Share

Bab 3

"Mbak, bangun Mbak," ucap Pak Abdullah mencoba membangunkan perempuan itu. Namun, Amira tak kunjung bangun. Badannya sedingin es dengan wajah yang memucat. Sementara tangisan Gemilang tak kunjung berhenti membuat Pak Abdullah sedikit panik.

"Mbak, bangun Mbak." Pak Abdullah terus mencoba membangunkan Amira.

Yudha, yang merupakan anak sulung Pak Abdullah gegas menghampiri suara tangisan bayi saat ia baru saja sampai di pelataran masjid.

Dilihatnya sang Ayah sedang berusaha membangunkan seorang wanita yang di sampingnya ada bayi yang tengah menangis, gegas Yudha menggendong bayi tersebut.

Amira mengerjapkan kedua matanya. Bibirnya menggigil kedinginan, ia ingin bangun tapi seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Hujan deras yang kembali turun semalam membuat tubuhnya kedinginan. Amira, yang memang punya riwayat tak kuat dingin pun, mengalami hipotermia ringan karena ia tak memakai jaket atau sesuatu yang tebal untuk melindungi tubuhnya.

Wajah Amira tersorot lampu teras, Yudha pun dengan segera mengenali Wajah cantik  yang pucat itu.

"Amira?" Yudha bergumam, hal itu membuat Pak Abdullah menoleh padanya.

"Kamu kenal, Yud?" tanya Pak Abdullah.

"Dia Amira, Pak. Istri temanku," jawab Yudha setelah memastikan wanita yang dilihatnya adalah Amira. 'Ya Allah apa yang terjadi padamu, Mir,' bathin Yudha.

"Ya sudah, kamu panggil Ibumu Yud, bawa dia ke rumah, kasihan itu bayinya juga kedinginan," perintah Pak Abdullah pada Yudha.

Yudha pun gegas bertolak ke rumahnya sembari menggendong Gemilang yang sudah mulai tenang dalam gendongan Yudha.

Sesampainya di rumah, Bu Zaenab--Ibu Yudha, sedikit kaget dengan kehadiran Yudha yang membawa seorang bayi. Yudha belum sempat menjelaskan, ia segera memberikan Gemilang pada Ibunya. Kemudian diambilnya selimut tebal miliknya dan gegas ia kembali ke masjid dengan tatapan bingung Bu Zaenab.

Amira sudah bangun, bibirnya menggigil, ia mencari-cari di mana Gemilang.

"Gemilang," lirihnya.

Yudha datang langsung menyelimuti tubuh kecil milik Amira. Bersama dengan Pak Abdullah, Yudha menggotong tubuh Amira sampai di rumahnya. Subuh masih terasa sepi, belum sepenuhnya orang-orang sekitar bangun, apalagi cuaca yang basah akibat hujan deras semalam.

Yudha dan Pak Abdullah meletakkan tubuh Amira di atas karpet tebal yang terbentang di ruang keluarga yang sebelumnya sudah diberi bantal.

Pak Abdullah meminta Bu Zaenab--istrinya untuk menolong Amira. Sementara Gemilang, diberikan pada Yuni--anak keduanya.

"Buk, tolong perempuan ini ya. Sepertinya ia sedang butuh pertolongan. Badannya dingin sekali," perintah Pak Abdullah.

"Tapi, Pak. Kita gak kenal dia, kalau terjadi apa-apa gimana, Pak?" Bu Zaenab merasa cemas.

"Ibu tenang saja, saya kenal dia Bu. Dia Amira, istri temanku waktu kuliah," jawab Yudha menenangkan Ibunya. "Nanti aku coba hubungi suaminya, Bu. Lebih baik kita tolong Amira sekarang."

Bu Zaenab merasa iba dengan kondisi Amira, apalagi setelah melihat Gemilang yang sepertinya sangat haus meminta Asi pada Ibunya.

"Bapak ke masjid dulu, biar Yudha di sini temenin Ibu dan Yuni. Takut terjadi apa-apa dengan perempuan ini." Pak Abdullah pamit, ia akan melanjutkan tugasnya untuk azan di masjid.

Sementara itu, tubuh Amira dibalur dengan minyak kayu putih oleh Bu Zaenab. Gemilang, sudah sedikit tenang dalam gendongan Yuni. Yudha memutuskan untuk Salat subuh di kamarnya.

Setelah beberapa kali tubuh Amira dibalur minyak kayu putih dan dikompres dengan air hangat, badan Amira tak sedingin seperti tadi.

"Alhamdulillah, kamu sudah baikan Nak, ayo ini diminum teh manis hangatnya dulu." Bu Zaenab membantu mendudukkan Amira, kemudian membantunya meminum teh manis hangat.

Amira mengalami hipotermia ringan pada tubuhnya. Dinginnya angin malam karena hujan yang kembali datang, membuat Amira tak kuasa menahan dingin yang menusuk tulang. Untunglah, Gemilang tidak mengalami hal yang sama dengan Ibunya,karena dipakaikan jaket yang tebal pada tubuh Gemilang.

"Anak saya mana, Bu?" tanya Amira setelah menyesap hangatnya teh dari Bu Zaenab.

"Kamu tenang saja, ya. Anakmu ada di kamar," jawab Bu Zaenab.

"Aku ingin memberikan anakku, Asi, Bu. Dia pasti kelaparan," pinta Amira.

