Home / Romansa / Fragmen di Bawah Hujan / Bab 6 Di Bawah Perpustakaan yang Terbakar

Share

Bab 6 Di Bawah Perpustakaan yang Terbakar

Author: Ey senja
last update Last Updated: 2025-10-23 10:43:29

Api itu datang tanpa peringatan. Hanya ada bau kayu terbakar yang samar ketika aku baru saja menuruni tangga batu di ujung timur kota Lirona. Hujan berhenti sejak sore, menyisakan udara yang pekat dan langit berwarna abu-abu tua. Tapi kini, cahaya oranye mulai menembus kabut tipis—dan aku tahu, itu bukan cahaya senja. Itu nyala api.

Aku berlari, menembus jalan-jalan sempit di antara bangunan tua. Di ujung sana, tempat yang dulu menjadi bagian dari hidupku, berdiri perpustakaan kota yang kini dilalap api. Atapnya runtuh sebagian, kaca jendela meledak satu per satu, menghamburkan debu dan kertas yang terbakar. Orang-orang berteriak, sebagian berlari membawa ember, sebagian lagi hanya berdiri menatap tanpa daya.

“Padamkan! Cepat padamkan!” suara seorang lelaki paruh baya menggema di tengah kekacauan. Tapi air yang mereka siram hanya menimbulkan desis pelan di pinggiran kobaran, sementara api terus melahap isi bangunan.

Aku terpaku. Di tengah hiruk pikuk itu, langkahku berhenti. Seolah tubuhku menolak untuk maju, tapi pikiranku menolak untuk diam. Aku mengenali setiap bagian dari bangunan itu—pintu kayu besar, jendela lengkung, bahkan papan nama kecil bertuliskan “Perpustakaan Umum Lirona” yang kini separuhnya hangus.

Tempat itu dulu adalah rumah keduaku. Tempat aku pertama kali bertemu dengan dia.

“Tidak mungkin…” bisikku. Suaraku tenggelam oleh raungan api.

Di tengah kepanikan, seseorang menarik lenganku. “Nona! Bahaya, menjauh!” Aku menoleh dan mendapati seorang petugas pemadam dengan wajah hitam oleh asap.

“Tolong… ada orang di dalam!”

“Tidak mungkin! Semua sudah dievakuasi!”

“Tidak!” aku menepis tangannya, memaksa mendekat. “Aku tahu dia di sana! Aku tahu!”

Entah dari mana keberanianku datang, aku menerobos barisan warga yang mencoba menahan. Panas menerpa wajahku, tapi langkahku tak berhenti sampai aku mencapai pintu utama. Dari celah di bawahnya, asap hitam tebal merayap keluar, seolah mencoba mengusir siapa pun yang ingin masuk.

Aku menunduk, menatap ke dalam dari sela kayu yang retak. Di balik gelap, samar-samar aku melihat sesuatu—bayangan seseorang berdiri di antara jilatan api, menghadap rak buku yang masih bertahan.

“Rian…”

Nama itu lolos begitu saja dari bibirku.

Dia berdiri di sana, atau setidaknya aku pikir itu dia. Tubuh tinggi dengan bahu sedikit membungkuk, seolah sedang membaca sesuatu. Aku tahu itu gila, tapi penglihatan itu terlalu jelas untuk disebut ilusi.

Aku mendobrak pintu, tapi api menyambutku dengan panas yang menyesakkan. Asap menyeruak ke paru-paruku. Batukku menggema, tapi langkahku tetap masuk.

“Rian! Di mana kamu?!”

Tak ada jawaban. Hanya suara kayu retak dan desis api yang melahap rak buku. Aku berlari ke sisi ruangan yang dulu menjadi tempat favoritnya—pojok di mana kami sering duduk diam di bawah lampu tua. Tapi tempat itu kini hanya tumpukan abu dan puing.

Di lantai, aku melihat sesuatu berkilau. Sebuah liontin perak, hangus sebagian. Aku mengenalinya. Itu miliknya.

