Share

From Mecca With Love
From Mecca With Love
Penulis: Asifa Nurlaila

Satu

Apa yang paling menyedihkan di dunia ini? Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu atau mengetahui kenyataan bahwa orang yang kau cintai mencintai gadis lain? Bagaimana jika aku mengalami keduanya?

*

Suasana haru dan canda tawa meramaikan hampir di setiap penjuru kampus, beberapa mahasiswa tingkat akhir yang telah selesai melaksanakan sidang sibuk berfoto dan saling mengucapkan selamat. Terdapat seorang gadis berkerudung panjang abu-abu yang justru hanya duduk termangu sambil gelisah melihat jam di tangannya. Sekilas matanya melihat langit yang memancarkan cahaya siang yang cukup terik. Air minum di botolnya pun sudah habis. Sudah hampir setengah jam dia hanya duduk dan bergelut dengan pikirannya.

"Di mana Kak Nay, kok belum datang juga?" Ia tampak berbicara sendiri, berpikir mana mungkin kakaknya lupa. Padahal hari ini adalah hari bersejarah baginya, dia lulus sidang, tentu saja mendapat banyak apresiasi dari dosen-dosennya. Dia ingin cepat pulang dan berbagi kebahagiaan dengan keluarga kecilnya.

"Akira, saya ucapkan selamat atas kelulusanmu." Akira Elfaruq, gadis bermanik coklat itu dihampiri seorang pria berkemeja putih, seorang dosen yang sangat dihormati di Jurusan Ilmu Sejarah, jurusan yang Akira ambil semasa kuliah.

"Terima kasih, Pak Mahesh." Akira berdiri dan mengatupkan kedua tangannya sambil mengangguk tak lupa dengan senyum simpul di wajahnya.

"Akira, kamu sendiri saja? Yang lainnya sedang asyik merayakan, kamu duduk saja di sini?"

"Hm. Apa yang harus saya rayakan, Pak, ketika saya berada di gerbang tantangan berikutnya?" Jawab Akira masih dengan senyum tipisnya bersamaan dengan matanya yang tajam.

"Hm yaa tapi kamu pantas merayakannya, kamu menjawab pertanyaan penguji dengan sangat brilliant seperti biasanya."

"Semuanya hanya karena Allah yang Mahamenggerakkan, Dia-lah yang menggerakkan otak saya untuk berpikir, menggerakkan bibir saya untuk berbicara, menggerakkan tangan saya untuk menulis, saya tidak bisa apa-apa dan bukan siapa-siapa tanpa kasih sayang-Nya, Pak."

"Yaa kamu benar. Dari dulu kamu memang selalu membuat saya harus berpikir keras dengan jawaban-jawabanmu." Keduanya tampak tertawa dengan pujian yang dilontarkan dosen bernama lengkap Mahesh Athar itu, "Baiklah, segera pulang banggakan ayahmu."

"Siap, Pak. Terima kasih." Akira sedikit mengerutkan keningnya, dan tersenyum. Mahesh Athar berjalan membelakangi Akira setelah selesai berbicara dengannya. Dari kejauhan terlihat motor matic berwarna hitam, dikendarai seorang perempuan berkerudung biru muda, semakin dekat, dan terlihatlah paras cantiknya yang berkulit putih bersih.

"There you are." Sapa gadis itu sambil membuka helmet-nya dan tersenyum penuh rasa bersalah.

"There you are. Cepat sekali datangnya." Jawab Akira dengan nada sarkasme.

"I'm so sorry, Ra, tadi aku ada sedikit urusan, jadinya telat deh."

"It's ok.. "

"Owh You're the boss." Naisha menghibur dengan mencubit dagu adiknya itu.

Akira menunduk dan mengambil helmet, kemudian langsung saja ia naik motor kakaknya dan mereka bergegas untuk pulang.

Sepanjang perjalanan, gadis bernama Naisha Elfaruq ini hanya diam dan fokus mengendarai motor, sedang adiknya di belakang merasa ada yang aneh, biasanya ketika di perjalanan, kakaknya selalu bercerita tentang banyak hal. Namun kali ini Naisha hanya diam saja, tentu Akira berpikir ada yang salah dengan kakaknya. Akhirnya Akira memulai pembicaraan.

"Kak, kok diam aja? Kak Nay kenapa?"

Sebenarnya Akira bukan tipe orang yang mudah tertarik bertanya langsung tentang keadaan seseorang, karena dia sendiri pun seringkali sudah memahami bagaimana ekspresi yang orang lain tunjukkan. Akira tahu sebelum bertanya dan hal itulah yang terkadang membuatnya terkesan dingin atau sedikit bicara, karena baginya tidak ada salahnya dengan diam, dan dia hanya bicara ketika dia ingin dan dirasa perlu untuk berbicara. Tetapi hal itu tak berlaku jika menyangkut keluarga dan orang-orang yang menyayangi Akira, dia akan mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya dengan penuh rasa cinta nan tulus.