Yuni keluar dari kamarnya sembari menggendong Gemilang setelah dipanggil oleh Ibunya. Diberikannya Gemilang pada Amira untuk di-asihi.

"Terima kasih, Bu, sudah menolong saya," ucap Amira tulus, tangannya mengelus pipi lembut Gemilang yang sedang menyusu.

"Sama-sama, Nak. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi?" tanya Bu Zaenab lembut.

Amira tak menjawab pertanyaan Bu Zaenab, air matanya berdesak-desakan ingin keluar dari kedua netra indahnya. Amira hanya menangis, merasa tak sanggup menceritakan apa yang dialaminya. Ia merasa malu, tak ingin kisah rumah tangganya diketahui oleh orang lain.

"Baiklah, kalau kamu tak bisa bercerita, tak apa-apa. Mungkin kamu belum siap." Bu Zaenab seakan mengerti, ia tak memaksa Amira untuk bercerita. "Nanti biar anakku yang menghubungi suamimu, kata Yudha dia kenal dengan suamimu," lanjut Bu Zaenab.

"Yudha?" Amira kaget, ia berpikir sejenak mengingat Yudha. Amira pun ingat, Yudha adalah sahabat Radit dahulu. Mereka berdua sering nongkrong di kafe tempat Amira bekerja. Namun, hubungan Yudha dan Radit menjadi renggang karena dirinya. Ya, dulu Yudha pun mengejar Amira, tetapi Amira lebih memilih Radit.

"Yun, kamu panggil Mas-mu, sana," perintah Bu Zaenab pada Yuni yang dari tadi menyimak percakapan Ibunya dan Amira. Gadis tujuh belas tahun itu, gegas beranjak dari duduknya dan memanggil Yudha yang berada di kamar.

Sementara itu, di kamar, Yudha tengah menghubungi Radit. Sebenarnya sudah lama ia tak pernah berkomunikasi dengan Radit. Persaingan dirinya dengan Radit untuk mendapatkan Amira, membuat hubungan keduanya renggang. Yudha meminta nomor Radit dari Edo, sahabat mereka juga. Edo pun dulu sama, menginginkan Amira. Namun sekarang, Edo telah menikah dan memiliki keluarga kecil yang bahagia.

Berbeda dengan Yudha, bayangan Amira tak pernah hilang dari hati dan ingatannya. Lelaki berusia hampir tiga puluh tahun itu, masih melajang sampai sekarang. Belum ada wanita lain yang bisa menggantikan Amira dari hatinya. Tak pernah ia bayangkan akan bertemu Amira dalam kondisi seperti ini.

**

Radit merasa terganggu dengan suara ponsel yang terus menjerit-jerit di atas meja di sisi ranjangnya. Diraihnya ponsel itu, lalu ia membuka matanya dengan paksa, dilihatnya nomor tak dikenal terus menghubunginya.

Radit mengangkat teleponnya dengan malas, ia mengira mungkin klien atau atasannya yang meneleponnya.

"Halo."

"Radit, ini gue, Yudha." Suara di seberang telepon membuat Radit membelalakkan kedua matanya.

"Oh, apa kabar lo? tumben, telepon gue," tanya Radit basa-basi.

"Gue cuma mau bilang, Amira ada di rumah gue. Gue gak tahu ada masalah apa lo sama Amira, yang jelas gue gak tega liat keadaan istri lo," jelas Yudha.

Radit tersenyum kecut, tak menyangka ternyata istrinya juga berhubungan dengan Yudha. Radit berpikir, mungkin selama ini Amira dan Yudha masih berhubungan di belakangnya.

"Gak sangka gue, ternyata perempuan itu pergi ke rumah lo Yud." Radit terlihat kecewa, ia membayangkan Amira sekarang tengah berada di pelukan Yudha dan menertawakan kebodohannya.

"Ini gak seperti yang elo kira, Dit. Gue gak sengaja ketemu Amira." Yudha berusaha menjelaskan.

"Gue udah talak dia, secepatnya gue akan urus perceraian kami. Gue udah gak ada hubungan apa-apa lagi dengan Amira." Radit menutup teleponnya sepihak lalu memblokir nomor Yudha.

Radit mengacak rambutnya kasar, ia meraih foto pernikahannya dengan Amira lalu membanting foto itu hingga hancur berkeping-keping. Radit sangat kecewa dengan Amira, ia merasa sangat bodoh karena tak tahu hubungan Amira dan Yudha di belakangnya.

Yudha tertegun sejenak setelah telepon dimatikan sepihak oleh Radit, padahal ia belum menjelaskan apa pun. Yudha kembali menghubungi Radit, tetapi nomornya sudah di blokir. Hal itu membuat Yudha bertanya-tanya tentang masalah yang terjadi antara Radit dan Amira.

"Mas, dipanggil Ibu," suara Yuni, membuat Yudha mengehentikan aktivitasnya menghubungi Radit kembali. Gegas ia keluar kamar untuk menemui Amira yang masih berada di ruang keluarga.

Ada rasa canggung menelusup hati Yudha saat sudah duduk berhadapan dengan Amira. Rasa yang ia coba kubur dalam-dalam, kini muncul membuat debaran-debaran aneh di hatinya.

Sementara Amira, ia merasa tak enak dengan Yudha dan keluarganya. Amira tak menyangka akan bertemu Yudha dalam kondisi seperti ini.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status