Tanganku gemetar saat meraihnya. Air mataku jatuh tanpa izin, bercampur debu dan asap. “Kau di sini… kau benar-benar di sini.”

Lalu tiba-tiba, suara keras mengguncang seluruh ruangan—balok kayu besar di langit-langit ambruk. Aku terjatuh, dan seketika pandanganku gelap.

Ketika aku sadar, dunia terasa berwarna merah. Api masih berkobar, tapi lebih jauh. Udara pengap dan penuh jelaga. Aku berusaha bangkit, tapi kakiku terjepit puing kayu.

“Tolooong!” suaraku parau. Tak ada jawaban. Suara orang-orang di luar terdengar jauh.

Aku menarik napas pendek, mencoba menenangkan diri. “Tenang, Nara… tenang…” Tapi dalam hati, aku tahu tak ada ketenangan di tempat seperti ini. Aku hanya bisa memandangi langit-langit yang runtuh perlahan, sementara panas semakin mendekat.

Lalu di tengah asap, aku melihatnya lagi. Siluet itu—berdiri di antara api, menatapku tanpa ekspresi. Matanya seperti bara, tapi suaranya lembut, seperti dulu.

“Kau kembali,” katanya pelan. “Kau selalu kembali ke tempat yang seharusnya kau tinggalkan.”

Aku ingin menjawab, tapi tak ada suara keluar dari tenggorokanku. Air mata mengalir tanpa kusadari. “Kenapa kamu di sini?” bisikku akhirnya.

Dia tersenyum, samar di balik asap. “Karena sebagian dari kita tak pernah benar-benar pergi.”

Api merayap ke arahku, membakar rak buku di sampingku. Aku berusaha menarik kakiku, tapi terlalu berat. Panas menyengat kulitku. Aku menunduk, menutup wajah, dan berdoa agar keajaiban terjadi.

Suara ledakan kecil terdengar, lalu seketika cahaya terang memudar. Hanya asap, dan gelap.

Ketika aku membuka mata lagi, aku sudah di luar. Seseorang menarikku keluar—lelaki muda dengan seragam petugas pemadam. Napasku terengah, dan aku menatap ke arah perpustakaan yang kini hanya tinggal rangka hitam.

“Kau gila, Nona,” katanya dengan nada setengah marah, setengah lega. “Kau hampir mati di sana!”

“Ada orang di dalam,” kataku cepat.

“Tidak ada siapa-siapa! Kami sudah periksa semuanya.”

“Tapi aku melihat dia! Aku melihat Rian!”

Petugas itu menatapku lama, lalu menggeleng. “Nama itu… sudah disebut orang banyak. Tapi Nona, lelaki bernama Rian itu sudah meninggal tiga tahun lalu, saat kebakaran pertama di gedung ini.”

Aku terdiam. Suara di sekitarku menghilang.

“Tiga tahun lalu?” suaraku nyaris tak keluar.

“Ya,” katanya pelan. “Dan kebakaran hari ini… entah kenapa, dimulai dari tempat yang sama. Pojok ruangan tempat kebakaran dulu.”

Aku menatap kembali ke bangunan itu, ke arah jendela di mana aku tadi melihat sosoknya. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya asap yang berputar seperti kabut, menari di antara reruntuhan.

Petugas itu menepuk bahuku sebelum pergi. “Pulanglah, Nona. Kau beruntung masih hidup.”

Aku hanya berdiri di sana, memandangi abu yang terbang di udara seperti salju hitam. Lalu aku membuka genggaman tanganku—liontin perak itu masih di sana. Hangus, tapi utuh.

Aku membuka penutupnya. Di dalamnya, ada foto kecil kami berdua—aku dan Rian, duduk di pojok perpustakaan dengan senyum muda yang dulu kurasa takkan pernah pudar.

Aku menangis tanpa suara. Dunia seolah berhenti, hanya suara hujan tipis yang mulai turun lagi.

