Serani "Selamat siang, Bu. Ini ada titipan parcel dari Pak Tirta." Seorang wanita cantik memperkenalkan diri sebagai sektetaris Prass, pagi-pagi sudah datang membawa sekeranjang parcel buah. "Terimakasih Elara. Kenapa tidak supir saja yang mengantar. Tentunya kamu sampai meninggalkan pekerjaanmu di kantor." "Tidak apa-apa, Bu. Ini sesuai perintah Pak Tirta!"sahutnya tersenyum seraya meletakkan keranjang parcel itu di atas meja ruang tamu. "Kalau begitu Saya permisi kembali ke kantor." Elara pamit dengan mengangguk sopan padaku. Kemudian wanita dengan tubuh tinggi semampai itu memutar tubuhnya dan melangkah menuju halaman. "Terimakasih Elara!" Aku mengantar sekretaris Pras itu hingga ke teras. Mobil dan supir kantor telah menunggunya di halaman. Namun tiba-tiba mataku tertuju pada seorang pria dengan wajah sedikit menyeramkan ingin masuk ke dalam. Namun dua security yang menjaga gerbang menahannya. Salah satu Security akhirnya menghampiriku. "Bu, pria itu mau ketemu ibu. Namany
"Praass ...!" Sontak Aku berdiri. Aku merasa lega melihat Pras tiba-tiba sudah muncul di dekat gerbang dan melangkah menghampiriku. Eh Tapi, dia bilang apa tadi? Calon istri? "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Prass tiba-tiba sudah ada di depanku. Kedua tangannya membingkai wajahku. Sungguh aku terkejut dan tidak siap dengan sikapnya ini. Ah, Mungkin saja Prass hanya pura-pura di depan Agung. Agar mantan suamiku itu mengira aku dan Prass ada hubungan spesial. Ah, Pras ada-ada aja. Namun sikapnya ini sukses membuatku berdebar-debar. "Ya, Prass. Aku nggak apa-apa." Agung memang tampak tak suka. Pria itu membuang muka dengan wajah kesal. "Sera, mana Giska? Dia anakku, Aku berhak bertemu dengannya," ketusnya tanpa menoleh padaku. "Kamu mau apa sama Giska? Mau culik dia lagi?" Pras berkacak pinggang berdiri tak jauh dari Agung. Tubuh Pras yang menjulang tinggi dengan postur tegap dan kekar, membuat Agung tampak lebih kecil dan pendek.. "Kamu nggak usah fitnah dan jangan ikut campur! !
"Selamat datang kembali Bu Serani!" "Selamat pagi Bu Serani!" Aku mengangguk seraya tersenyum. Hampir seluruh karyawan menyapaku. Mulai hari ini aku terjun kembali ke perusahaanku PT.Gunawan corp. Sementara bisnis dan perusahaan Arief Aku percayakan pada Prasetya. Usia Pangeran sudah masuk dua bulan. Stok Asi sudah aku siapkan di lemari pendingin untuk persiapan selama aku tidak di rumah. Seperti pesan Pras, jagoannya jangan sampai kekurangan Asi. Pria itu rutin mengunjungi kami. Dalam seminggu, Pras bisa sampai tiga kali datang. Apalgi hari sabtu dan minggu, pria itu bisa betah seharian bermain dengan Giska dan Pangeran. "Pagi Bu Sera. Mari Saya antar ke ruangan Ibu yang baru!" Keanu menghampiriku saat aku baru tiba di lantai dasar kantor.Aku mengangguk. Lalu berjalan bersisian dengan Keanu. Pria muda dengan tubuh tinggi di atas rata-rata itu telah mendampingi Arief selama bertahun-tahun. Asisten pribadi Arief itu sangat bisa diandalkan. Sejak Arief sakit dan Aku hamil hingga ha
"Ke mall? Tumben kamu ke sini, Prass?" Mobil Pras berhenti di depan sebuah mall yang tak jauh dari kantorku. Prass yang wajahnya tak asing bagi publik, jarang sekalli mendatangi keramaian seperti ini. "Aku ingin membeli sesuatu. Nanti kamu tolong bantu pilihkan!" sahutnya setelah membukakan pintu mobil untukku. Kami masuk ke dalam Mall yang cukup ramai dengan pengunjung. Mungkin karena waktunya berbarengan dengan jam makan siang. Sepanjang kami berjalan, Prass menjadi pusat perhatian para wanita di sekitar kami. Ya, siapa yang tidak kenal dengan pria tampan yang sedang jalan bersamaku ini. Pras yang dulu aktif di dunia selebritiis, tentu wajahnya tidak asing bagi para wanita di mall ini. Aku pun dulu sangat mengidolakan seorang Tirta Prasetya. Kakiku terus mengayun mengikuti langkah kaki pria tampan yang tingginya di atas rata-rata ini. Hingga kami pun berhenti di depan sebuah toko perhiasan yang cukup ternama. "Kamu mau beli perhiasan, Prass?"Pria tampan iltu mengangguk tan
