"Halo, Pah." Aku menyapa lebih dulu tapi dari ujung sana tidak ada jawaban.Hingga akhirnya sambungan telepon pun terputus. Aku menghela napas kasar sampai membuang ponsel ke sofa, rasanya sangat khawatir padanya jika seperti ini. Namun, Mbok yang menenangkanku.Akhirnya aku coba menunggu di rumah satu kali dua puluh empat jam, sesuai dengan nasihat Mbok.***Haris yang akan datang ke rumah papa, sudah dalam perjalanan. Nanti saat ia ke sini, akan aku tanyakan padanya siapa dokter yang menggandengnya tadi. Karena seingat aku, ia kan dijodohkan oleh papa denganku. Harusnya ia tidak boleh sembarangan dekat dengan wanita lain.Mbok Asih masih tengah masak. Untuk hidangan Haris yang akan berkunjung ke sini. Juga papa yang barangkali lelah karena harus ikut dengan polisi untuk menahan Syakila dan Mas Danu. Rasanya sudah tidak sabar lagi mendengar kabar dari papa tentang mereka.Makanan sudah tersaji di meja makan. Dan aku juga sudah mandi, saatnya menunggu Haris datang di ruang televisi.
"Terima kasih banyak informasinya Pak, jika ada perkembangan tolong hubungi saya," sahut papa dengan kondisi ponsel diaktifkan speakernya. Lalu mereka mematikan sambungan teleponnya setelah mengucapkan salam.Mereka sudah lari secepat itu. Pastinya sudah ada orang yang menuntun mereka. Apa Tante Siska? Aku jadi menduga-duga."Hemm, Pah aku hubungi Tante Siska ya! Ia itu kan Tantenya Danu. Masa iya tidak tahu keberadaannya.""Iya, coba saja! Siapa tahu ada titik terang!" ujar papa. Aku mencoba menghubungi Tante Siska, tapi setelah berkali-kali menghubunginya, nomernya sudah tidak terjangkau lagi. Setelah Haris pulang, hanya beda beberapa menit saja. Papa kedatangan tamu yang tidak aku kenal, ia hendak mencari papa. Katanya ia menemukan dompet papa yang terjatuh di depan rumah Syakila dan Mas Danu."Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam, iya ada apa ya?""Ini Mbak, saya ingin mengembalikan dompet bapaknya Mbak yang jatuh," ucap laki-laki itu yang tak kukenali. Ia menyerahkan dompet milik
Mataku tak berkedip saat membaca pesan dari Mas Danu. Itu artinya aku tidak boleh percaya pada Haris sepenuhnya untuk sekarang ini."Pah, Haris kenal dengan Mas Danu saat di rumah sakit, ini dia ngucapin makasih segala, apa mungkin mereka komplotan?" Aku bertanya meskipun dada ini tengah bergemuruh hebat.Papa terdiam sambil menyorot ke arah layar ponsel."Papa kecewa jika memang begitu adanya, tapi kita tidak bisa menyimpulkan hanya karena pesan ucapan terima kasih, lebih baik kita selidiki lebih dalam lagi, Papa akan suruh orang untuk mengintai Haris," timpal papa. Tak berselang kemudian, mobilnya Haris terdengar kembali di area halaman rumah. Aku yakin ia baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal."Sudah, matikan layarnya, jangan sampai Haris curiga," suruh papa.Aku pun keluar rumah dan segera menyerahkan ponsel genggam miliknya. Ia sempat melihat ke layar ponselnya, lalu menyorotku diam."Kamu baru pegang handphone ini, kan?" tanya Haris."Iya,barusan aku ke toilet, nemu langsun
"Menurut informasi anak buah Papa, Haris itu ada utang budi pada Danu, makanya ia yang memberi informasi bahwa Papa mau menangkap mereka," terang papa.Sungguh pernyataan papa barusan sangat membuatku merasa bersalah. Gara-gara terlalu percaya pada orang, kini malah jadi merepotkan papaku."Lantas kenapa tadi dia bilang sedang cari Mas Danu dan Syakila," jawabku agak kesal, sebab ternyata orang yang cukup denganku adalah penjilat.Papa mengangkat bahunya, lalu menggelengkan kepalanya.Tidak disangka akan seperti ini jadinya. Kami pun berpikir positif karena papa sendiri yang merekomendasikan Haris sebagai dokter yang menemaniku di rumah sakit."Papa kecewa, tapi alasan Haris melakukan ini tentu karena terpaksa," tutur papa memaklumi."Aku nggak bisa maklum, Pah," timpalku kesal."Ya udah, kita bicarakan nanti lagi, sekarang lebih baik ketemu Khairul, teman papa." Ia menarik lenganku paksa.Kami tiba di ruangan rawat inap tempat teman papa dirawat. Aku tadi sempat membeli buah yang dit