Tetesan hujan jatuh di abu, menciptakan aroma basah yang anehnya menenangkan. Dan di tengah itu semua, aku merasa sesuatu—entah kenangan, atau roh yang tersisa—menyentuh lembut pipiku.

Samar, suara itu kembali terdengar. “Beberapa kenangan, Nara, memang harus terbakar… agar kau bisa hidup kembali.”

Aku menatap langit yang gelap. Api telah padam, tapi di dadaku, sesuatu yang lain baru saja menyala.

Malam itu, aku meninggalkan perpustakaan yang kini tinggal puing. Di belakangku, sirene padam perlahan, dan di depanku, jalan basah Lirona menunggu dalam diam. Tapi untuk pertama kalinya sejak aku tiba di kota ini, aku merasa bukan hujan yang menahanku—melainkan masa lalu yang belum selesai.

Aku tahu, setelah ini semuanya akan berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 52 Langkah yang Tertinggal di Belakang Bayangan

    Senja belum benar-benar turun ketika Aira menyadari bahwa jarak antara dirinya dan Rendra bukan lagi soal ruang, melainkan soal keberanian untuk menatap apa yang tersisa dari masa lalu yang berjalan sendirian. Mereka telah melewati retakan dunia, menyeberangi lorong yang memantulkan suara mereka sendiri, dan kini kota kembali menyambut dengan keheningan yang tidak sepenuhnya mereka kenali.Rendra berdiri beberapa langkah di depan Aira, menatap bayangan panjang yang membelah jalan kecil itu. Bayangan dirinya, tapi terasa seperti milik orang lain. Aira melihatnya pelan, merasakan sesuatu mengalir di dalam dada: rasa kehilangan yang aneh, seperti ada langkah yang tertinggal jauh di belakang, menunggu dipanggil pulang.“Rendra,” ucap Aira lirih.Laki-laki itu menoleh. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang seperti setengah cahaya dan setengah luka. “Bayanganku bergerak lebih dulu dari aku, Aira. Seolah dia tahu sesuatu yang belum kuberi izin untuk kuingat.”Aira mendekat,

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 51 Satu Dunia Lagi yang Menyebut Namamu

    Angin malam menyelinap masuk lewat celah jendela sempit di rumah tua itu, membawa aroma hujan yang baru saja reda, aroma tanah basah, dan sesuatu yang lebih halus—seperti jejak langkah seseorang yang pernah lewat di antara dua dunia dan kini kembali mencari pintunya.Aira berdiri mematung di tengah ruangan, masih merasakan getaran lembut yang tertinggal dari pertemuannya dengan Bayangan Kecil itu, suara lirih yang menyebut namanya, dan kenyataan pahit bahwa dunia yang ia tinggali mungkin bukan lagi satu-satunya tempat yang memanggilnya.Di sampingnya, Rendra—atau sosok yang menyerupai Rendra, yang memudar dan mengeras seperti kabut hitam di tepi cahaya—diam.Diam, tapi terasa seperti seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan.“Rendra…” suara Aira pecah pelan.“Dunia apa yang baru saja aku lihat…? Itu… itu dunia milik siapa?”Bayangan Rendra hanya bergerak sedikit, seolah menimbang-nimbang apakah ia masih pantas menjawab,

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 50 Senandung yang Dilahirkan dari Retakan

    Hujan turun tanpa suara malam itu—bukan rintik yang menimpa kaca, bukan gemuruh yang memecah langit—melainkan semacam kabut tipis yang jatuh dari tempat yang tidak jelas, mungkin dari celah antara dua dunia yang masih enggan menyatu. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan ikut menjadi bayangan yang dilupakan oleh jalanan.Langkahnya menelusuri lorong kecil yang dulu tidak pernah ada di peta. Lorong itu seperti terbuat dari waktu yang retak: dindingnya memudar, lantainya berkilau basah, tapi cahaya yang jatuh di sanalah yang membuatnya justru tampak tidak nyata.“Mengapa kau membawaku ke sini lagi?” bisik Aira pada udara yang dingin.Tidak ada jawaban.Namun udara berubah.Dari retakan di dinding—yang semula hanya garis tipis seperti guratan yang dibuat anak kecil—tiba-tiba muncul cahaya lembut, seperti napas seseorang yang pernah ia kenal, tetapi sudah lama hilang. Cahaya itu membesar sedikit, lalu terbelah, dan perlahan-lahan menjadi sebuah bentuk.Siluet k

