SETELAH meletakkan tas di kamar penginapan, Farah muncul kembali di resort untuk menunggu kehadiran fasilitator yang dikatakan terlambat sedikit karena sedang mengurus sesuatu di tepi pantai.
Suasana di aula utama resort Pulau Jeju riuh dengan suara peserta yang saling berkenalan. Namun, Farah hanya memandang kegiatan itu dengan rasa bosan. Sesekali, dia membetulkan rambutnya yang diikat rapi. Dari raut wajahnya, jelas terlihat bahwa dia sama sekali tidak tertarik untuk berbicara dengan siapa pun. Setelah hampir dua puluh menit menunggu, akhirnya seorang pria membawa map masuk ke ruangan resort untuk bertemu dengan para peserta program. Berbeda dengan Hongjoong, dia terlihat lebih santai dan tenang saat berdiri bersama beberapa rekannya sambil berbincang akrab. Sesekali, matanya melirik ke arah Farah yang sedang menatap tajam ke arahnya. Melihat tatapan Farah seperti itu, senyuman muncul di bibirnya. Dengan perlahan, Hongjoong mendekati Farah dan berdiri di sisinya. Sama sekali tidak peduli dengan tatapan mata orang-orang di sekitar, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua saat itu. "Kelihatannya kau sudah siap untuk berperang denganku, ya?" ucap Hongjoong dengan senyum lebar. "Memang! Kalau bisa, sekarang juga aku ingin mengalahkanmu, Tuan Hongjoong." Farah sengaja menjawab dengan nada menyindir, masih merasa kesal dengan kejadian di luar resort tadi. "Wow... santai saja. Meski semangatmu sedang berkobar untuk memenangkan perang di antara kita, kau tetap tidak akan bisa mengalahkanku." Kali ini, Hongjoong tersenyum bangga. Dia benar-benar yakin dengan ucapannya barusan. "Kita lihat saja nanti, Tuan Hongjoong!" Nada Farah terdengar tertahan. Tangannya mengepal, wajahnya berkerut. Dia tidak sabar menunggu fasilitator datang karena sudah sangat bersemangat untuk mengalahkan pria itu dalam setiap aktivitas yang berlangsung selama tiga hari ini! Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian kasual dengan membawa map di tangannya terlihat melangkah naik ke panggung. Mikrofon di tangannya mengeluarkan suara statis sebelum dia mulai berbicara dengan penuh semangat. "Selamat siang semuanya! Saya Kim Jungmyeon, fasilitator untuk program team-building ini. Mohon maaf karena terlambat untuk sesi siang ini. Saya harap semua peserta sudah makan dengan kenyang sebelum kita memulai tantangan ini." "Baiklah, untuk aktivitas pertama ini kita membutuhkan kerja sama, komunikasi, dan sedikit strategi," lanjut Jungmyeon lagi. Farah langsung memasang telinga. Sementara itu, Hongjoong menyilangkan tangan di belakang Farah, wajahnya penuh percaya diri. Dia bahkan tidak sabar untuk memulai tantangan tersebut. "Tantangan pertama kita adalah Survival Challenge. Kalian semua akan dibagi ke dalam kelompok kecil dan diberi tugas untuk membangun rakit menggunakan bahan-bahan yang sudah kami sediakan. Kelompok yang berhasil menyelesaikan rakit paling stabil dan cepat akan menjadi pemenang!" Farah hampir tersedak mendengar penjelasan Jungmyeon. Matanya melebar sesaat, menunjukkan rasa tidak puas dengan apa yang baru saja ia dengar. Rakit? Dalam pikiranku ini adalah pekerjaan korporat, bukan kem bina diri! Aduh... hancurlah aku seperti ini. Farah mengomel dalam hati. "Tapi sebelum kita mulai tantangan pertama ini, kalian semua akan dibagi kelompok secara acak!" Semua peserta pun sabar menunggu nama-nama mereka diumumkan untuk dibagi ke dalam kelompok yang telah ditentukan oleh Jungmyeon. Beberapa menit kemudian, daftar kelompok mulai diumumkan. Farah hampir tidak percaya saat namanya dipasangkan dengan seseorang yang paling tidak ingin dia ajak bekerja sama dalam semua aktivitas yang akan berlangsung. "Kim Hongjoong?" Farah berseru dengan suara keras. Matanya langsung memandang Jungmyeon dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. Rasanya telinganya panas ketika mendengar nama pria itu menjadi pasangan kelompoknya! Jungmyeon tidak tahu apa yang membuat Farah begitu