Anna merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya sambil menutup matanya setelah lelah seharian berkutat dengan semua masalahnya dengan Darryl yang menguras energi dan juga emosinya.
Walau ia berusaha untuk tidur, tetapi matanya tidak tertutup dan pandangannya tidak meredup.
Belakangan ini, kualitas tidur Anna sangat menurun. Ia jadi tidak berstamina dan tidak bersemangat. Suasana hatinya dapat terjun bebas dan ia bisa menghabiskan waktunya seharian dengan menangis.
Anna tidak suka merasa seperti ini. Ia perlu pengalihan.
Ia lalu menelepon Rona untuk mengajaknya berpesta di klub malam ini yang langsung saja Rona setujui. Wanita itu akan menjemput Anna sekitar jam 9 malam.
Anna menggunakan celana pendek selutut dengan kemeja gombrang berwarna putih. Alas kaki yang ia kenakan hanya sendal kulit setinggi 3cm berwarna pink. Tidak ada sentuhan make up di wajahnya karena ia tidak berniat menarik perhatian orang, ia ke sana hanya untuk bersenang-senang
Gina meletakkan gelasnya dengan nyaring sehingga membuat seisi rumah makan itu mengarahkan pandangannya pada Gina. Ia terkejut saat mendengar cerita mabuknya Jonas itu dari Rona. Gina sendiri berada di sana pada jam makan siang yang di mana tempat itu sedang ramai sekali pengunjung. Setelah menghabiskan makanannya, ia kembali ke mobilnya dan membuat panggilan ke ponsel Jonas. “Angkat, dasar sialan!” bentaknya pada panggilan yang belum terjawab itu. Ketika panggilan itu terhubung pada pesan suara, Gina segera mematikannya lalu menelepon ulang nomor yang sama hingga ia mengangkatnya. “Halo?” kata Jonas dengan suara biasa. “Apa yang kau lakukan pada sahabatku itu rendah sekali!” seru Gina dengan marah. Jonas menutup matanya sambil memijit kepalanya. “Aku memang salah.” “Kau itu tidak ada bedanya dengan Rian. Bisa-bisanya kau mengulang… ” “Rian? Aku mengulang apa?! Jelaskan sekarang, apa yang kalian sembunyikan dari
Darah di mana-mana. Anna menjerit saat melihat dapur itu penuh darah. Ia panik saat melihat sesosok tubuh yang ambruk dengan sebuah pisau yang tertancap di dadanya. Anna menangkupkan tangannya pada wajahnya dan menangis sekencang-kencangnya ketika melihat ibunya yang sudah terkapar dalam keadaan mengenaskan. Anna menyaksikan detik demi detik saat ibunya meregang nyawa, mengerang dengan napas yang tercekat, melemah hingga akhirnya tidak ada satu hembusan napas pun yang membuat dada ibunya bergerak lagi. Itu adalah detik-detik paling mengerikan dalam hidupnya, sekaligus yang paling merusak jiwanya. Gadis itu bisa melihat dengan jelas, perlahan-lahan, cahaya kehidupan yang ada di mata ibunya itu meredup lalu menghilang. Berulang kali ia mencoba membangunkan ibunya yang kini tidak bergerak itu, tetapi semua usahanya sia-sia belaka. Anna menunduk sambil menangis tersedu-sedu hingga
“Mama, kenapa kau meninggalkanku dengan cara seperti ini?” Ibunya terlihat sangat cantik dengan gaun putih itu. Ia memegangi wajah Anna-nya yang telah lama tidak ia lihat. “Kau sudah banyak menderita, Sayang.” “Aku ingin ikut mama,” kata Anna dengan mata berkaca-kaca. “Kau tidak marah pada mama?” “Bagaimana aku bisa marah dengan mama?” “Aku sangat mencintai ayah Jonas.” Kata ibunya sambil berpaling. “Hubungan kami akan menghalangi hubunganmu dengan Jonas.” Anna menangis terisak. “Aku tidak peduli lagi tentang itu, Ma.” “Tapi kau harus peduli. Karena semua ini salahmu,” kata ibunya yang dengan mata yang berubah menjadi kelam dan gaun putih itu berubah menjadi hitam pekat. Seketika seluruh dunia berputar-putar dan membuat kepala Anna menjadi pusing. Ia membuka matanya hanya untuk mendapati cahaya putih berpendar yang berhamburan k
Tangan Rian sudah menjelajah ke seluruh tubuh Anna. Ia yang ketakutan bukan kepalang mencoba melepaskan diri, tetapi tangan dan kakinya diikat di ujung ranjang. Tubuhnya bagian atasnya tidak tertutup apapun, sedangkan Rian masih berpakaian lengkap, berada di sana menggenggam sebuah ikat pinggang kulit. “Aku tidak bisa menerima penolakkanmu.” Kata Rian sebelum sesuatu yang tajam dengan cepat membuat kulit perut Anna memerah dan ia berteriak kesakitan. Mata pria itu menghitam, wajahnya menjadi sangat beringas. “Pelacur!” Serunya sebelum ia mencambuk lagi. “Sakit!!! Jangan!” Teriak Anna. “Ku mohon, jangan!” Dari kantongnya, Rian lalu mengeluarkan sebuah pisau dapur yang persis seperti pisau yang ia lihat pernah tertancap di dada ibunya. “Kau sudah jadi gadis yang sangat nakal.” Desisnya sebelum menghujamkan pisau itu tepat di jantungnya. “Jangan!!!” Teriak Anna dengan histeris saat semua
