Radit menatap nanar keluar jendela, aroma basah menguar menyisakan sisa-sisa hujan yang baru saja berhenti. Radit sangat menyayangkan sikap istrinya yang tega mengkhianati cinta dan kepercayaannya. Radit sangat mencintai Amira, tak peduli latar belakang Amira yang yatim piatu.
Pandangan Radit menerawang jauh, mengingat semua kenangan bersama Amira. Tak mudah bagi Radit mendapatkan cinta Amira dahulu. Ada tiga lelaki termasuk dirinya yang bersaing mendapatkan cinta Amira. Sebuah keberuntungan bagi Radit, Amira memilih dirinya dibanding dengan Edo dan Yudha, sahabat Radit yang sama-sama menginginkan Amira.
Amira gadis yang sangat cantik pada waktu itu. Tak hanya cantik wajahnya, gadis berhidung bangir dan berlesung Pipit tersebut, juga memiliki akhlak yang baik dan membuat siapapun jatuh cinta padanya. Termasuk Radit, lelaki bermata teduh itu begitu mengagumi Amira dari jauh. Radit saat itu masih memiliki kekasih bernama Selly, teman satu kampusnya.
Amira saat itu, bekerja sebagai pramusaji di sebuah kafe yang tak jauh dari universitas tempat Radit menimba ilmu. Radit dan teman-temannya sering nongkrong di tempat itu, membuat mereka jadi mengenal Amira.
Pengkhianatan yang dilakukan Selly pada Radit, membuat hubungan mereka kandas. Selly telah berselingkuh dengan lelaki lain, yang lebih daripada Radit. Hal itu membuat Radit sangat kecewa, waktunya sering dihabiskan berada di kafe tempat Amira bekerja hanya untuk meminum secangkir kopi untuk menenangkan diri.
Pertemuan yang sering terjadi antara Radit dan Amira, membuat benih-benih yang tertahan di hati Radit, mulai tumbuh dan bersemi. Apalagi sepertinya Amira membalas perasaannya. Radit pun mulai mendekati Amira, melupakan semua rasa sakit akibat dikhianati oleh Selly.
Radit mencintai Amira, melebihi cintanya pada Selly dahulu. Amira gadis sederhana yang mampu mengubah dunianya menjadi lebih baik. Amira laksana penyejuk di hatinya setelah Radit merasakan panasnya api pengkhianatan yang dilakukan oleh Selly.
Setelah lulus kuliah dan bekerja, Radit akhirnya menikahi Amira. Pernikahan mereka awalnya ditentang oleh Retno--Ibu Radit karena tak suka dengan latar belakang Amira yang hanya anak panti asuhan. Asal usul Amira yang tak jelas dan pendidikan Amira pun hanya lulusan SMA, membuat Retno merasa, Amira tak pantas bersanding dengan Radit yang tampan, dan berpendidikan tinggi. Retno lebih menyukai Selly, mantan pacar Radit yang kaya raya dan memiliki pendidikan yang sepadan dengan Radit.
Namun, Radit bersikukuh ingin menikahi Amira. Tak peduli apa pun yang menghalanginya, Radit tetap menikahi Amira dan menentang Ibunya.
Akhirnya, Retno pun mulai mencoba merestui mereka dengan syarat, Amira dan Radit tinggal di rumahnya setelah menikah. Syarat itu disetujui oleh kedua sejoli yang sedang dimabuk cinta tersebut. Setelah menikah, Amira pun tinggal di rumah Radit bersama dengan Ibu dan adik iparnya. Hal ini merupakan kesempatan bagi Amira untuk mengambil hati Retno agar menerima dirinya dengan sepenuh hati.
Sebulan menikah semuanya masih seperti biasa. Retno dan Rania mencoba bersikap baik pada Amira di depan Radit. Hal itu membuat Radit lega, ia mulai berpikir jika Retno dan Rania sudah menerima Amira.
Hingga setelah beberapa bulan Amira tinggal di situ, Retno dan Rania menunjukkan sifat aslinya. Amira dijadikan babu gratis di rumah mertuanya. Segala hinaan dan cacian selalu dilontarkan oleh Retno pada Amira, begitupun Rania, tak ada sedikitpun sopan santun padanya. Rania bahkan tak menghargainya sebagai kakak ipar, ia selalu memanggil nama Amira tanpa embel-embel kakak. Padahal usia Rania terpaut lima tahun di bawah usia Amira.
Setiap Amira mengadu pada Radit, suaminya itu selalu menyuruhnya bersabar. Meskipun tak segan-segan Radit menegur Ibu dan adiknya tersebut. Radit selalu percaya dengan Amira, hal itu membuat Retno dan Rania semakin membenci Amira.
