Share

04—Gagal

Ardhito Pramono - First Love (Cover) playing~

Malam ini Clara ditemani oleh Ardhito Pramono yang meng-cover lagunya Nikka Costa dengan judul First Love yang sengaja ia putar non-stop. Kalau kata Ica—sahabatnya, lagu ini adalah lagu kebangsaannya Clara karena sangat dia banget deh.

Dengan tatapan lurus ke langit-langit kamarnya yang dipenuhi bintang, tangan kanan berada di atas dadanya—tepat diatas jantungnya yang berdetak tak karuan, dan tangan kiri yang sedari tadi sibuk menghapus airmata yang tidak deras, namun tak berhenti-henti juga turun dari sudut matanya. 

Hanya ada satu akar kata dari banyak kata yang ingin ia ungkapan namun terlalu kelu untuk disuarakan. 

Kenapa. 

Kenapa baru sekarang? 

Kenapa ia belum bisa move on? 

Kenapa ia masih terjebak di masa lalu yang kelabu? 

Kenapa lelaki yang namanya terlarang ia sebutkan itu. . . datang semena-menanya disaat semuanya sudah mulai terhapus oleh waktu? 

Kenapa sepertinya tidak adil? Disaat ia berusaha mati-matian melupakan cinta monyetnya dulu berbelas-belas tahun lamanya lalu dengan mudahnya pula dengan satu kali pertemuan, semuanya menjadi kabur. Abu-abu. Buram. 

Tell me, teddy bear

Why love is so unfair

Will he ever find a way

And answer to my prayers?

It's my first love

What I dreaming of

When I go to bed

When I lay my head upon my pillow

Don't know what to do

Dan pada akhirnya malam itu, Clara tertidur dengan ribuan pertanyaan lainnya. Benar kata, Nikka Costa. Why love is so unfair. 

***

Fix. Clara harus memakai kacamata hitam untuk ke kantor jika setiap hari waktu tidurnya berantakan seperti ini. Berkat kegalauannya semalaman suntuk yang ternyata ia tertidur ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi dan terbangun saat adzah subuh. Sudah lupa untuk sahur, ia hampir telat pula karena ada kendala saat di stasiun—segala ada perbaikan jalan. Ugh. 

Walau sampai kantor dengan waktu yang sangaaat pas sekali, 08.57. Jeda 3 menit tidak membuat ia terlihat 'tidak terlambat', untungnya atasannya tidak terlihat sama sekali. Jika bertemu, matilah dia harus merangkai kebohongan lainnya yang ia yakini, tidak akan bisa mengecoh atasannya—tidak akan semudah yang pertama kali. 

"Clara." Panggil kak Rio, Senior Editor di kantornya yang terbilang cukup dekat dengannya. Satu frekuensi keanehan dan kegilaan kalau kata Yudith. 

"Hadir."

Kak Rio tertawa. Seniornya tersebut bersender disebelah kubikelnya bersedekap dengan kedua tangan di depan dada. "Gue sama anak-anak ada rencana mau liburan ke Bandung pas weekend. Lo mau ikut?"

"Tim elo?" Bukannya Clara tidak mau, hanya saja tidak semua anggota Tim dari seniornya tersebut dekat dengannya. Clara takut akan canggung. 

Kak Rio mengangguk. "Iya. Yang ikut itu gue, Friska, Rendy, Prili, Caca sama Ido. Oh ya Yudith juga."

Clara termenung sejenak. Ada Rendy. Ia meringis. 

"Udah gausah sok mikir gitu deh. Udah mantan juga."

"Ya mantan-mantan, pacarnya dia juga ada di tim elo, Kak." Omelnya. Hih, memikirkannya saja sudah membuatnya kesal dan malas. 

"Yaudah, apa gue cancel mereka aja?"

Solusi yang baik tapi ia malas juga jika akan menjadi bahan omongan teman sekantornya. Pada akhirnya ia setuju untuk ikut. 

"Rencananya berangkat kapan?"

"Kalau puasa ini lagi nggak banyak kerjaan atau hectic banget, minggu depan kita langsung berangkat dari kantor," Kak Rio mengambil ponsel dari saku lalu melanjutkan. "Kalau nggak bisa ya, sehabis lebaran."

Clara manggut-manggut. 

"Tuh udah gue kirimin itinerary-nya. Kalau jumat berangkatnya, jangan lupa bawa langsung bawaan lo ya."

Walau masalah yang menimpanya saat ini bukan terbilang berat dan sulit tapi pada kenyataannya, bagi Clara memang seberat dan sesulit itu. Perlu waktu untuk melarikan diri sejenak dari mimpi indah sekaligus buruk ini, pikirnya. Makanya ia setuju walau sempat ragu. Rendy, mantan pacar yang memutuskannya hanya karena bosan lalu beberapa minggu kemudian lelaki hidung belang itu berpacaran dengan Friska, Editor baru. 

