Share

Makanan Untuk Bos

Tak ada penyesalan bagiku ketika mengenalmu, begitu juga dengan hati yang tak pernah bosan untuk mencintaimu. Biarkan rasa ini tumbuh abadi hingga akhir kehidupan. Walau aku tahu, persatuan keduanya tak akan mampu menjadi nyata.

(Moa)

***

Soya bangun pagi-pagi sekali. Ia memaksa Bi Ina, asisten rumah tangga di rumahnya untuk membantunya berbelanja di pasar. Pagi ini Soya ingin memasak sesuatu yang spesial dan akan ia berikan pada bosnya sebagai tanda terima kasih karena sudah menolongnya semalam. Soya pikir hanya makanan dari masakannya sendiri yang pas dijadikan sebagai hadiah, karena jika memberikan barang, Kai pasti sudah memiliki segalanya. Anak orang kaya, yang sekarang sudah menjadi bos di kantor papanya. Tentu ia mampu membeli apapun yang dia mau, bahkan mungkin uangnya tak akan habis hingga 7 turunan.

Fany menonton anaknya yang sedang berkutik dengan peralatan dapur. Entah apa yang ia masak pagi ini, bau masakannya sungguh menggoda lidah setiap orang yang mendengar. Soya memang sangat pandai memasak, entah bikin kue untuk cemilan maupun memasak makanan berat. Kelebihan ini terlihat ketika usianya masih 10 tahun, di mana Soya sudah berani untuk mengikuti lomba memasak. Ia mampu memenangkan lomba, bahkan juri tampak terkejut dengan rasa makanan yang Soya buat. Layaknya orang dewasa yang seharusnya masakan itu dilombakan bersama dengan mereka bukan sepantaran Soya.

"Apa Mama juga kamu masakin, So?" tanya Fany yang berharap agar mendapatkan jatah makanan yang Soya masak.

"Tentu saja, Ma. Bagaimana mungkin Soya melupakan orang yang paling menyukai masakan Soya?" ucap anaknya membuat Fany puas.

"Ah, rasanya Mama gak sabar buat makan. Sepertinya kamu belum pernah masak ini sebelumnya deh, aromanya wangi sekali. Perut Mama rasanya sudah dangdutan," ucap Fany sembari mengusap perut ratanya.

"Hehehe, ini resep baru, Ma. Soya juga gak tahu gimana rasanya ini, tapi semoga Mama dan bos Soya suka," kata Soya berharap.

"Jangan khawatir! Dari aromanya saja sudah terlihat lezat, bagaimana kalau sudah sampai di lidah? Pasti rasanya lebih maknyus," puji Fany membuat Soya tersipu malu.

"Ah, Mama selalu saja berlebihan. Ini, Ma, silahkan dicoba!"

Dengan cepat Fany mengambil sendok dan menyuapi makanan yang ada di depannya ke dalam mulutnya. Satu suap sudah membuatnya merasa melayang, kedua matanya tertutup seakan menikmati kelezatan masakan Soya. Fany mengunyah secara perlahan, mencoba mencari kekurangan dari masakan itu.

"Gimana, Ma? Enak?" Soya merasa penasaran karena mamanya hanya diam dan fokus mengunyah makanannya.

"Papa pasti nyesel karena ke luar kota, dia jadi gak bisa menikmati masakan seenak ini. Huhu ... Rasanya Mama ingin setiap hari makan masakan kamu, So. Selalu saja tidak ada celah untuk mengomentari keburukan masakanmu," puji fany.

"Senangnya masakan Soya selalu pas di lidah Mama, semoga Pak Kai juga menyukainya," harapnya.

***

Soya sudah sampai di kantor lalu masuk ke dalam ruangan Kai. Ia menilik setiap sudut mencari seseorang yang dicari. Mencoba mengecek kamar mandi, juga terlihat sangat sepi.

"Sepertinya Pak Kai belum datang, aku letakkan di sini saja deh," ucap Soya sembari meletakkan kotak nasi yang sudah ia siapkan untuk Kai. Soya mengambil secarik kertas dan pena, lalu menulis pesan untuk Kai.

"BEKAL UNTUK BAPAK KAI, DARI SOYA"

"Sudah, semoga Pak Kai menyukai masakanku."

Lima menit setelahnya, akhirnya Kai datang. Ia masuk ke dalam ruangannya dan mendapati sekotak bekal yang Soya letakkan di atas meja kerjanya. Ia pun membaca secarik kertas dari Soya. Kai tampak bingung, kenapa sekretarisnya tiba-tiba membawakan bekal? Padahal Kai tak pernah meminta itu. Dengan cepat ia menekan tombol keypad telepon.

TILULIT

"Hallo?"

"Ke ruanganku sekarang!" perintah Kai.

