Share

Ingatan Yang Menghantui

Aku sempat berpikir, dia laki-laki yang kaku bagaikan kanebo kering. Wajahnya datar seakan tak tahu bagaimana caranya tertawa. Dia cuek, terkadang juga mengesalkan. Namun, setelahnya aku mengerti mengapa dia sampai seperti itu.

(Soya)

***

Suasana menjadi sunyi di dalam mobil. Setelah kejadian tadi, Kai memutuskan untuk mengantar Soya pulang. Namun, tak ada suara dari satu pun orang yang berada di dalam mobil tersebut, baik itu Soya maupun Kai. Soya masih merasa gugup, takut, juga merinding. Telapak tangannya masih basah karena keringat dingin. Ia melirik Kai yang masih diam layaknya sebuah patung mahal. Yah ... Terlihat mahal karena ketampanan pria manis dengan tinggi badan mencapai 182 cm ini nyaris sempurna. Tanpa senyum saja ia terlihat bak seorang model internasional, tidak kebayang bagaimana tampannya dia ketika menampakkan senyum manis kepada Soya.

Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin melihat Kai tersenyum terhadapatnya. Yah ... Cukup tersenyum tanpa tertawa terbahak-bahak seperti bersama dengan kedua sahabatnya. Gadis itu yakin, Kai akan terlihat semakin manis bilang tersenyum dengan tulus. Hal ini juga didukung dengan bentuk bibirnya yang cukup sexy.

Soya mengingat-ingat kejadian tadi, di mana bosnya terlihat marah besar bahkan rela melawan dan memutar lengan seseorang hanya untuk membela karyawannya. Tersentuh hati wanita itu, ia merasa bersalah karena telah menilai atasannya buruk. Ingin rasanya Soya berterima kasih dan memberikannya hadiah, tapi apa yang harus dia berikan? Semuanya pasti Kai punya.

"Di mana rumahmu?" tanya Kai menyadarkan Soya dari lamunannya. Soya tampak berpikir, apakah dia harus memberitahu alamat rumahnya yang sesungguhnya?

"E ..., Saya turun di sini saja, Pak," jawab Soya. Kai melihat sekeliling jalan, terlihat sepi dan hanya terdapat tiga rumah kecil sedikit kumuh.

"Jangan berbohong! Tunjukkan rumahmu dengan benar," kecam Kai tak percaya.

"I- itu rumah saya, Pak. Jadi turunkan saja saya di sini," jawab Soya menunduk masih berbohong. Kai yang tahu sekretarisnya tak mau jujur pun menatap dengan tajam.

"Kalau bicara dengan atasan itu ditatap, jangan menunduk begitu." Dengan cepat Soya mendongak lalu membalas tatapan tajam bosnya dengan pandangan takut.

"Katakan, di mana rumahmu?" Soya masih diam membisu, lidahnya terasa kelu, sangat sulit untuknya berkata jujur. Ia hanya takut orang-orang tahu bahwa Soya sebenarnya anak orang kaya.

"Jawab yang jujur atau kupecat kau sekarang juga!" ancam Kai membuat Soya terpaksa menunjuk arah rumahnya.

"Be- belok kiri, Pak. Masuk perumahan jalan terus, sampai ada Gang kecil, di sampingnya ada rumah pagar besi cat coklat. Itu rumah saya," jawab Soya. Kai melanjutkan perjalanan dan mencari rumah yang dimaksud Soya. Mereka memasuki perumahan elit, di mana hanya orang-orang berada yang tinggal di daerah tersebut.

"Ini?" tanya Kai ketika sudah sampai di rumah mewah milik papa Soya. Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan pelan.

"Kamu anak orang kaya? Dilihat dari rumahmu, sepertinya orang tuamu seorang pengusaha, benar?" Lagi-lagi Soya mengangguk.

"Aneh, kalau orang tuamu seorang pengusaha, kenapa harus bekerja di tempat saya?" tanya Kai begitu penasaran.

"Saya mau mandiri, Pak. Sudah ya, Pak, saya pamit pulang. Terima kasih karena sudah mengantar saya. Permisi, Pak, selamat malam." Dengan cepat Soya ke luar dari mobil Kai, ia takut bosnya akan bertanya lebih dalam lagi.

"Karyawan kurang ajar! Belum juga selesai ngomong, udah main pergi aja," kesal Kai.

***

Pukul satu dini hari, sepasang kekasih sedang diam-diam bertemu di tepi sungai. Mereka sengaja bertemu di saat petang agar tak ada yang tahu bahwa mereka masih berhubungan. Sebuah cinta yang terbangun tanpa adanya restu dari kedua orang tua mereka. Semua terjadi karena konflik yang kedua anak itu saja tak memahaminya. Biarlah kedua orang tua mereka melakukan permusuhan yang tiada akhir, bagi mereka berdua, cinta tak dapat terhalang oleh apapun. Keindahan dalam cinta, ketulusan, kesetiaan, semua mampu menjadi kekuatan untuk menyatukan rasa yang abadi.

