Senja sudah mulai menyapa, pertanda matahari telah mulai meninggalkan eksitensinya. Setelah seharian dia menyinari bumi tanpa lelah.Aku masih disibukkan dengan barang-barang di depanku, aku pun belum membersihkan diri sejak tadi. Aku masih ingin menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu.Sejak menjelang sore tadi, aku sudah sibuk mengemas barang-barangku. Aku putuskan untuk segera pulang ke rumah. Lingkungan di sini sudah mulai tidak nyaman untukku.Aku takut jika tetap berada di sini, nanti bisa mempengaruhi kesehatan mentalku. Sejak mendengar Mbak Ranti menfitnahku dengan keji, aku mulai tidak nyaman tinggal di sini.Bisa saja Mbak Ranti kembali menfitnahku dengan lebih kejam lagi, kan? Aku harus bersiap untuk itu, lebih baik aku segera memutuskan untuk pergi.Adzan Magrib mulai terdengar di telingaku, aku pun segera beranjak meninggalkan pekerjaanku dan menjalankan kewajibanku sebagai muslimah.Selang setengah jam, aku sudah rapi serta sudah selesai melaksanakan ibadah wajibku.Ak
Tak terasa waktu cepat berlalu, aku sudah memarkirkan mobil di halaman rumah orangtuaku yang nampak sepi dan gelap. Karena memang sudah tengah malam aku baru sampai, setelah menempuh perjalanan yang lumayan cukup jauh.Ayah dan ibu pasti sudah terlelap semua, mengingat malam sudah sangat larut. Perlahan aku turun dari mobil, netraku memandang sendu ke arah rumah yang sejak kecil aku tinggali.Rumah dua lantai itu, tidak pernah berubah sejak aku kecil, bangunannya masih tetap sama, hanya warna catnya yang sering kali diganti setiap tahun.Aku melangkahkan kaki menuju pintu, dengan ragu aku pun mengetuk pintu setelah tiba di depan pintu. Sejujurnya aku tidak mau datang di waktu seperti ini, tapi aku juga tidak punya pilihan setelah diusir dari tempat tinggalku.Lama aku mengetuk pintu, tapi tak juga ada yang membukanya. Mungkin semua sudah tertidur dengan lelapnya, sehingga tidak ada yang mendengar pintu diketuk.Aku pun mengambil ponsel di dalam tas, aku memutuskan untuk menelfon ponse
"Hai, Win," sapaku pada Winda melalui sambungan telfon."Hmmm ... ada apa, Ras? Kenapa telfon subuh-subuh begini?" tanya Winda dengan suara serak, sepetinya dia baru saja bangun tidur.Aku memang langsung menelfon Winda begitu selesai ibadah Subuh. Aku tidak sabar mengetahui reaksi Winda begitu mengetahui bahwa aku telah pulang ke rumah."Aku cuma mau memintamu datang ke rumah setelah pulang kerja," jawabku."Rumah? Rumah siapa, Ras?"Aku cekikikan mendengar pertanyaan Winda. Dia pasti bingung dengan permintaanku. Dia pasti juga tidak menyangka kalau aku sudah pulang ke rumahku sekarang."Rumahku, Win. Aku kan sudah pulang ke rumah, Win," jelasku."Apa? Jangan bercanda, Ras. Nggak mungkin kamu sudah pulang ke rumah. Kemarin kita baru saja telfonan dan kamu masih di rumah bibiku kan, Ras?" tanya Winda lagi."Aku serius, mangkanya nanti pulang kerja mampir ke rumah, Win."Aku menahan tawa, terbayang wajah Winda yang pasti sangat lucu. Dengan wajah khas bangun tidurnya itu, dia pasti ter
"Kapan kamu mau kembali bekerja, Ras?" tanya Winda sedang sibuk mengunyah keripik pisang buatan ibu."Mungkin lusa, Win. Aku juga rindu suasana kantor. Apalagi sejak aku menikah dengan Mas Haris, aku belum pernah ke kantor lagi."Aku terdiam sejenak, kembali teringat bagaimana pertama kali aku bisa mengenal Mas Haris. Kami bertemu saat aku masih bekerja, Mas Haris sedang ada pekerjaan dengan perusahaan ayah.Saat pertemuan pertama kami, aku tidak begitu tertarik dengan Mas Haris. Aku hanya melihatnya sama seperti lelaki lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu, dan karena orangtua kami, akhirnya aku mulai melihat Mas Haris dengan pandangan lain.Aku kagum dengan kelembutan sikap Mas Haris, dia selalu bisa membuatku nyaman. Akhirnya aku pun aku jatuh hati padanya. Kenangan-kenangan saat aku masih bersama Mas Haris kembali terlintas di benakku."Ras ... Ras ... Laras...."Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Aku langsung menoleh ke arah Winda yang masih duduk di sofa dengan toples di