"Pras ..., sebaiknya mulai sekarang, kamu harus menjaga jarak dengan anak-anakku!" ujarku santai saat kami sedang menikmati menu makan siang. Prang! Aku terkejut saat tiba-tiba saja Pras menghentikan aktifitas makannya, hingga sendok dan garpu yang ada ditangannya terlepas begitu saja. "Prass ...maksud Aku--" Pras menatapku tajam. Sorot matanya begitu menusuk hingga ke iris mataku. Apa dia marah? Bukankah ini lebih baik? Bukankah dia sudah punya kekasih? Terdengar hembusan napas kasar dari pria tampan di depanku. "Prass, kamu marah, ya?" tanyaku hati-hati. "Menurutmu?" Pras membuang pandangannya dariku. Kenapa wajahnya jadi bete gitu? Apa aku salah ngomong? "Aku ..., Aku minta maaf jika sudah membuatmu marah. Tapi, bukankah ini lebih baik. Aku khawatir nanti akan timbul salah paham dengan calon tunangan kamu," jelasku pelan-pelan. Semoga saja Pras mengerti. "Apa? Calon tunangan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kamu beli perhiasan tadi untuk tunanganmu, kan? Nah, tunanganmu i
Tirta Prasetya "Udaah, jangan ditutup-tutupin. Aku udah terlanjur lihat juga tadi." Aku terus menggoda Sera. Wanita itu terus memegang bagian depan jasku yang kebesaran di tubuhnya. Kebetulan jas itu memang tidak memakai kancing depan. "Diamlah, Pras!" pungkasnya kesal sambil memandang ke luar jendela. Serani Gunawan. Wanita cantik yang sudah memporak-porandakan hatiku ini ternyata sama sekali tidak peka dengan perhatian yang aku berikan selama ini. Walaupun Arief tidak memintaku untuk menjaga dia dan kedua anaknya, Aku pasti tetap akan menjaga mereka dengan baik. Jalanan sangat macet. Sera mulai sibuk membuka-buka ponselnya. "Pangeran sudah besar. Aku ingin ajak Giska dan Pangeran jalan-jalan ke vilaku di puncak. Nggak jauh, kok. Kamu mau, ya!" "Apa nanti tunanganmu nggak marah?" tanyanya tanpa menoleh padaku. Ia masih fokus membuka-buka media sosial di layar ponselnya. Astaga! Dia masih saja membahas tentang tunangan. Apa mungkin ini karena dia cemburu? "Nggak. Aku tadi kan
"Ada apa ini, Pras? Siapa mereka? Kenapa mereka ada di depan rumahku?" Aku panik melihat beberapa orang pria dan wanita di depan gerbang. Beberapa diantara mereka membawa kamera. "Wartawan, ada juga dari stasiun televisi," desis Pras tanpa mengalihkan pandangannya dari kerumunan yang berada tak jauh dari kami. "Haaah,? Wartawan?"Mataku membelalak kembali melihat orang-orang itu. Pras mulai melajukan mobilnya mendekat. "Rapatkan jas yang kamu pakai. Kita turun!" ajak Pras. "Aku nggak mau. Mereka mau ngapain memangnya?" tanyaku panik. "Mau sampai kapan kita di sini, Sayang? Mereka itu pemburu berita. Mereka nggak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan." "Ini pasti gara-gara kita jalan di mall tadi." sesalku. Pras menoleh padaku. Aku sudah merapikan jas yang aku pakai hingga menutup rapat bagian depan tubuhku. Mobil Pras sudah hampir sampai persis di depan gerbang. Sontak semua mata menuju ke arah kami. "Kamu jangan turun dulu. Tunggu aku yang bukakan pintu
"Bunda dan Om Bule lagi ngapain?" Tiba-tiba Giska memandang wajah kami bergantian dengan tatapan bingung. Kami sontak terkejut dan langsung saling menjaga jarak kembali. Berusaha menetralisir debaran yang sempat kurasakan. Huff! Hampir saja! Lagian, barusan Pras mau ngapain coba dekat-dekat? "I-ini mata bunda ada pasirnya. Om mau bersihkan. Kasihan itu Bunda sampai nangis." jawab Pras membuatku kembali melotot padanya. Giska mengangguk tanda mengerti. Ia ikut memperhatikan mataku yang tadi ditunjuk oleh Pras. "Udah, Bun. Jangan nangis! Biar dibersihin sama Om bule aja." Giska bicara dengan gaya seperti orang dewasa, hingga membuat Aku dan Pras terkikik. "Adik Pangeran mana, Bunda?" tanyanya sambil melangkah ke kamar Pangeran. "Pangeran baru aja bobok, Sayang. Giska makan lalu istirahat, ya!" Putriku itu mengangguk sambil melangkah masuk ke kamarnya. Seorang asisten rumah tanggaku menghampirinya ke kamar. Pras kembali menatapku. "Kamu ... tadi nangis lagi kangen Arief?" tanya