MasukLangit Jakarta menggantung sendu pagi itu. Awan kelabu melayang rendah seakan tahu bahwa di lantai tiga Jakarta Eye Centre, sepasang suami istri sedang menggantungkan hidup dan harapan mereka pada team dokter yang sedang mengoperasi. Di depan ruang operasi itu langkah Johan dan Susan mondar-mandir tak beraturan. Jalan ke kanan, lalu balik lagi ke kiri. Keringat dingin bercampur dengan kegelisahan yang membuncah. Nafas mereka terdengar berat bukan karena lelah, tapi karena cemas yang menyesakkan dada.
Julio.
Anak mereka. Satu-satunya. Laki-laki yang sejak kecil mereka besarkan dengan limpahan cinta dan harapan. Anak yang tak hanya menjadi kebanggaan keluarga, tapi juga pewaris tunggal Kerajaan Bisnis Wicaksono yang selama ini mereka bangun susah payah.Sekarang, Julio terbaring di meja operasi. Matanya yang dulunya penuh semangat , penuh mimpi rusak akibat kecelakaan mobil tepat di hari pernikahannya. Retina tak lagi merespons. Dunia menjadi gelap baginya. Dan harapan satu-satunya hanyalah transplantasi kornea.
Di hari kecelakaannya, saat dokter menyampaikan vonis bahwa Julio akan buta permanen, seisi dunia seakan runtuh. Terlebih lagi Erika, wanita yang katanya mencintai Julio sejak masa kuliah, yang akan menjadi istri sah Julio dengan tanpa hati, memutuskan untuk pergi.
“Maaf, aku tidak sanggup menikahi pria yang buta…” katanya dingin.Kata-kata itu lebih tajam daripada kecelakaan yang menghancurkan mata Julio.Namun, di tengah reruntuhan itu, Tuhan masih menghadirkan seberkas cahaya . Ketika saat Erika telah pulang dengan memberi luka, ternyata malam itu seorang wanita berseragam putih dengan suara lembut membawa harapan saat dia mengetuk pintu kamar VVIP tempat Julio dirawat.
“Selamat malam, Pak Johan… Ibu Susan. Saya dr. Yvonne,” ucapnya dengan suara lembut namun tegas.
Johan berdiri tergesa, suaranya gemetar. “Dok… ada kabar baik kah? Adakah kornea yang cocok untuk Julio…? Kami bersedia bayar berapapun…”
Yvonne tersenyum samar, lalu duduk perlahan.
“Begini, Pak. Kami dari siang sudah memasukkan nama Julio ke daftar tunggu di Bank Mata Indonesia. Ini adalah sistem nasional. Semua sesuai urutan dan kecocokan medis. Tidak bisa dibeli. Tidak bisa didahulukan hanya karena status sosial atau harta,” katanya tegas namun tetap menenangkan.Ia melanjutkan, menjelaskan dengan jernih bahwa transplantasi kornea termasuk dalam kategori transplantasi jaringan tubuh yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta diperkuat oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Donasi Organ dan Jaringan.
“Sesuai hukum, tidak boleh ada transaksi jual beli organ atau jaringan tubuh manusia. Jika melanggar, bisa dikenakan pasal pidana. Semua harus murni berdasarkan kerelaan pendonor, kecocokan medis, dan urutan daftar tunggu,” jelas dr. Yvonne.
Johan menunduk, suaranya melemah.
“Maafkan saya, Dok… maksud saya bukan menyuap. Saya hanya ingin… saya ingin dokter dan pihak rumah sakit tahu kalau biaya operasinya, kami siap tanggung semuanya.”Dr. Yvonne mengangguk lembut.
“Untuk biaya operasi tentu dibebankan kepada keluarga pasien. Tapi untuk ketersedian donor, tidak bisa dibeli dengan uang. Mohon bisa dipahami ya, Pak. Jadi jangan ada lagi kata-kata tentang uang.”
“ Maaf sekali lagi, Dok. Bukan maksud saya…Benar bukan maksud saya membicarakan tentang uang.” Kata Johan penuh penyesalan
Dokter Yvonne tersenyum “ Saya mengerti. Nggak usah minta maaf lagi. Begini Pak Johan, saya visit malam ini, mau menyampaikan kabar baik.”