"Ya Allah, Fika. Aku harus bagaimana jelasin ke kamu dan Pak Wijaya ya? Sepertinya ada yang membuat kamu berubah gini," ungkap Haris. Aku menoleh ke arah papa. Mana mungkin papa sembarangan memfitnah orang. Haris saja yang pandai bersilat lidah.Kemudian, aku mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Sebab, kantor polisi sudah berada di depan mata.Aku dan papa segera turun dari mobil dan masuk ke kantor. Lalu lalang petugas membuat kami berdua celingukan mencari komandan."Wah, Pak Wijaya sudah datang!" teriak komandan Aji, seperti tulisan di papan namanya yang kubaca."Iya, Pak. Tadi dapat kabar katanya buronan Syakila dan Danu sudah ditemukan, apa itu betul?" tanya papa tanpa basa-basi."Duduk, Pak!" seru pak polisi. "Begini, Pak. Ya, tadi sudah tertangkap oleh polisi dan beberapa preman di sana. Tapi, saat di jalan, mereka menyeburkan diri ke kali. Sampai saat ini, sedang dalam pencarian tim kami," sahutnya membuatku menghela napas panjang. Astaga, kedua orang itu licin seka
Aku jadi fokus mendengarkan ucapan Haris kata demi kata. Tidak menutup kemungkinan orang itu adalah mereka, buronan yang tengah dicari polisi."Haris, aku tutup dulu teleponnya. Nanti papa mau hubungi Pak Aji terlebih dahulu," timpalku sambil mematikan sambungan teleponnya.Bukan tidak tahu terima kasih, tapi aku masih harus waspada terhadap Haris. Sebab, ia bisa saja berubah lagi.Aku ke luar kamar, ternyata papa berada di ruangan televisi. Aku segera mendekat dengannya."Pah, ambil ponsel coba, kata Haris polisi hubungi Papa nggak diangkat-angkat," paparku sambil menggoyangkan tangannya.Kemudian, papa memerintahkan pembantunya untuk mengambil handphone di kamar.Setelah ponselnya berada di genggaman. Ternyata benar, ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Pak Aji. Ia mungkin ingin menyampaikan perihal orang yang ditemukan saat itu. Meskipun Pak Aji tidak berada di lokasi, pastinya rekan di Jogjakarta tengah melaporkan segala hal sekecil apapun mengenai buronan tersebut."Pah, cepat
Tiba-tiba Haris tersungkur dan bersujud di kakiku. Benar dugaanku ia pasti melakukan satu hal yang membuatnya seperti ini."Fik, aku minta maaf," ucap Haris.Aku bergeming, tak bicara satu kata pun untuk menanggapinya.Suster ikut berhenti ketika menoleh ke belakang."Cepat bangun, kita ketemu dokter dulu," ajakku kasar. Kemudian kaki ini melangkah mengekor suster yang kini mulai beranjak kembali.Suster membuka pintu lebar-lebar, ia mempersilakan kami masuk dan memperkenalkan pada dokter yang menangani Mas Danu dan Syakila."Dok, ini Mbak dan Mas yang ingin bertemu Dokter," ucap suster dengan lemah lembut."Sore Dok, saya Dokter Haris, dan ini Fika, mantan istri Danu, pria yang dirawat di ruang ICU." Haris menjelaskan statusku, agar dokter lebih percaya untuk menceritakan kondisinya."Sore juga, Dok, Mbak. Senang berkenalan dengan kalian. Saya akan menjelaskan kondisi mereka saat ini." Kami pun duduk setelah dipersilakan."Iya, sebenarnya kami sudah tidak peduli, tapi ingin tahu kea
"Bisu permanen, Dok?" Aku bertanya seraya tak percaya."Iya, saya pastikan pasien bisu permanen," terang dokter.Aku menoleh lagi ke arah Haris yang ikut termangu saat dokter menyatakan Syakila bisu permanen."Baik, Dok. Saya akan beritahu keluarganya masalah kondisi Syakila," timpalku mengakhiri pembicaraan. Kemudian, kami bangkit dari duduk dan beranjak keluar ruangan.Kami berjalan seakan tak tahu arah tujuan. Mata kami berdua menyoroti jalan tapi pikiranku entah ada di mana. "Apa ini karma?" Aku dan Haris bertumbuk pandangan, apa yang kami tanyakan juga sama."Kita satu pemikiran," celetuk Haris. Kemudian memalingkan wajahnya dan kembali ke arah depan."Kita temui papa di bawah," ajakku. "Papa harus tahu kondisi Syakila, jujur saja aku jadi kasihan dan memiliki inisiatif untuk mencabut laporan," sambungku membuat Haris menoleh dan berhenti."Nggak gitu, Fik. Jangan jadikan kondisi Syakila sebagai kelemahan, biarkan mereka memetik apa yang sudah ditanam," cegah Haris.Aku menelan