"Bagaimana kabarmu, Ras?" "Baik, Ma. Walau kemarin aku sempat dapat masalah karena seseorang," jawabku sembari melirik Indra yang duduk di samping Risa. Dia nampak membuang muka saat aku meliriknya."Dasar pengecut," umpatku dalam hati.Kami sedang duduk di ruang tamu, dengan posisi mama di sampingku, ayah duduk di hadapanku, sedangkan Indra dan Risa duduk di sebelah kanan mama.Sementara Winda sedang di dapur membantu ibu membuatkan minum untuk kami. Dari tadi Winda uring-uringan setelah melihat Indra, bahkan sejak tadi Winda terus saja menyindir Indra terang-terangan.Aku pun langsung menyuruh Winda membantu ibu menyiapkan minuman dan makanan kecil. Aku merasa tidak enak hati pada mama, jika kelakuan Indra sampai ketahuan.Aku tidak pernah mengira Indra berani datang ke rumahku, bertatapan muka denganku. Aku pikir dia tidak akan berani menampakkan batang hidungnya di depanku, ketika aku kembali pulang.Walaupun dia tidak berani menatap mataku sama sekali, Indra cukup punya nyali un
"Kamu yakin hari ini akan kembali bekerja, Ras?" tanya ibu sembari menuangkan teh di cangkirku."Iya, Bu." Aku mengangguk sembari terus mengunyah sarapan pagiku. Sementara ayah juga sibuk dengan sarapannya. Sejak kemarin ayah belum bicara padaku. Aku pun juga masih menunggu waktu untuk jujur pada ayah."Kamu berangkat dengan ayah saja, Ras. Ibu khawatir jika kamu naik mobil sendiri.""Nggak, Bu. Nanti Winda sekalian mampir menjemputku, aku berangkat dengan Winda saja."Ayah melirikku sekilas, aku belum bisa untuk bercerita pada ayah, jika kami berangkat bersama, tentu aku harus menceritakan yang sejujurnya padanya.Bukan aku tidak mau jujur dan menceritakan semua pada ayah, tetapi aku cuma tidak mau ayah mendatangi Indra dan murka padanya. Aku sangat tahu sekali ayah seperti apa, beliau tidak mau salah satu keluarganya diganggu hingga mendapat masalah.***"Wajahmu kenapa sih, Ras? Dari tadi ditekuk melulu," tanya Winda.Aku seketika menoleh ke arah Winda yang sedang berada di belakan
"Bu Laras ...." Suara Winda membuatku tersentak."Iya," sahutku salah tingkah, tidak biasanya aku tercengang sedemikian rupa bertemu dengan seseorang.Winda menatapku dengan pandangan penuh tanya, dia pasti heran dengan sikapku. Tapi aku tidak bisa mengontrol ekspresi wajahku yang terkejut dengan fakta bahwa Pandu adalah manager baru yang menggantikan Pak Hadi."Ah, maaf. Selamat bergabung Pak Pandu, semoga betah bekerja di tempat ini," ucapku mengulurkan tangan ke arah Pandu.Pandu hanya menggangguk tak membalas uluran tanganku dan malah menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, "Terima kasih, Bu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin melakukan tugas saya dengan sangat baik."Aku langsung menarik tanganku mendapat respon seperti itu, "Baiklah, silahkan kembali ke ruangan anda Pak Pandu. Jika ada yang perlu ditanyakan silahkan menghubungi Ibu Winda.""Baik, Bu. Terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi." Pandu langsung membalikkan badan dan melangkah pergi dari ruang ke
Hari sudah menjelang malam, gerimis yang turun kecil, tapi kini mulai semakin turun dengan deras. Air hujan semakin turun membasahi bumi.Aku mendesah karena lupa tidak membawa payung, kini aku tidak bisa berjalan membelah hujan untuk sampai di mobilku yang terparkir di depan restoran.Aku bisa basah kuyup jika nekat membelah hujan. Padahal aku orang yang tidak bisa terkena air hujan, aku bisa langsung demam jika sampai hujan-hujan walau cuma hanya sebentar saja.Aku baru saja mampir ke sebuah restoran kecil, karena aku tiba-tiba ingin makan di restoran tersebut. Semenjak hamil, kadang-kadang membuatku tiba-tiba ingin memakan sesuatu. Bahkan keinginan itu terkadang menyusahkanku. Kata Winda, itu bawaan bayi yang ada di dalam kandunganku, dan sebagian besar ibu hamil selalu mengalaminya.Kata Winda hal itu disebut ngidam, dan aku harus mengikuti apa yang tiba-tiba aku inginkan itu, jika tidak kau anakku nanti ileran jika sudah lahir.Membayangkan anakku ileran membuatku takut, aku pun