“Anna, aku sudah sampai,” kata Jonas.
Senin itu, Jonas berinisiatif untuk mengantar dan menjemput Anna dari kantor. Ia ingin mengetahui di mana Anna bekerja dan jam berapa saja tepatnya ia pulang.
Tentu saja Anna tidak menolak tawaran itu.
Dengan Jonas, Anna merasa lebih dilindungi.
Sesampainya di parkiran kantor itu, sebelum Anna naik, mata Jonas tertuju pada seseorang yang sedang berdiri di depan pintu masuk kantor.
Jonas melihatnya dengan wajah yang tidak senang.
Anna bisa memperhatikan bahwa betapa amarah menguasai kedua pria itu mengingat Rian dan Jonas sedari remaja tidak pernah akur.
Jonas membisu sepanjang perjalanan. Anna tidak percaya setelah ia marah pada Jonas, kali ini kondisinya berbalik.
Sesampainya di apartemen, Jonas meletakkan semua bahan makanan yang mereka beli di pasar tadi di atas meja dan mulai memasak.
Anna mendekatinya dan menyentuh lengannya. “Kau marah?”
“Aku bukan marah. Aku h
“Kak, hari sabtu nanti pembagian rapor. Setelah itu kami akan libur kenaikan kelas, aku mau di rumah kakak saja. Aku ingin ganti suasana, bosan sekali di asrama,” ucap Darryl lewat telepon. Mendengar adiknya akan menginap di rumahnya setidaknya satu minggu, ada perasaan senang dan sedih yang terjadi secara bersamaan. Anna pun mengiyakan permintaan Darryl. Setelah sambungan telepon dengan Darryl selesai, Anna lalu menelepon Jonas. Jonas mengangkat telepon dari Anna setelah beberapa detik. “Halo?” “Hai Jonas.” “Ya Anna. Bagaimana kabarmu hari ini?” “Aku baik-baik saja. Aku masih berkutat dengan semua lamaran pekerjaan ini dan berencana akan mengirim semuanya hari ini.” “Ku harap kau bisa segera dapat pekerjaan lagi,” ucap Jonas. “Hei, bisakah aku minta tolong?” “Ada apa, Anna?” “Bisakah kau mengantarku untuk menjemput Darryl dari asramanya?” Jonas terdiam beberapa detik, sampai Anna memanggil naman
Gina yang tadi diam, akhirnya berbicara. “Ibumu dan Ayah Jonas punya hubungan terlarang. Darryl adalah anak mereka, sekaligus adik kalian berdua.” Bak disambar petir, Anna jatuh terduduk di sofa itu. Tangannya lemas, kepalanya pening mendengar hal itu. “Tidak… Tidak mungkin…” Bisik Anna. “Ku rasa, ayahmu… membunuh ibumu setelah tahu kalau Darryl adalah anak ibumu dengan ayahku,” kata Jonas. Ia masih bergeming di tempatnya dan tidak tergerak untuk menghampiri Anna yang terlihat sangat tergoncang. “Apa kau yakin Darryl itu juga adikmu?” Gina menatap Anna dan menjelaskannya. “Jonas menemui Darryl tempo hari untuk mendapatkan sampel DNA. Hasilnya… dia memang adalah adik kalian berdua.” Jonas menambahkan. “Alasan sebenarnya kenapa aku tidak mendekatimu lagi dari dulu karena aku marah pada orang tuamu dan membenci kalian semua. Awalnya aku tidak tahu kalau Darryl itu adikku juga. Tetapi semakin anak itu dewasa, ia semakin mirip denganku dan
“Anna.” Panggil ibunya sayup-sayup dari dalam kamarnya. Anna menggosok matanya seketika suara ibunya membangunkannya dari tidurnya yang lelap di malam hari itu. Ia menoleh pada jam yang ada di dinding di mana jarum pendeknya telah menunjukkan pukul 5 subuh. Suara ayam berkokok yang bersahut-sahutan terdengar jelas sekali, berasal dari kandang yang dimiliki oleh para tetangga. “Iya ma,” kata Anna setelah kakinya menyentuh lantai yang dingin dan berjalan menuju kamar ibunya. Sesampainya di sana, Anna disuguhi pemandangan yang membuat mata Anna terlepas dari belenggu kantuk seketika. Ibunya tengah duduk di atas ranjang dengan napas berat sambil memegangi perut besarnya yang seakan-akan siap meledak. Ia bisa melihat dengan jelas lantai yang basah karena cairan bening. Cairan itu juga membasahi sprai yang tengah diduduki oleh ibunya saat ini. “Mama? Ada apa?” Tanya Anna yang bingung
“Aku tidak bermaksud menyembunyikan hal itu darinya. Aku hanya tidak siap jika Darryl ikut terluka.” Jonas berbalik kembali dan menatap balkon. “Aku tidak siap jika Darryl memiliki reaksi yang sama denganmu.” “Maka pergilah dari hidup kami,” bisik Anna lirih. Jonas berbalik lagi dan terperangah. “Aku tidak bisa kehilangan kalian sekaligus!” Gina mencoba berargumen dengan Anna. “Aku tidak mengerti denganmu, awalnya kau ingin memberitahu semua pada Darryl, sekarang kau menyuruh Jonas pergi darimu. Kau sebenarnya kenapa?” “Aku di sini sedang memberi pilihan.” “Ini sulit untukku, Anna.” “Darryl itu bukan anak kecil lagi, Jonas. Dia sudah dewasa dan punya pemikiran sendiri.” “Tetap saja, aku sendiri tidak berpikir memberitahunya adalah hal yang benar,” kata Gina sambil melipat tangannya di depan dadanya. “Jonas. Aku ingin kau memberitahunya,” kata Anna sambil berjalan mendekati Jonas. “Beritahukan saja padanya, dia akan hanc