Berbagai cara Retno dan Rania lakukan untuk membuat Amira tak betah tinggal di situ dan bercerai dengan Radit. Namun, setelah kehamilan Amira, Radit malah semakin menyayangi dan memanjakan Amira.
Radit pun sempat pindah rumah selama dua bulan saat Amira hamil, karena sikap Retno dan Rania yang sudah keterlaluan pada Amira. Namun, Retno dan Rania datang meminta maaf pada Amira dan menyuruhnya kembali tinggal bersamanya. Amira, yang pada dasarnya memiliki hati seluas samudera pun memaafkan Ibu mertua dan adik iparnya tersebut dan kembali tinggal di rumah Retno.
Hingga sampai peristiwa malam ini terjadi, hal yang sama sekali tak diduga oleh Radit jika istri yang begitu dicintai dan selalu dibelanya tega bermain api di belakangnya. Radit begitu cemburu ketika melihat foto mesra Amira dan lelaki lain yang tidak dikenalinya. Foto yang paling membuat hatinya tak terima adalah, foto Amira setengah tel*njang yang tengah dipeluk dan berciu*am mesra dengan pria lain.
Radit meremas foto itu, rasa cemburu di hatinya begitu mengusik jiwanya. Bayangan-bayangan Amira tengah berpeluh dan pria itu meleguh madu manis milik Amira membuat hatinya dirundung rasa sakit dan kecewa yang teramat dalam pada Amira.
Radit pun meragukan Gemilang, bayi laki-laki yang baru lahir tujuh bulan lalu dari rahim Amira. Retno dan Rania selalu meyakinkan Radit, jika Amira telah berselingkuh dan Gemilang bukan anak kandungnya. Padahal dalam hati kecil yang terdalam, Radit sudah menyayangi Gemilang dengan sepenuh hati.
"Sudahlah, tak usah kau pikirkan istri pezin*mu itu, ia tak lebih dari seorang pelacur," ujar Retno, saat dilihatnya Radit berdiri termenung menatap keluar jendela kamarnya.
"Benar, Bang. Amira tak lebih dari seorang pelac*r yang berganti banyak laki-laki. Aku sudah beberapa kali melihatnya. Ia bahkan tega meninggalkan Gemilang demi bertemu lelaki itu, saat kau pergi tugas keluar kota," timpal Rania memprovokasi.
"Lebih baik kau tidur saja, istirahatlah. Kau baru saja sampai dari luar kota. Pasti kamu sangat capek sekarang," ujar Retno dengan lembut sembari mengelus punggung anaknya.
Ya, peristiwa malam ini terjadi disaat Radit baru saja sampai dari pekerjaannya di luar kota. Radit telah meninggalkan Amira selama dua Minggu untuk urusan pekerjaan. Malam ini, Radit merasa begitu rindu pada istrinya, tetapi ia dibuat kecewa dengan adanya foto-foto perselingkuhan istrinya yang diberikan oleh Rania.
Radit mengangguk, tetapi ia hanya terdiam. Ditutupnya jendela kamar, ia lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Retno dan Rania segera keluar dari kamar Radit. Seulas senyum terukir dari bibir kedua Ibu dan anak itu. Retno segera menyiapkan makan malam untuk Radit.
Sementara itu, Amira masih menyusuri jalan ditengah dinginnya malam. Ia sudah merasa letih karena sudah berjalan lumayan jauh dari rumah Radit. Gemilang masih terlelap dalam gendongan Amira, syukurlah ia tak rewel.
Amira melihat sebuah masjid yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia harus mencari tempat berteduh untuknya dan Gemilang. Tak mungkin ia membiarkan Gemilang tidur di jalanan.
Amira menuju masjid tersebut, meskipun tidak terlalu besar, tetapi di masjid tersebut sepertinya bisa untuk Amira bermalam, untuk malam ini.
Malam semakin larut, suasana sekitar kian sepi. Sudah tak ada lagi orang beraktivitas di luar rumah di sekitar masjid ini. Amira masuk dan mencoba membuka pintu, tetapi ia tak bisa masuk karena pintu utama masjid dikunci. Hal itu membuat Amira kecewa.
Amira memutuskan untuk beristirahat di teras sebelah kanan masjid. Ia duduk dan menyelonjorkan kakinya yang kesemutan setelah berjalan jauh. Ditatapnya bayi mungil dalam gendongannya, kristal bening dari kedua netra Amira luruh seketika.
"Maafkan Mama, Nak. Kamu harus mengalami nasib seperti ini," ucap Amira sambil membelai pipi mungil Gemilang.