Sesuatu yang salah telah terjadi saat Rian tidak melihat Anna di mana-mana. Matanya menjelajah seluruh ruang outdoor itu untuk mencari sosok wanitanya itu. Sialan, umpatnya dalam hati. Apa dia kabur? Dalam beberapa detik saja, umpatan itu berubah jadi kepanikan saat Rian menyadari sosok manusia yang sudah mencapai dasar. Dengan tergesa-gesa, ia berenang menuju dasar dan menarik tubuh Anna hingga mencapai permukaan air lalu mengangkat tubuhnya di pinggir kolam. Anna terduduk sambil terbatuk-batuk dengan keras, menyemburkan semua air yang masuk dalam rongga pernapasannya. “Keluarkan Anna…” katanya dengan napas terengah-engah sambil mengelus punggung Anna. Setelah rongga pernapasan Anna sedikit lega, Rian membantunya berdiri, menyelimutinya dengan jubah mandi lalu membawanya kembali ke kamarnya dengan langkah yang lemah. “Kau itu bodoh,” kata Rian dengan suara pelan. Akibat rencananya itu, ia bahkan tidak dapat lagi mengin
Tubuh Anna membeku saat ia mendengar kata obsesi keluar begitu saja dari mulut Rian yang terlihat tenang-tenang saja. Pikirannya mulai berkelana dan sedikit berhalusinasi kalau Rian akan melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Bahwa Rian akan membuatnya celaka. Beranikah Rian berbuat begitu padanya? Jika ia berani menculik Anna, maka yang lainnya seharusnya bukan menjadi soal yang kecil untuk Rian. Ia meletakkan sumpitnya dekat kotak makanannya dan berhenti makan. “Ada apa? Apa ini tidak enak?” Anna menggeleng dengan tatapan kosong. “Rian… apa kau akan menyakitiku?” “Menyakiti bagaimana?” “Menyakitiku… apa kau tidak tahu apa artinya? Apa kau bolos pelajaran bahasa Indonesia?” tanya Anna dengan tatapan tajam pada Rian. Rian terkekeh sambil mengambil suapan terakhir dari kotak makanannya. “Kau jangan suka membayangkan yang macam-macam tentangku. Di sini, kau adalah kekasihku dan aku akan memperlakukanmu seperti ra
Anna kembali berada di dalam rumah lamanya. Adegan itu kembali berulang dihadapannya dan berlangsung dengan sangat mengerikan. Kali ini ia berada di ambang pintu saat melihat seorang pria tinggi berkulit putih sedang menikam ibunya berkali-kali dengan kejam. Darah ibunya sudah bersimbah ke mana-mana, di lemari pendingin, meja makan, kompor, penanak nasi, bahkan hingga ke lemari piring. Ibunya berusaha melarikan diri dari pria asing itu, tetapi pria itu kuat dan jauh lebih cepat. “Anna… lari…” bisik ibunya sambil melambaikan tangannya agar Anna cepat menjauh. “Dia akan menyakitimu… Dia… Dia akan menyakitimu...” Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ibunya telah mendekati ambang pintu. Anna sendiri membeku di tempat dengan wajah sangat shock. Tetapi sebelum ibunya bisa meraih Anna, ia akhirnya tersungkur pada bacokan terakhir yang ia terima di punggungnya. Dan tepat
Keesokan harinya, ketika Anna sudah bangun, ia mendapati kalau dirinya kali ini sendirian. Hari itu tidak seperti biasanya karena Rian meninggalkannya lama sekali. Tapi ia tetap menyiapkan makan pagi dan siang untuk Anna dengan meninggalkan dua makanan berbeda untuknya di atas meja itu pagi tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ia telah mandi dan mengenakan pakaian lainnya. Ia memakai sebuah kaus putih garis hitam, dan celana pendek di atas lutut. Ia menyisir rambutnya hingga rapi, tetapi ia tidak dapat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin karena benda itu tidak ada. Ia memastikan diri bahwa dirinya sekarang sangat jelek sekali. Ia terus menerus menyisir rambutnya dengan kasar hingga beberapa helai rambut yang rontok jatuh berantakkan di lantai. Anna melempar sisir itu ke ujung ruangan sambil berteriak frustasi. Ia kembali mulai menangisi nasibnya yang bertahan di sini dalam keadaan diculik. Anna tidak bisa menghubungi Paman Rudy dan juga Darryl.