terkejut, tetapi melihat reaksinya, dia hanya tersenyum sebelum berbicara. "Ya, benar. Anda dan Tuan Kim Hongjoong akan menjadi satu tim. Ingat, ini adalah tentang kerja sama." Hongjoong yang berdiri di sampingnya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum lebar. "Lihat, Farah. Mungkin takdir memang menginginkan kita berdamai dengan cara baik." Farah mendengus kesal. "Takdir apa! Takdir ke neraka, Tuan Hongjoong!" Farah menggerutu sebelum melirik tajam ke arah pria itu dengan penuh kebencian. "Pak Jungmyeon, bisakah saya ganti pasangan? Saya tidak mau satu tim dengan Kim Hongjoong." Farah mencoba meminta pertukaran. Kalau bisa, dia sama sekali tidak ingin bekerja sama dengan pria itu. Apalah nasibnya hari ini? Sudah ditinggalkan di tepi dermaga, harus membayar ongkos Uber yang mahal, sekarang malah dipasangkan dengan orang yang paling dia benci! "Maaf, Nona, tidak bisa. Semua daftar sudah dipasangkan sesuai dengan kelompok masing-masing. Saya harap Anda bisa bekerja sama dengan baik karena saya tidak ingin aktivitas kita terganggu," jawab Jungmyeon dengan santai. Farah membelalakkan mata, amboi-amboi, mulut Jungmyeon ini ternyata cukup tajam juga! Apakah dia sedang mengatakan bahwa permintaannya itu mengganggu aktivitas mereka? "Kamu jangan khawatir, aku akan melakukan pekerjaan yang berat. Kamu hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan," tambah Hongjoong dengan nada santai, sengaja menyiram minyak ke api amarah Farah. Farah memandangnya tajam. Rahangnya mengeras, kalau mengikuti emosi, rasanya ingin sekali dia melayangkan tinju ke wajah pria itu. "Dengar baik-baik, aku tidak akan mengikuti perintah siapa pun, apalagi dari mulutmu!" Setelah mengatakan itu, Farah memalingkan wajah ke arah lain, kedua tangannya memeluk tubuh dengan erat. Nafasnya naik turun tidak karuan, darahnya terasa mendidih. Sakit hatinya semakin menjadi karena perkataan Jungmyeon dan tambahan provokasi dari Hongjoong tadi. "Baiklah, saya harap tidak ada masalah dan kita bisa memulai tantangan ini." Farah hanya mendengus kecil, sementara Hongjoong mengangguk tanpa ingin memperpanjang perdebatan dengan gadis itu. SETEAH tiba di Pantai Woljeong, sebuah pantai yang terkenal dengan pasir putih bersihnya, Farah terpesona sejenak. Keindahan alam di depannya begitu nyata, tidak ada tandingannya. Pelan-pelan, dia menuruni tangga sambil matanya terpaku pada lautan biru nan jernih. Sebelum melangkah lebih jauh ke tepi pantai, Farah mengeluarkan ponsel dan mulai merekam keindahan itu melalui kamera. "Sudah-sudahlah itu, Nona Farah... jangan sampai karena Anda, aktivitas pertama kita tertunda," tegur Hongjoong yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Farah menoleh, tidak sadar kapan pria itu berada di dekatnya. Tanpa banyak bicara, dia mempercepat langkahnya menuruni tangga untuk menghampiri Shina, yang sudah berada di tepi pantai. Bahan-bahan untuk membangun rakit sudah tersedia di sana: bambu, tali, dan drum plastik yang berserakan di atas pasir. Farah menyimpan kembali ponselnya dan memandang bahan-bahan itu dengan ekspresi ragu. "Baiklah, tantangan pertama kita dimulai sekarang!" teriak Jungmyeon melalui pengeras suara kecil di tangannya. "Oke, kita butuh rencana. Aku pikir kita harus mengikat tiga batang bambu seperti ini, lalu drum plastik itu—" Farah mulai memberi arahan, tetapi Hongjoong memotongnya. "Kalau mau bikin rakit, biar aku yang rancang. Aku pernah bikin seperti ini waktu ikut kem universitas dulu," kata Hongjoong sambil mengambil tali dari tangan Farah. "Kem universitas? Anda pikir ini masih zaman kuliah? Ini tantangan profesional, tahu!" balas Farah dengan nada tinggi. Pertengkaran mereka menarik perhatian peserta lain. Dino, rekan Hongjoong yang berada di kelompok lain, berseru dari jauh, "Hei, kalian bikin rakit, bukan drama!" Farah mengetap bibir, akhirnya menyerah untuk sementara waktu. "Baiklah. Buat saja sesukamu. Kalau rakit ini tenggelam, jangan