapkan matanya."K-kak Oliv.""Tidurlah, di luar masih gelap." James merasa nyaman tidur memeluk Nami sehingga ia tidak sadar dengan perkataannya dan anehnya, Nami mengikuti kata-kata James untuk kembali tidur. Keduanya saling memeluk dengan nyaman hingga pagi menjelang.Pagi harinya James yang bangun terlebih dulu. Sedangkan Nami masih dengan nyaman tidur terlelap di pelukannya James. Bulu lentik mata Nami bergerak naik turun seiring dengan deru napasnya. James menatapnya dengan tatapan kagum. Entah sejak kapan, James merasa memiliki Nami. Ia menganggap gadis itu adalah miliknya dan Nami sudah menggenggam perasaannya.'Sial,' umpat James dalam hati karena sisi hati buruknya datang lagi mengingatkan ia untuk balas dendam.'Aku tidak mengingat apapun di masa laluku. Aku ingin mengingatnya, hidupku terasa hampa tanpa ingatan.' Kata-kata Nami teringang-ngiang d
James terdiam. Ia berkonsetrasi mendengarkan cerita Nathalie selanjutnya."Kakak bilang, kita bertunangan dan aku meninggalkan kakak di Altar pada detik-detik terakhir waktu kita akan menikah." Nami mengeratkan tangannya di cangkir yang berisikan kopi."Mimpi itu sangat nyata dan hatiku terasa sesak saat mengingatnya.""I merasa ….""Nami," James langsung menggenggam tangan Nami. Ia tidak suka melihat Nami bersedih. Untuk sementara ini, James juga tidak ingin secepat ini ingatan gadis itu kembali."Itu hanya mimpi, mimpi buruk yang bisa dialami oleh semua orang termasuk aku. Jadi jangan kamu pikirkan. Itu semua tidak nyata, kita terpisah oleh jarak dan tidak saling mengenal semuanya. Tidak mungkin kita saling mengenal, ok?"Nami menatap wajah James. Kedua mata Nami terlihat sendu seperti menginginkan perlindungan."Ingat, itu adalah mimpi." tegas James."Tambah lagi, makan yang banyak. Aku tidak suka memeluk gadis kurus." "Kak Oliv!" Teriak Nami lalu menarik tangannya dari genggaman
"Kak Oliver," gumam Nami setelah dirinya menyembulkan kepalanya ke permukaan laut."Ya Tuhan, selamatkan Kak Oliver." Nami Berdo'a sambil menangisi James yang hilang dibawa gulungan ombak."Kak Oliver," Mata Nami terbelalak saat melihat tubuh seseorang mengambang tidak jauh dari dirinya berada. Ia segera berenang mendekati tubuh tersebut."Terima kasih, Tuhan." Nami mengucap syukur saat membalik tubuh tersebut yang ternyata adalah James. Ia segera menarik tubuh James lalu membaringkannya di atas papan surfing. Karena tidak kuat, Nami hanya bisa meletakkan separuh tubuh James di atas papan surfing. Nami segera mendorong papan surfing mengikuti ombak yang membawa mereka ke tepi pantai.Dengan sekuat tenaga, Nami menarik kedua tangan James untuk mencapai pantai. Namun Nami yang bertubuh kecil tidak kuat menarik tubuh James yang tinggi hingga Nami jatuh terduduk."Kak Oliver," karena terlalu khawatir, Nami lupa untuk meminta bantuan dari penjaga pantai. Ia tetap berusaha menarik tubuh Jam
Doni mondar-mandir dari tadi setelah mendapat ancaman dari Amanda. Tampaknya Amanda tidak main-main karena dua hari setelah pengancaman. Amanda menarik dua puluh lima persen saham yang berada di Oliver Grup, perusahaan milik James. Sedangkan nomor ponsel James tidak dapat dihubungi. Doni sudah mengirimkan berita tersebut lewat email, tapi sepertinya James belum membukanya karena hingga detik ini tidak ada telepon dari James.Doni makin khawatir karena Amanda kembali mengancam. Baru saja Amanda menelepon Doni akan menarik dua puluh lima persen sahamnya lagi jika dua hari mendatang James belum juga menghubunginya."Sial," gumam Doni yang tidak bisa konsentrasi bekerja karena masalah ini."Pak Doni," panggil Dela yang sedari tadi memperhatikan Doni yang sedang gelisah."Ada apa, Del?""Pak James ….""Nomor teleponnya tidak dapat dihubungi.""Benar, ya, dia sedang jatuh cinta?" tanya Dela yang mencoba mengorek keterangan dari Doni."Entahlah," Doni menjambak rambutnya."Bagaimana jika and