Amira mengambil baju dari dalam tasnya, di gelarnya baju itu untuk alas tidur Gemilang berbantal baju Amira yang lain yang digulung-gulung. Amira merebahkan diri di samping Gemilang yang tertidur lelap, hingga akhirnya ia pun ikut memejamkan mata dengan memeluk tubuh mungil Gemilang.
**
Seorang lelaki paruh baya tengah berjalan menuju masjid yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Waktu subuh telah tiba, ia akan melakukan tugasnya setiap hari sebagai orang yang dipercaya untuk mengumandangkan azan.
Lelaki berbaju batik dan berpeci tersebut lantas memasuki pelataran masjid. Beliau lalu mengambil anak kunci dari saku kemeja batiknya dan hendak membuka pintu utama masjid tersebut.
"Oaa... Oaa... Oaa...."
Suara tangisan bayi menghentikan tangan Pak Abdullah membuka pintu masjid. Ia menajamkan rungunya demi mendengar jelas suara bayi yang barusan ia dengar.
Pak Abdullah lantas mencari sumber suara tangisan bayi tersebut. Ia berjalan menyusuri teras masjid sebelah kanan, di mana di situ biasa menjadi tempat anak-anak setempat mengaji di sore hari. Sedangkan teras di sisi kiri, lebih dekat ke kamar mandi dan tempat wudhu masjid tersebut.
Betapa terkejutnya Pak Abdullah, saat dilihatnya ada bayi yang sedang menangis dengan di sisinya seorang perempuan yang tengah berbaring dengan mata terpejam. Tangisan bayi mungil tersebut tak membuatnya bangun dari tidurnya.
"Mbak, bangun Mbak," ucap Pak Abdullah mencoba membangunkan perempuan itu. Namun, Amira tak kunjung bangun. Badannya sedingin es dengan wajah yang memucat. Sementara tangisan Gemilang tak kunjung berhenti membuat Pak Abdullah sedikit panik.
Bersambung ....
"Ayo, cerita, ada apa?" tanya Nisa kemudian setelah mereka duduk."Nis, apa keputusanku ini salah ya? Apa aku telah egois?" Syahla mulai bercerita."Keputusan buat nikah dengan Pak Yudha? Bukankah itu mimpi kamu?" Nisa merasa tak mengerti dengan ucapan Syahla."Maksud aku gini, aku pikir, aku akan bahagia mendapatkan Mas Yudha. Namun, hati kecilku merasa hampa karena aku tahu, Mas Yudha tak mencintaiku. Aku merasa Mas Yudha tak bahagia jika menikah denganku. Ia selalu bersikap dingin meskipun kami akan menikah. Aku pikir, Mas Yudha masih mencintai Amira," ujar Syahla."Terus, mau kamu apa, La? Apa kamu berpikir untuk melepaskan Yudha dan Amira untuk bersama? Bukankah, kau membenci Amira?" seloroh Nisa."Iya, sih. Namun, aku kembali merenung akhir-akhir ini. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah Amira. Ini hanya keegoisanku semata karena cemburu padanya. Aku bingung, Nis. Namun, untuk mundur dan melepas Mas Yudha, aku sudah terlanjur malu dengan foto-foto itu.""Hati kecilku juga me
Syahla baru saja sadar dari pingsannya. Setelah semalaman tak sadarkan diri. Terlihat Nisa yang sedang menjaganya. "Nisa," ucap Syahla lirih."Syahla, kamu udah sadar? Alhamdulillah ..." Nisa menangis haru, ia sangat takut kehilangan sahabatnya tersebut."Nis, aku masih hidup kan?" tanya Syahla."Iya, bod*h. Kau masih hidup, janji jangan kau ulangi perbuatan bod*hmu itu, La," ujar Nisa."Buat apa aku hidup, Nis. Semua kebahagiaanku sudah direnggut oleh Amira. Aku bahkan sudah tidak punya muka lagi sekarang. Hanya karena cinta, aku bertindak bod*h." Syahla menyesali perbuatannya."Aku benci Amira, Nis! Aku benci dia, karena dia hidup aku hancur seperti ini," sambungnya."Syahla, kamu yang tenang ya. Pak Yudha pasti akan menikahimu," ucap Nisa."Nggak mungkin, Nis. Mas Yudha tak akan menikahiku, ia pasti sangat membenciku saat ini.""A-aku akan menikahimu, Syahla." Suara seorang lelaki yang tak begitu asing di telinga Syahla.Syahla pun menoleh, mencari lelaki itu. Terlihat Yudha sudah