salahkan aku!" Hongjoong hanya diam dan mulai bekerja sendiri. Dia tahu memberi arahan kepada Farah hanya akan memicu perdebatan lebih lanjut. Dalam waktu tiga puluh menit, rakit mereka selesai. Farah hanya mengamati dari jauh, menjadi pengamat pasif sepanjang waktu. Cepat sekali dia menyelesaikannya... pikir Farah dalam hati. "Tada... sudah selesai," kata Hongjoong dengan bangga, kedua tangannya bertolak pinggang. Dia melirik kelompok lain yang masih berjuang menyelesaikan rakit mereka. Farah, yang menatap rakit itu dengan skeptis, bertanya, "Kamu yakin rakit ini tidak akan tenggelam di tengah laut nanti?" Hongjoong tersenyum sinis. "Kalau kamu naik pun, aku yakin rakit ini bisa bertahan." Mata Farah membesar. "Kamu bilang aku berat, ya?" Hongjoong tertawa kecil. "Aku tidak bilang. Kamu yang merasa begitu." Sebelum Farah sempat membalas, Jungmyeon memberikan instruksi untuk menguji rakit di laut. Mereka berdua mendorong rakit itu ke air dan naik dengan hati-hati. Pada awalnya, rakit itu stabil. Namun, beberapa detik kemudian... "Eh, Hongjoong... rakit ini... kenapa rasanya seperti mau—" kata Farah dengan cemas. SPLASH! Suara mereka terjatuh ke air terdengar keras. Rakit mereka terbalik. Farah, yang tidak bisa berenang, terbatuk-batuk sambil mencoba mengapung. Untung saja mereka sudah mengenakan jaket pelampung. Kalau tidak, mungkin ceritanya akan berbeda. Bajunya basah kuyup, rambutnya lepek, dan dia merasa sangat malu. Sementara itu, Hongjoong yang juga basah kuyup menahan tawa. Melihat ekspresi Farah yang lucu membuatnya semakin geli. "Kamu bilang apa tadi? Tantangan profesional?" goda Hongjoong sambil tersenyum. Farah menggigit bibir, wajahnya memerah karena malu. "Tunggu saja malam nanti! Aku pastikan kamu tidur dengan bantal basah!" ancam Farah dengan kesal. Peserta lain di pantai tertawa melihat insiden itu. Meskipun memalukan, Farah tahu ini baru permulaan dari tiga hari yang penuh dengan tantangan dan perang emosional.Langkah kaki menuruni sebuah taksi.Suasana di Itaewon terasa sedikit berbeda bagi Farah hari ini karena ia datang ke sini dengan satu tujuan saja. Sudah lama sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di sebuah bangunan berwarna putih dengan tangga di depannya seperti yang ada di hadapannya sekarang.Tampak banyak orang keluar-masuk dari bangunan itu, ada juga yang sedang duduk-duduk di bagian anak tangga. Jantung Farah berdebar saat melihat situasi yang terasa begitu asing baginya kini.Ia menarik napas sedalam mungkin sebelum melangkah mendekati tangga berwarna putih itu. Kebanyakan orang di sekitar tidak memperdulikan kehadirannya yang sedang menaiki anak tangga satu per satu. Tapi entah kenapa, ia merasa jantungnya memompa darah begitu cepat hingga rasa gugup mulai menguasai dirinya.Ia panik! Tapi ia mencoba menahan perasaan itu. Meski tangga itu tidak setinggi tangga di Batu Caves, Kuala Lumpur, yang harus dipanjat hingga ke puncak, tapi Farah merasa langkahnya sangat lambat dan
Hari terasa begitu lambat berlalu, meskipun sekilas melihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul enam petang.Enam petang di Korea Selatan tidak sama dengan waktu di Malaysia. Jika di tanah airnya, saat itu masih terlihat cahaya jingga di luar sana, tetapi di Korea, warna jingga sudah terganti dengan gelapnya senja.Farah merasa tidak nyaman ketika diperhatikan oleh Nyonya Hongju. Sejak tadi, wanita bergaya kebaratan itu tidak mengucapkan sepatah kata pun selama mereka berada di meja makan.Hongjoong juga tidak betah dengan situasi tersebut. Selera makannya sudah hilang sejak awal.“Hmm... kenapa kamu memilih perempuan ini?” tiba-tiba Nyonya Hongju bertanya sambil mengangkat gelas berisi minuman anggur.Farah menoleh ke arah Hongjoong di sampingnya. Dalam hatinya turut timbul rasa ingin tahu — kenapa lelaki itu memilih dirinya untuk menjadi pasangan palsu di depan wanita itu?Misteri dan pertanyaan itu masih belum terjawab dalam