"Moa ...!" panggil Munjong tersenyum ketika melihat kekasihnya berdiri sendiri tampak menunggunya.

"Munjong?" ucap Moa berbalas senyum pula pada kekasihnya. Munjong melangkahkan kakinya mendekati Moa.

"Aku ada sesuatu untukmu," kata Munjong yang terlihat tangannya sedang menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.

"Apa itu?"

"Tutup dulu matamu!" perintah Munjong, dengan cepat Moa menutup kedua matanya karena sangat penasaran akan kejutan yang kekasihnya berikan. Perlahan Munjong menyentuh kepala gadis itu, lalu ia mengaitkan sesuatu yang cantik berbentuk bunga Kamboja. Moa membuka matanya sembari menyentuh hadiah Munjong.

"Jepitan rambut?" Munjong mengangguk.

"Apa kamu suka?" Moa tersenyum bahagia, merasa puas atas hadiah yang diberikan.

"Sangat suka, terima kasih, Munjong," ucapnya lalu memeluk kekasihnya.

Mereka menikmati malam yang indah di tepi sungai penuh dengan cahaya lampu membuat suasana terasa romantis. Angin yang sangat kencang hingga dinginnya menusuk ke tulang-tulang tak membuat mereka ingin segera pergi dari tempat itu. Cukup dengan berpelukan erat, semua rasa dingin pun akan hilang. Apalagi yang kita peluk adalah orang yang terkasih.

"Lepaskan putriku!" Suara berat milik Raja Gojong tiba-tiba menggema, membuat sepasang kekasih ini terkejut sekaligus takut karena ketahuan sedang berduaan.

"A- Ayah?" ucap Moa gugup.

"Apa yang kau lakukan, Moa? Sudah Ayah katakan, jauhi pria ini! Ayah tak sudi kalau kamu harus menjalin hubungan dengan keluarga Taeso!" bentaknya pada sang anak.

"Aku tidak bisa, Ayah. Aku sangat mencintai Munjong. Tolong, jangan pisahkan aku dengannya!" ungkap Moa dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.

"Persetan dengan cintamu. Ayo pulang!" Raja Gojong memaksa putrinya untuk pulang walau harus dengan cara menyeretnya.

"Moa ...!"

Kai terbangun dari mimpi buruknya. Kenangan di masa lalu selalu saja menghantuinya, sampai-sampai ia sangat sulit untuk tidur nyenyak setiap malam. Mengapa hidupnya selalu seperti ini? Kai sadar, di kehidupan sebelumnya ia pernah melakukan kesalahan. Namun, ia tak menyangka, masa lalu itu akan terus mengacaukan tidur malamnya. Kai menatap jam dinding lalu tersenyum kecut ketika mengetahui jarum jam masih menunjuk pukul satu dini hari.

"Moa, aku capek hidup seperti ini terus. Sampai kapan rasa bersalah terus mengikutiku? Aku tahu semua yang terjadi dulu adalah salah, aku menyesal. Moa, sungguh aku sangat merindukanmu, aku ingin bertemu denganmu dan meminta maaf atas semua yang kulakukan padamu dulu. Andai kutukan yang dibuat ibumu bisa kucabut, andai kutukan itu bisa kulepas dengan mudahnya. Aku yakin, mungkin di kehidupan sekarang, kita akan bertemu dan bersatu kembali." Kai mengusap kasar wajahnya, berlanjut menjambak pelan rambutnya yang berantakan setelah bangun tidur.

Kai beranjak dari kasurnya, ia berniat untuk cuci muka. Kai menatap lama cermin yang ada di dalam kamar mandinya, melihat sosok dirinya yang sedikit berbeda. Ia meraba tiap rahang yang terpahat dengan rapi pada wajahnya. Merasa cukup puas atas bentuk wajah yang Tuhan berikan, seakan memang indah untuk dipandang.

"Bahkan wajahku tak terlihat berbeda, Moa. Hanya saja kehidupanku yang dulu dengan sekarang tak sama. Tanda di leherku ini menjadi saksi pertama kalinya kita bertemu. Apa kau ingat apa yang terjadi? Hahaha ... Sampai kapan aku menjadi gila seperti ini? Benar-benar menyedihkan."

.

.

.

Hallo ...

Ini hanyalah karangan penulis dan tidak ada sangkut pautnya dengan kisah nyata.

Terima kasih ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status