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 49 Lorong Tempat Nama Kita Pernah Dipanggil

    Aira selalu tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar kembali sejak malam ketika kota itu terpecah menjadi dua dunia. Sejak ia melihat dirinya sendiri berdiri di balik retakan waktu—sejak ia mendengar suara yang seharusnya miliknya sendiri tetapi datang dari tempat yang tidak bisa dijangkau oleh kaki manusia. Semuanya seperti gema yang terlalu jauh, tapi terlalu akrab untuk diabaikan.Malam itu, hujan turun lembut di luar gedung arsip yang sudah lama ditinggalkan. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan mengingat luka-luka yang tidak tertulis. Rendra mengikutinya dari belakang, langkahnya seperti bayangan yang menolak hilang. Ia memperhatikan Aira yang tampak rapuh, seolah setiap tetes hujan adalah pengingat dari masa yang tak selesai.“Aira,” panggil Rendra pelan. “Kau yakin ingin masuk ke ruangan itu lagi?”Aira tidak menjawab. Ia hanya meletakkan tangannya pada gagang pintu besi yang berkarat. Udara di sekelilingnya berubah, seperti ada sesuatu

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 48 Langkah yang Tersisa di Antara Dua Bayangan

    Hening selalu datang lebih cepat di kota yang tidak tahu jam. Di Lirona yang retak ini, cahaya lampu jalan merembes seperti air yang kehilangan tempat pulang. Dan Aira… berjalan di tengahnya, di antara dingin yang tidak pernah mengaku berasal dari hujan.Setelah percakapan aneh dengan sosok dirinya yang lain—Aira yang tinggal di retakan dunia—kakinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Seolah setiap langkah menyimpan gema dari seseorang yang mengikutinya, tapi tidak sepenuhnya hadir.Ia berhenti di sebuah persimpangan yang tampak sama seperti puluhan persimpangan lain di kota ini, namun entah mengapa… tempat itu terasa mengenal namanya.“Aku pernah berdiri di sini,” gumamnya pelan.Tapi kapan? Bersama siapa?Tidak ada jawaban yang datang dengan pasti. Hanya bayangan samar yang berlari di pinggir ingatannya, seperti siluet yang setengah basah oleh hujan.Angin malam bergerak pelan, membawa suara yang tidak seharusnya ada—lirih, patah, seperti ucapan seseorang

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 47 Percakapan di Tetapkan Dunia

    Retakan itu bukanlah sebuah garis. Ia lebih mirip napas yang tertahan terlalu lama, lalu pecah menjadi cahaya yang menghanguskan batas antara yang nyata dan yang pernah ada. Aira berdiri di tengahnya—atau tepatnya, di antara dua dirinya. Di satu sisi, Aira yang selama ini berjalan mencari jawaban. Di sisi lain, Aira yang memandangi dunia dengan mata yang seperti menyimpan seluruh hujan yang pernah jatuh di Kota Tanpa Nama.Cahaya di sekitar mereka berdenyut pelan, seperti denyut jantung bumi yang tersesat. Langit menggantung rendah, membentuk cekungan seperti mangkuk kusam yang menampung bisikan-bisikan yang tak pernah selesai diucapkan. Waktu tidak bergerak. Hanya bayangan yang saling menatap, menunggu mana dari keduanya yang berani membuka kalimat pertama.Aira yang datang dari perjalanan panjang menelan udara dengan hati-hati. “Jadi… kau adalah aku,” katanya, tidak bertanya, tapi membiarkan kata-kata itu jatuh seperti batu kecil ke kolam sunyi.Aira yang lain—yang bay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status