Nami sebenarnya juga tidak bisa tidur, ia berkali-kali melihat ponselnya. Pesan-pesan dari James ditatapnya tanpa berkedip. Ia bisa membaca sekilas isi pop up pesan yang muncul di layar ponselnya. Nami juga bingung dengan keinginannya. Ia merasa nyaman di sisi James. Kekesalannya karena permintaan James hanya salah satu bentuk protes dari lubuk hatinya jika ia menyukai James. Awalnya dia tertarik dengan ketampanan James. Kenyataan bahwa James baru putus cinta membuat Nami semakin bersimpati padanya. Namun Nami tidak mau jika harus berpura-pura menjadi mantan pacar James. Nami kesal, ia tidak suka dan mungkin juga karena rasa cemburu."Astaga …." Nami memukul kepalanya yang dirasa tidak waras. Hanya beberapa minggu kenal dengan James sudah merasa cemburu. Padahal James hanya menjadikannya seorang teman karena kesepian."Sadar diri, Nami. Seorang gadis dari pulau kecil tanpa ingatan bermimpi bersanding dengan seorang pengusaha muda yang charming dan tampan seperti James? Mimpi," keluh
Nami heran kenapa Takeshi bisa berada di pantai ini sekarang. Padahal tugasnya masih mengharuskan ia untuk berada di Eropa selama enam bulan mendatang. Nami segera berdiri. "Nathan.""Aku ingin memelukmu." Nathan membentangkan kedua tangannya.Nami tidak bergerak dan masih berdiri kaku di tempat semula."Ck, aku merindukanmu." Takeshi akhirnya mengalah. Ia maju mendekati Nami lalu memeluknya erat.James yang menyaksikan kejadian tersebut mengetatkan rahangnya. Ia yang masih duduk di atas pasir, mencengkram pasir itu dengan kuat. Rencananya belum berhasil tapi orang yang berpotensi untuk mengganggunya telah datang. 'Sial,' umpat James dalam hati.Takeshi tahu jika laki-laki yang sedang duduk di atas pasir itu adalah James. Laki-laki yang akan jadi rivalnya. Laki-laki yang hampir menikah dengan Nami. Dan mungkin saja laki-laki inilah yang menyebabkan Nami berlari di hari pernikahannya.Takeshi berpura-pura tidak melihat kehadiran James di antara mereka. Ia juga tidak bertanya kepada Na
"Kamu mau ke mana?" tanya Takeshi yang melihat Nami akan ke luar rumah."Seperti biasa, mengajar anak-anak belajar surfing.""Oh ya, aku lupa." Takeshi mengikuti Nami."Kakak mau ikut?" Nami hanya menebak asal. Hatinya tidak ingin jika Takeshi mengikutinya. Karena Nami ingin bertemu James yang ditinggalkan begitu saja di pantai."Tentu, aku cuti selama satu bulan dan akan menemanimu ke manapun kamu pergi." Takeshi sudah mengambil papan surfing yang dipegang oleh Nami."Oh, oke," Nami tidak mungkin menolak. Mereka berjalan beriringan menuju pantai. Sedangkan dari kejauhan James berdecak kesal melihat Takeshi membuntuti Nami seperti seorang bodyguards yang mengawasi tawanannya."Halo," bentak James ketika Doni yang menjawab panggilan teleponnya. Rasa kesalnya ia tumpahlan kepada sang asisten."Sudah diselidiki identitas Takeshi Hirada yang sesungguhnya?" berondong James yang sudah tidak sabar untuk mengetahui informasi tentang rivalnya."Gue tidak butuh informasi yang setengah-setengah!"
Nami hanya mengaduk-aduk makanan yang berada di piringnya. Sikap Takeshi yang super protektif membuatnya sangat kesal, bagaimana tidak? Takeshi langsung menarik tangannya setelah James mengacak rambutnya sebagai salah satu salam perpisahan. Ia melihat James sangat terkejut dan itu membuat Nami tidak nyaman."Nami, ada apa, Sayang?" Nenek palsunya Nami bertanya setelah Takeshi memberinya kode."Tidak ada, Nek." "Apakah masakan Nenek hari ini tidak enak?"Nami menggeleng lalu berusaha menelan makanan yang sudah masuk di mulutnya."Oh ya, kamu bilang ingin ke kota New York waktu itu. Bagaimana kalau minggu besok aku membawamu liburan ke sana?" Mungkin dengan cara ini Takeshi bisa menjauhkan Nami dari James."Lupakan saja, Kak. Aku tidak bisa meninggalkan anak-anak yang sedang belajar surfing." dusta Nami. Padahal ia tidak bisa mrninggalkan Kames sendirian. "Hanya untuk satu minggu, itu tidak akan membuat mereka lupa akan caranya bersurfing." ucap Takeshi."Tidak, untuk saat ini aku tida