Sebuah rumah banglo yang memadukan ukiran klasik dan sentuhan modern menyambut pandangan dari kejauhan. Hanya rumah itulah yang berhasil menarik perhatian Farah ketika mobil perlahan-lahan mendekati gerbang yang masih tertutup rapat.Jantung Farah berdetak semakin kencang saat mobil yang dipandu Hongjoong berhenti di depan pagar, menunggu penjaga membukakan pintu untuk mereka.Tangannya spontan meraih sabuk pengaman sambil menengok-nengok ke luar jendela. Keresahan mulai menyesakkan dada. Bagaimana rupa dan sikap Nyonya Hongju? Farah benar-benar tidak tahu. Selama bekerja di Radiance Marketing, belum pernah sekalipun dia bertemu atau bahkan berselisih jalan dengan wanita itu.Yang sering dia lihat hanyalah Taejoong dan Hongjoong. Tuan Besar Kim pun hanya beberapa kali muncul, itu pun saat pemilik perusahaan itu datang sekadar ingin menikmati suasana kantor yang katanya sangat ia rindukan. Itulah satu-satunya informasi yang dimiliki Farah tentang keluarga H
Akhir pekan yang tidak dinantikan akhirnya tiba juga.Kalau bisa, Farah ingin hari ini cepat-cepat berlalu agar dia tak perlu menghadapi seorang pria yang sejak tadi malam terus terbayang di pikirannya.Untuk pertama kalinya dalam "pertempuran" mereka, pria itu bersedia mengalah dan membiarkan Farah menang dalam persaingan mereka untuk hari-hari mendatang—dengan syarat dia harus setuju pada kontrak yang sudah dibacanya berulang kali!Hatinya bimbang dengan setiap syarat yang tertulis di atas kertas putih itu. Terlalu banyak hal yang harus diakuinya—Hongjoong terlalu teliti dalam setiap permintaannya.Sebagai seorang gadis yang tinggal di negara asing, dia sebenarnya tidak terlalu terdesak untuk menikah, meskipun kesepian sering kali terasa dalam menjalani hidup di negeri orang.Sejak menginjakkan kaki di Korea Selatan, dia sudah terbiasa dengan berbagai macam perangai manusia. Ada yang menusuk dari belakang, ada yang bermusuhan dengannya. Ada pula yang suka membully, bahkan ada saja p
"FARAH..." Shina menyentuh-nyentuh tangan Farah dengan lembut. Dia tahu, seharusnya dia tidak ikut campur dalam urusan gadis itu. Tapi, hatinya benar-benar dipenuhi rasa ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi.Kontrak pernikahan yang dia lihat tadi pagi. Benarkah Farah dan Hongjoong akan menikah? Bukankah mereka musuhan? Muslihat dan rencana apa yang sedang mereka susun bersama?Farah yang sedang menunduk menatap meja makan di kafetaria perusahaan mereka perlahan-lahan mengangkat kepala.“Kamu baik-baik saja?” Lain yang ingin dia tanyakan, lain pula yang keluar dari mulutnya saat melihat wajah Farah yang tampak linglung.“Entahlah, Shina… Kepalaku kacau. Nggak bisa fokus kerja. Semua gara-gara laki-laki nggak berguna itu.” Ucapan Farah terdengar pelan di akhir kalimat, dan Shina langsung paham siapa yang dimaksud oleh gadis itu.“Aku masih nggak ngerti…” Shina mencoba membuka pembicaraan sambil menyeruput minuman jeruk segarnya.“Kalau kamu nggak ngerti, aku lebih nggak ngerti!” N
DUA hari telah berlalu, kesehatan Farah sudah pulih dan hari ini dia sangat bersemangat untuk kembali bekerja seperti biasa. Setelah selesai membersihkan diri dengan air hangat, terlintas di hatinya untuk merias sedikit wajahnya dengan lipstik yang sudah lama dibeli namun jarang sekali dipakai di bibirnya.Maklumlah, dia memang tidak suka merias wajah terlalu tebal. Cukup dengan cushion dan lip balm saja. Padahal, di negara metropolitan ini terkenal dengan berbagai produk skincare dan kecantikan wajah. Farah berbeda, dia tidak tertarik dengan semua itu. Bahkan, jika wanita lain suka berbelanja dan shopping sepuasnya, dia lebih senang menonton film atau hanya diam di rumah. Gaji yang diperoleh lebih banyak disimpan dan digunakan hanya saat diperlukan.Padahal sebenarnya dia bisa saja menggunakan uang yang dimilikinya untuk berbelanja karena dia tidak punya keluarga, tidak punya saudara kandung. Dia hanya perlu menanggung dirinya sendiri saja. Namun, sikap hemat itu sudah tertanam dalam