"Nothing, Ra, aku baik-baik aja kok, gimana sidangnya? Lancar?" Naisha menjawab singkat, dan segera mengalihkan topik pembicaraan. Akira paham, dan berpikir bahwa mungkin kakaknya sedang tidak ingin membahasnya, nanti setelah waktunya dia pasti bercerita.

"Aah, itu.. hm. Begitulah."

"Apanya yang begitu?"

"Ya begitu.."

"Akira!"

"Kakak!" Akira menggoda kakaknya. Kedekatan Akira dan Naisha memang tercermin dari tingkah laku mereka ketika sedang bersama. Akira semakin mengeratkan pelukannya dan mereka tertawa, dalam hati Akira berkata, aku rindu Ibu, Kak Nay.

Sekitar 15 menit kemudian, mereka sampai di rumah. Terlihat ada mobil matic putih, yang tak lain adalah mobil kakak mereka yaitu Riza Elfaruq. Setelah memarkirkan motornya, Naisha segera lari masuk ke dalam rumah, berbeda dengan Akira yang berjalan santai saja.

"Abaang... Assalamu'alaikum." Sapa Naisha sambil mencium tangan kakaknya, diikuti Akira.

"W*'alaikumsalaam..." Jawab Riza dan seorang pria paruh baya, Satya Elfaruq namanya, yang tetap fokus dengan sebuah buku di tangannya.

"Akira, bagaimana sidangnya?" Tanya Satya, yang matanya masih tertuju pada buku yang sedang dibacanya.

"Alhamdulillah lancar, Pa, dosen banyak yang bilang skripsiku patut dijadikan contoh, ada juga yang bilang harusnya aku sudah S2, lucu kan, Pa? Masak iya sampe segitunya. Hahaha." Akira tertawa dan tersenyum manis pada ayahnya.

"Syukurlah. Abang mah dulu boro-boro dipuji gitu, yang ada malah diledekin, 'ini skripsimu atau catatan harianmu? Sistematikanya gak bener, bla bla bla' Hahaha." Semuanya tertawa.

"Eh kamu nggak dapet bucket atau apa gitu yang biasanya anak-anak habis sidang kan suka saling ngasih yang kek gituan."

"Iya tuh. Aku juga dulu sama temen-temen saling tuker bunga, makanan,..." Naisha menambahkan.

"I really don't want to." Akira langsung menjawab sambil duduk di sebelah ayahnya.

"Ra, kamu tuh,"

"Kak Nay, karena dalam pikiranku merayakan hal-hal seperti itu tuh gak penting sama sekali."

"Huft.. Againnnn.." Naisha menjawab dengan kesal sambil mengunyah kudapan di tangannya.

"Bayangkan kita menghabiskan uang cuma buat hal-hal kek gitu, that's really wasting money and time."

"Exactly." Riza mendukung pendapat Akira dengan menahan tawanya.

"Yap, karena lebih baik kita gunakan uangnya untuk hal-hal yang lebih berguna, di luar sana banyak orang yang untuk makan saja kesulitan, sedang kita malah hura-hura untuk sesuatu yang.."

"Here we go." Naisha memotong pembicaraan Akira sambil berjalan ke arah dapur serta tak lupa dengan ekspresi eyesrolling-nya. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa sering sekali terjadi perdebatan karena perbedaan pendapat antara Akira dan Naisha saat membahas sesuatu, dan itulah yang membuat hubungan mereka justru semakin dekat.

"Cukup dengan bersyukur sebanyak-banyaknya. Am I right, Papa?" Akira memeluk ayahnya dari belakang, dan ayahnya mengangguk setuju dengan pendapat Akira.

Naisha mendapati kakak iparnya sedang menyiapkan makanan di dapur. Sandhya adalah istri Riza, mereka menikah satu tahun yang lalu. Sandhya dan Naisha memang sangat akrab, karena usia mereka yang tidak terpaut jauh, oleh karena itu mereka terlihat seperti layaknya sepasang sahabat. Sandhya juga sangat dekat dengan kedua adik iparnya, bisa dibilang Sandhya bagaikan tempat berkeluh kesah tiga orang anak yang ditinggalkan ibunya saat masih kecil, tepatnya saat melahirkan Akira.

Sebuah meja makan di tengah ruangan bergaya

tahun 1970-an

nan elegan, sudah tersaji berbagai macam makanan dan dikelilingi oleh lima orang yang tampak saling bercengkrama satu sama lain. Mereka bahagia, terlihat sempurna meskipun tak lengkap.