Malam hari.Syahla tengah melihat foto-foto di galeri ponselnya di dalam kamar. Foto-foto mesra yang ia ambil dengan dibantu Nisa, ketika Yudha tengah tak sadarkan diri di kamarnya. Ia sedang berpikir untuk mengirim foto-foto itu di media sosial miliknya. Juga, ia akan mengirim di grup pekerjaannya di kantor. Meskipun, hal itu akan sangat memalukan, tetapi Syahla sudah tak punya cara lain lagi.Ia kemudian mengirim foto-foto itu di grup kerjaanya. Tak lama, grup kerjaanya itu heboh dengan banyaknya komentar dari rekan-rekan karyawan di kantornya. Semua komentar hampir menanyakan apa maksud dari Syahla mengirimkan foto-foto ini. Serta, menanyakan apakah benar foto-foto itu adalah foto Yudha dan Syahla?Syahla hanya membaca kehebohan di grup kantor, ia tak berniat membalasnya. Deretan pesan pribadi pun memenuhi ponselnya. Rata-rata dari teman kantornya."La, kamu benar-benar gila ya? Kamu serius kirim foto itu di grup kantor?" Nisa menghampiri Syahla, ia tak percaya dengan tindakan nek
Amira begitu kecewa mendengar penuturan dari Yudha yang mengatakan, jika lelaki itu mengakui tidur di kamar yang sama dengan Syahla saat terbangun. Namun, Yudha sendiri merasa tak yakin jika melakukan hal itu, ia tak ingat apa pun."Aku tak begitu ingat, kenapa aku berada di kamar yang sama dengan Syahla. Aku juga merasa tak yakin jika aku melakukan hal itu. Hanya saja, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri, Mir. Aku sudah menyakitimu, maafkan aku," sesal Yudha."Terus, apa yang akan kau lakukan, Kak? Apa kau akan menikahi Syahla?" tanya Amira datar.Yudha terdiam, entahlah dia tak tahu apa yang akan dia lakukan. Sebagai seorang lelaki yang dididik baik oleh keluarganya, ia tak ingin menjadi lelaki pengecut yang lepas dari tanggung jawab. Namun, ia tak yakin dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Syahla di kamar itu.Yudha kembali mengingat saat baru saja bangun dari pingsannya malam tadi. Ia memijit pelipisnya, merasa kepalanya begitu sakit. Pelan-pelan ia membuka matanya, terl
Syahla sedang pisisi tidur di samping Yudha. Meskipun tidak berpakaian seksi, Syahla melepas hijab yang menutup kepalanya."Nisa!" Syahla menoleh saat mendengar suara pintu terbuka dan Nisa masuk ke kamarnya."Syahla, aku berubah pikiran!" "Maksud kamu?"Nisa ke sisi Syahla kemudian menarik lengan wanita itu untuk segera bangun dari kasur."La, sadar, bukan seperti ini cara untuk mendapatkan Yudha! Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Nisa memperingatkan."Aku tak peduli, Nis! Bagiku mendapatkan Mas Yudha adalah hal yang lebih penting. Aku bahkan rela jika harus tidur dengannya!" seloroh Syahla."Tapi aku tak bisa membantumu dalam hal ini. Aku seperti ini karena peduli padamu, La. Aku tak ingin kamu mempermalukan dirimu sendiri." Nisa berusaha menyadarkan Syahla dari ide konyolnya."Oke, tak masalah. Aku sudah punya rencana lain kalau kau tak mau membantuku. Tapi, untuk kali ini kau jangan ikut campur Nisa. Berhenti menasehatiku, kau cukup melihat saja dan jangan berit
"Gemilang? Itu ... Bukan apa-apa," jawab Syahla gugup. Ia khawatir Gemilang melihat aksinya memberikan beberapa tetes cairan ke dalam kopi milik Yudha."Tapi, aku pernah lihat itu di rumah Oma." Gemilang menunjuk sesuatu di tangan kiri Syahla.Syahla pun mengikuti pandangan Gemilang, ternyata yang dimaksud anak kecil itu adalah gelang yang dipake Syahla."Gelang ini?" tanya Syahla memastikan dengan menunjukkan gelang itu pada Gemilang.Gemilang mengangguk. "Gelangnya sama kaya punya Oma. Apa itu gelang punya Oma, Tan?"Syahla sedikit lega mendengar ucapan Gemilang. Ternyata benar, Gemilang menanyakan gelangnya."Ini gelang punya Tante. Oma membelikannya untuk Tante. Gelang Oma sama Tante samaan," jelas Syahla."Emang kenapa, kok Gemilang tanya gelang ini?" tanya Syahla kemudian karena penasaran."Dulu waktu di rumah Oma, aku ambil gelang Oma buat mainan. Habis itu, gelang Oma rusak. Oma marah sama aku, katanya itu gelang berharga punya Oma. Aku nggak boleh pegang gelang itu lagi." Gem