Anna lalu kembali ke kontrakannya setelah mengembalikan mobil Rona yang ia pinjam. Reaksi Darryl persis seperti tebakan Gina, bahwa ini adalah hal yang terlalu besar untuk diberitahukan padanya sekarang. Gina meneleponnya untuk menanyakan kabar Darryl. Suara Gina terdengar muram. Baginya, Darryl juga sudah seperti adiknya sendiri. “Tetapi bagiku, ini adalah yang terbaik. Dari awal, takdir sudah menuliskan dia lahir dengan cara seperti itu. Kita hanya harus mengarahkannya dan membantunya agar tidak dibelenggu oleh takdir yang buruk seperti orangtuanya.” Ucap Anna pada Gina setelah memberitahunya tentang reaksi Darryl. Sekarang, Anna akan membiarkan Darryl selama beberapa hari, menunggu hatinya melunak dan segalanya menjadi lebih tenang. Beberapa hari kemudian, ia lalu menelepon Miss Ratna, wali kelas Darryl. Panggilan itu dijawab setelah beberapa kali dering. “Halo Miss Ratna, ini saya Anna, kakaknya Darryl.” “Sel
“Kita mau kemana?” tanya Anna saat menyadari kalau Jonas tidak membawanya ke jalan yang seharusnya mereka tempuh menuju tempat tinggla Anna. “Kita harus makan, bukankah kau lapar? Ini sudah jam 3 siang,” kata Jonas. Jonas membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. Restoran yang luas bernuansa alam yang sangat luas sekali. Di sebelah kirinya terdapat bangunan besar yang tertutup dinding. Di tengah, terdapat danau buatan dengan air jerih yang dikelilingi gazebo-gazeo di atasnya. Satu gazebo bisa menampung hingga 8 orang. Jonas menarik tangan Anna pergi ke patio yang ada di ujung sana. Patio itu dihiasi dengan tiang-tiang di setiap sudut dengan tanaman gantung dan lampu kecil-kecil. Mereka harus berjalan masuk lebih dalam lagi untuk menuju tempat itu. Anna dapat melihat beberapa meja makan untuk 2 orang. Tempat ini bisa dijadikan tempat makan malam romantis. Meski sudah lewat jam makan siang, restoran itu masih tetap ramai. Jonas tidak ada pilih
Anna merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya sambil menutup matanya setelah lelah seharian berkutat dengan semua masalahnya dengan Darryl yang menguras energi dan juga emosinya. Walau ia berusaha untuk tidur, tetapi matanya tidak tertutup dan pandangannya tidak meredup. Belakangan ini, kualitas tidur Anna sangat menurun. Ia jadi tidak berstamina dan tidak bersemangat. Suasana hatinya dapat terjun bebas dan ia bisa menghabiskan waktunya seharian dengan menangis. Anna tidak suka merasa seperti ini. Ia perlu pengalihan. Ia lalu menelepon Rona untuk mengajaknya berpesta di klub malam ini yang langsung saja Rona setujui. Wanita itu akan menjemput Anna sekitar jam 9 malam. Anna menggunakan celana pendek selutut dengan kemeja gombrang berwarna putih. Alas kaki yang ia kenakan hanya sendal kulit setinggi 3cm berwarna pink. Tidak ada sentuhan make up di wajahnya karena ia tidak berniat menarik perhatian orang, ia ke sana hanya untuk bersenang-senang
Gina meletakkan gelasnya dengan nyaring sehingga membuat seisi rumah makan itu mengarahkan pandangannya pada Gina. Ia terkejut saat mendengar cerita mabuknya Jonas itu dari Rona. Gina sendiri berada di sana pada jam makan siang yang di mana tempat itu sedang ramai sekali pengunjung. Setelah menghabiskan makanannya, ia kembali ke mobilnya dan membuat panggilan ke ponsel Jonas. “Angkat, dasar sialan!” bentaknya pada panggilan yang belum terjawab itu. Ketika panggilan itu terhubung pada pesan suara, Gina segera mematikannya lalu menelepon ulang nomor yang sama hingga ia mengangkatnya. “Halo?” kata Jonas dengan suara biasa. “Apa yang kau lakukan pada sahabatku itu rendah sekali!” seru Gina dengan marah. Jonas menutup matanya sambil memijit kepalanya. “Aku memang salah.” “Kau itu tidak ada bedanya dengan Rian. Bisa-bisanya kau mengulang… ” “Rian? Aku mengulang apa?! Jelaskan sekarang, apa yang kalian sembunyikan dari