Susan menatapnya penuh harap, jantungnya nyaris berhenti berdetak.
“Pagi tadi, penerima donor , di atas nama Julio... dinyatakan meninggal dunia . Dan setelah tim kami melakukan konfirmasi dan test berulang, ternyata kornea mata dari pendonor cocok untuk Julio. Jadi sesuai urutan, sesuai jenis kelamin, dan kondisi medis Julio, ia kini resmi pasien yang akan mendapat donor mata itu. Ini benar-benar keinginan Tuhan, biasanya tidak bisa secepat ini.”
Susan menutup mulutnya, air mata langsung mengalir deras. Johan memejamkan mata, memeluk istrinya erat-erat. Sementara Julio, dari ranjangnya, bibirnya membentuk senyum tipis.
“Dokter…” katanya lirih. “Bolehkah saya tahu… siapa pendonornya?”
Dr. Yvonne menggeleng pelan, lalu menjawab .
“Tidak bisa, Julio. Hukum dan etika medis melarang pengungkapan identitas. Pendonor dan penerima tak boleh saling tahu. Semua itu bersifat rahasia.”
Julio terdiam. “Lalu… bagaimana saya berterima kasih…?”
“Dengan menjaga mata itu. Dengan melihat dunia lebih baik dari sebelumnya. Gunakanlah mata itu untuk hal-hal yang berarti. Itulah cara terbaik untuk bersyukur kepada orang yang memberikannya kepadamu ”
Julio mengangguk pelan. Kedua orang tuanya tersenyum penuh rasa syukur
Dan di pagi ini, meskipun langit Jakarta tetap mendung. Tapi bagi Johan dan Susan, langit tak lagi sehitam kemarin. Mereka tetap jalan mondar mandir di lorong rumah sakit. Johan berjalan sambil menunduk, jemari tangannya saling menggenggam, mulutnya mengalunkan doa panjang.
Susan memeluk syal Julio, menciuminya seolah berharap harum tubuh anaknya bisa menenangkan dentuman di dadanya yang terus bergejolak.
Jam demi jam berlalu. Seorang perawat keluar membawa map medis tapi bukan kabar tentang Julio hanya administrasi.
“Tuhan… Tolong jaga Julio , anak kami satu-satunya, tolong beri dia kesembuhan dan cahaya di matanya, tolong jaga dia ” bisik Johan dalam hati.
Susan pun tak kalah pilu. Di benaknya terulang wajah Julio saat Erika meninggalkannya.
Wajah yang dulunya penuh cahaya, kini tertutup gelap dan dikhianati cinta. Wanita itu pergi.
Dan Susan tahu, luka di hati anaknya itu pasti lebih sakit dari kehilangan cahaya di matanya.“Tuhan… kembalikan sinar dalam matanya. Agar dia bisa melihat dunia… dan cinta… lagi.”
TIGA JAM BERLALU.
Akhirnya, lampu merah di atas ruang operasi padam.Pintu terbuka perlahan. Seorang dokter keluar, matanya lelah namun menyimpan kilau kemenangan.“Pak Johan… Ibu Susan…” ucapnya.
Mereka berdua berdiri bersama.
“Operasi berhasil. Kornea diterima dengan baik. Julio kini dalam tahap pemulihan. Kami akan memantau ketat agar tidak terjadi infeksi atau komplikasi.”
Susan langsung menangis. Tangis lega. Tangis syukur. Tangis bahagia. Johan menunduk dalam, menahan emosi yang tak lagi bisa dibendung.
“Terima kasih, Dokter. Terima kasih…” ucapnya, suaranya bergetar.
“Mohon pastikan Julio tidak stres. Proses penyembuhan bisa panjang. Tapi yang paling penting… jangan biarkan dia merasa sendirian.”
Di ruang pemulihan, Julio belum sadar. Wajahnya masih pucat. Matanya masih tertutup perban.
Susan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat, sama seperti gengaman saat ia pertama kali mengajari Julio berjalan puluhan tahun lalu.Air mata jatuh dari mata Susan, mengalir pelan di pipinya dan jatuh ke jemari anaknya.
“Kamu tidak sendiri, Nak… kamu tidak akan pernah sendiri…”
Dan di luar sana, langit yang tadinya mendung… perlahan mulai cerah membawa setitik harapan yang telah kembali hadir untuk keluarga mereka.