"B- baik, Pak," jawab Soya sedikit ketakutan. Tubuhnya mulai bergetar, begitu pula dengan detakan jantung yang semakin cepat. Akankah Kai marah karena merasa tak suka dengan masakan Soya?

'Apa Pak Kai tak menyukai masakanku?' batin Soya. Sedikit ragu, perlahan ia mengetuk pintu ruangan Kai.

Tok Tok Tok

"Masuk!" ucap Kai dari dalam. Soya pun masuk ke dalam yang mendapati bosnya menatap tajam seakan siap untuk menerkam mangsanya.

"A- ada apa ya, Pak?" tanya Soya ketakutan.

"Apa kamu yang memberikan bekal ini?" Tunjuk Kai pada bekal di atas mejanya. Masih dengan kondisi tertutup menandakan belum ia buka sama sekali.

"I- iya, Pak." Soya terlihat semakin takut, ia merasa Kai benar-benar tak suka dengan masakannya.

"Apa alasanmu memberikanku makanan ini? Kamu gak ada niatan untuk menggodaku 'kan?" terka Kai membuat Soya membelolokkan bola matanya.

"Ti- tidak, Pak."

"Hem, atau jangan-jangan di makanan ini kau campurkan racun? Kau ingin membunuhku?"

"Ya ampun, Pak. Jahat sekali menuduh saya seperti itu," ucap Soya cemberut.

"Lalu?"

"Saya buat bekal ini hanya sebagai tanda terima kasih saya, karena kemarin bapak sudah menolong saya dari Pak Bram," ucap Soya menjelaskan.

"Hanya itu? Bukan karena suka padaku?" terka lagi Kai begitu percaya diri.

"Tidak, Pak. Saya tidak suka sama Bapak," jawab Soya spontan.

"Oh, jadi kamu benci saya?" Soya terlihat semakin syok. Kenapa dia bisa bertemu dengan orang semenyebalkan bosnya. Gadis itu bahkan merasa jengah atas tuduhan Kai yang tanpa alasan itu. Haruskah Soya melawannya?

"Bbb hahaha, wajahmu kenapa begitu? Kaget? Marah? Atau sekarang kau kesal padaku? Hahaha." Kai asik tertawa membuat Soya semakin bingung.

'Ini bosku lagi kesurupan atau gimana sih?' ucap Soya di dalam hati.

"Saya hanya bercanda, So. Sudah jangan tegang begitu. Terima kasih karena sudah memberikanku bekal," ucap Kai dengan senyum manis membuat jantung gadis itu berdetak sangat kencang.

"S- sama-sama, Pak."

"Apa benar kamu memasaknya sendiri? Bukan pembantu kamu 'kan?" tanya Kai.

"Bukan, Pak. Saya yang memasaknya," aku Soya.

"Ternyata anak orang kaya ada yang bisa masak juga? Apa kamu yakin rasanya akan enak? Bagaimana kalau saya diare setelah makan ini?"

"Seratus persen aman, Pak. Tidak ada racun di sini, bahkan makanan yang saya buat bersih tanpa kuman. Kalau tidak percaya Bapak coba saja, dijamin nagih," ucap Soya begitu yakinnya.

"Kalau nanti saya nagih, bagaimana? Apa kamu siap membawakan bekal lagi?"

"Oke!" jawab Soya mantap.

Kai mengangguk, "sekarang kamu boleh pergi, nanti saya panggil lagi." Soya pun pergi meninggalkan Kai yang memutar pikirannya.

"Lagi-lagi wanita itu mengingatkanku padamu, Moa. Apa dia ada hubungannya denganmu?" Kai semakin masuk ke dalam pikirannya, di mana ia mengingat kejadian ratusan tahun yang lalu bersama kekasihnya.

.

"Apa yang kau lakukan di sini, Moa?" tanya Munjong.

"Aku hanya ingin memberikanmu ini," ucap Moa menyodorkan makanan yang ia bawa.

"Kue?" Moa mengangguk.

"Kenapa kau memberiku kue?"

"Emm, hanya sebagai tanda minta maaf karena sempat mencakar lehermu kemarin sampai terluka seperti itu," ucap Moa menunjuk leher Munjong.

"Oh, tidak apa-apa. Itu terjadi juga karena ketidaksengajaan bukan? Jadi tak perlu membawa kue seperti ini," kata Munjong.

"Tapi aku sudah membawanya, jadi kamu harus menerima, tidak boleh menolak!" paksa Moa begitu gemasnya membuat pria di depannya tertawa.

"Iya-iya, aku terima. Terima kasih," ucap Munjong.

"Sama-sama."

.

.

.

Hallo ...

Ini hanyalah karangan penulis dan tidak ada sangkut pautnya dengan kisah nyata.

Terima kasih ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status