"Papa, ada yang ingin aku sampaikan."

"Ya, ada apa, Riz?" Semua yang ada di sana asyik menyantap makanan di piring mereka masing-masing.

"Sepertinya kasih sayangku akan terbagi dua." Riza menatap serius wajah istrinya, Sandhya. Semua orang langsung menghentikan aktivitas makan mereka dan memandang Riza dengan ekspresi penuh kebingungan.

"Maksudmu?" Satya bertanya dengan nada penasaran.

"Ya. Kasih sayangku akan terbagi, kasih sayang kalian semua, karena Sandhya sedang mengandung bayi kami, sudah lima minggu." Semuanya tampak kaget bercampur haru mendengar penjelasan Riza, dan tak lupa mengucap syukur atas kabar baik ini. Hari ini dua kebahagiaan menyelimuti keluarga kecil Satya Elfaruq, yang tak lama lagi akan memiliki cucu, anak dari Riza dan Sandhya.

"Barakallah... Alhamdulillah..." Semuanya mengucap syukur.

"Huft. Lebay banget sih kamu, Bang." Ucap Akira sambil tertawa.

"Waahhh... Asyik. Hehe... Kakak harus banyak istirahat dan melakukan aktivitas yang bagus untuk ibu hamil, nanti bisa konsul lah denganku. Hehe." Naisha menyarankan Sandhya untuk menjaga kandungannya dengan baik. Kebetulan, Naisha adalah seorang konselor khususnya di bidang parenting jadi dia ahli dalam menangani permasalahan-permasalahan parenting, mulai dari pra-kehamilan, ketika proses mengandung, sampai hal-hal penting dalam perkembangan anak serta cara orangtua untuk menyelesaikan berbagai hambatan dalam proses parenting.

"Betul, Sandhya, kamu harus sering-sering konsultasi dengan Naisha, dia sudah expert dalam bidang itu. Kamu juga Riza, jaga istrimu baik-baik. Papa tidak mau terjadi hal yang tak diinginkan." Satya menasihati anak dan menantunya untuk menjaga calon cucunya.

"Iya, Pa.. Terima kasih." Jawab Sandhya.

Naisha menoleh pada kakak iparnya, "Wah. Nanti nama debay*-nya aku cariin ya, Kak. Duh gak sabar pengen cepat-cepat dipanggil tante. Hihi."

"Cepet nikah dong, Nay! Hahaha." Riza ikut menimpali. Naisha menunjukkan ekspresia cemberutnya yang imut sambil tertawa. Tiba-tiba Akira menjawab, "Aku juga pengen dong,"

"Apa? Nikah? Hahaha." Riza menggoda adik bungsunya itu.

"Ih, bukan, ngasih nama buat debay-nya." Akira tak kalah ingin memberikan nama untuk calon keponakannya.

"Iya. Yang penting, ibunya harus sehat biar debay-nya juga sehat. Iya, kan?!" Riza mengelus perut Sandhya dengan penuh cinta. Semuanya tertawa melihat perlakuan Riza yang sangat memanjakan istrinya.

"Pa, Papa, dulu juga pasti memanjakan Mama, kan? Ayo dong, Pa, ceritakan waktu Mama hamil pertama dulu. Apalagi nih pas ngandung Kak Riza, Mama ngidam apaan sih sampe lahirin anak kayak dia?! Hahaha."

"Apa sih, Nay?! Justru aku yang penasaran, Mama dulu pas hamil kedua ngidam apaan sampe lahirin anak aneh kayak kamu! Haha."

"Pa, ayo dong ceritain! Kamu juga ingin tahu kan, Ra?" Naisha menggigit bibir bawahnya tak sengaja memulai pembicaraan mengenai almarhum ibunya. Di samping Naisha, Akira hanya menunduk kebingungan harus bersikap seperti apa. Ketika siapapun membahas tentang ibunya, Akira merasa dialah yang paling bersalah atas kematian ibunya, yang meninggal sesaat setelah melahirkan Akira.

Kejadian seperti ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, meskipun tak terlampau sering pula, dan terkadang berakhir dengan pertengkaran kecil antara Naisha dan Akira. Namun pada akhirnya mereka akan akur kembali seperti biasanya.

Setelah keadaan yang kaku ini, Akira menghentikan aktivitas makannya, dan bergegas menuju kamarnya. Melihat hal itu, Satya Elfaruq berdiri dan mengikuti Akira, namun Naisha mencegahnya, seakan berkata bahwa biar Naisha saja yang mengikutinya.

*debay=dede bayi

***                        

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status