Sejak saat itu, ia malas berurusan dengan Rendy maupun Friska—ya, walaupun ia tahu bahwa Friska tidak tahu menahu tentang hubungan mereka sebelumnya tapi tetap saja. Sakitnya bos!

***

Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore tapi langit yang sudah berubah menjadi warna jingga. Pada dering kelima, lelaki itu akhirnya mengangkat sambungan telponnya. 

"Halo."

Clara berdeham. "Hm... Joy, sorry ya gue nggak bisa ketemu hari ini."

"Loh? Kenapa, Ra?"

Sebelum sempat Clara menjawab, Joy kembali bersuara. "Sebentar." 

Dari tempatnya, Clara bisa mendengar suara pintu yang terbuka lalu tertutup kembali. "Oh, udah nih, Ra. Kenapa kamu nggak bisa? Lembur?"

"Ya nggak sih."

"Terus?"

"Ya pokoknya aku nggak bisa aja."

"Ya nggak bisanya kenapa, Clara?"

Clara mendengus. "Memangnya harus ada alasan? Pokoknya aku nggak bisa, Joy. Sorry."

Joy terdiam sesaat. "Yaudah nggak apa-apa. Kalau besok bisa?"

"Ra?" Panggil lelaki itu.

"Akan aku kabari lagi. Again, sorry."

Click.

Yap, begini lebih baik. Clara tahu, ini hidup yang nyata bukan berdasarkan dongeng atau cerita fiksi yang ia baca. Tidak ingin memupuk harapannya melambung tinggi hanya karena baru satu kali bertemu, beberapa kali dihubungi dan diajak pergi bersama ke acara reuni itu.

Cukup kemarin dan nanti, ketika mereka pergi bersama untuk ke acara tersebut. Ya, hatinya sudah bulat. Sayang, belum bulat sempurna tekadnya, sialnya, Joy kembali menghubunginya yang terpaksa ia abaikan. 

Sampai lima kali ia abaikan, baru ada notifikasi chat dari lelaki itu.

Voldermort: Is there something wrong?

Voldermort: Ra?

Voldermort: Ra?

Voldermort: Well, nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa temenin aku hari ini. Tapi aku tetap jemput kamu ya. I'll be there at 6 sharp!

Dengan itu, Clara menghantamkan pelan keningnya ke meja kerja. Sh*t!

***

Mobil mewah itu terparkir di depan gedungnya. Tadinya Clara berniat untuk izin pulang lebih awal, namun apa daya ketika atasannya yang dari Negeri Jiran itu ingin mengadakan meeting dadakan. Sebentar katanya tapi malah berakhir sampai jam tujuh kurang. Dengan setelat itu, ia berharap Joy sudah pergi dari kantornya atau bahkan lupa tapi semesta tidak berada dipihaknya. 

"Hei."

Clara mengangguk kaku. "Kok jadi kesini?"

"Jadi dong. Kan udah janji."

"Aku telat tapi kok masih disini?" Clara sengaja memberi jarak walau kenyataannya Joy mengikis jarak itu.

"Ya takutnya kamu belum pulang, nanti sulit cari kendaraan untuk pulang."

Am I dreaming or what?

Rasanya ia ingin melempar tas Gucci-nya ke kepala Joy. Lelaki itu amnesia apa bagaimana? Selama ini Clara selalu bisa sampai rumah dengan selamat sebelum bertemu lagi dengan Joy. Lantas, hanya karena baru satu kali bertemu, apa tiba-tiba Clara akan kesulitan untuk mencari jalan pulang?

Ketika hampir sampai daerah rumahnya, seperti dugaan sebelumnya, Joy berhenti disebuah tenda pecel lele yang tak jauh dari rumahnya.

"Kok berhenti?"

Joy nyengir sambil memegang perutnya. "Tadi sambil nungguin kamu, aku belum makan. Jadi laper. Temenin sebentar ya."

Clara melirik sekilas wajah lelaki itu. Tatapannya jatuh pada bibir Joy yang sedikit kering, mungkin akibat kurang minum. Perempuan itu jadi tak tega, akhirnya ia hanya bisa menghela napas. "Yaudah."

Sial. Gagal sudah rencananya untuk menghindari Joy hari ini.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mayang Purnama
Damn! I love this song *brb search on YT and play Ardhito Pramono - First Love cover while reading this
goodnovel comment avatar
Vita Destia
Halah Jd cewek kok galauan sih ckckck
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status