.
Hi teman-teman Jelitaku, terimakasih uda mampir di rumah baruku Good Novel. Novel ini akan mulai ku update setiap Senin-Rabu Jumat mulai tanggal 1 Agustus di jam 7.30 Pagi. Aku selalu tepat waktu. hehehe. Oh ya bagi teman2 yang baru baca novelku, panggil aja aku CiNet, aku mamak 52 tahun yang hobby nulis. Sebelumnya aku guru TK, baru pensiun tahun lalu dan saat ini kegiatannya full nulis aja sambil jadi producer audio book. Begitu sedikit perkenalan denganku. Sampai jumpa di bulan Agustus. Happy reading
Laras POV Papa Johan benar-benar menepati janjinya. Hari Jumat pagi, ketika aku membuka pintu dapur, aku terpukau. Dapur lamaku yang dulu hanya ruang kecil dengan kompor dua tungku, dan meja kayu tempat meniriskan donat kini telah berubah total. Semuanya tampak baru. Modern. Rapi. Berkilau. Udara di dalamnya pun terasa berbeda. Lebih terang, lebih segar, dan entah kenapa, seperti membawa semangat baru bersamanya. Lantai keramik putih mengilap, dindingnya bersih tanpa noda minyak sedikit pun. Di sisi kanan berdiri dua meja aluminium panjang dengan permukaan mengilap, tempat aku akan mencetak , menata adonan donat juga menghiasnya sebagai sentuhan terakhir. Di sudut ruangan berdiri mesin proofing setinggi dadaku berbentuk kabinet stainless steel dengan kaca bening di pintunya. Aku bisa membayangkan aroma adonan hangat yang akan mengembang sempurna di dalamnya. Tak jauh dari situ, mixer industri besar dengan mangkuk baja berkapasitas puluhan liter berdiri gagah. Bayangan tubuhku mem
Warning Trigger : Mature content 21 ++ Saat Laras sedang mandi sepulang kami dari gereja untuk pemberkatan, aku duduk santai ngobrol bersama Mama dan Papa di meja makan. Kami menikmati seteko teh Melati. Kini wangi semerbak harum Melati yang menenangkan mengisi seluruh rumah dengan aroma khasnya. “Liyo,” kata Mama pelan, “tadi Pak Hutabarat telepon. Katanya pihak kejaksaan sudah menghubungi rumah dan kantor kita uda tidak lagi di segel . Hanya rekening yang harus tunggu beberapa saat lagi. Jadi besok Mama dan Papa mau pulang ke rumah kita. Rumah itu udah lama kosong, jadi harus dibersihin. Mama yang akan urus rumah, Papa langsung urus kantor.” Aku menaruh cangkir tehku. “Masalah dapur Labayo gimana, Pa?” “Nggak usah khawatir,” jawab Papa tenang, “itu udah hampir kelar. Nanti Papa tambah tukangnya, biar Jumat ini bisa segera selesai. Jadi Sabtu kalian bisa langsung mulai produksi.” Mama menyesap tehnya dan menatapku. “Nggak mau bikin upacara peresmian?” Aku tertawa kecil. “Lar
Senin sore itu, Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari menggantung rendah di langit barat, menyapukan cahaya jingga ke atap-atap seng dan jendela rumah-rumah kontrakan di jalan kecil tempat Laras tinggal. Awan cumulus melayang seperti kapas besar yang sedang beristirahat membuat pemandangan sore itu tampak seperti lukisan mahakarya Sang Pencipta, seolah Tuhan ikut tersenyum, karena hari ini Laras dan Julio akan diberkati di gereja. Awalnya mereka mama Susan dan papa Johan. Riris dan Ario tentunya bersama kedua pengantin Julio dan Laras akan berangkat naik Avanza milik kantor Papa Johan. Tapi baru saja pagar rumah di buka, ternyata di luar sudah ramai. Warga tetangga berdiri di depan pagar, seperti rombongan yang menunggu pawai pengantin. Ada Bu Sri yang selalu kepo tapi baik hati, ada Bu Kus yang pemilik warung tempat Laras menitipkan donat pertamanya. Ada juga Pak RT dengan kemeja batiknya, juga Bu Pur mamanya Riris yang suka humor, cerewet tapi penyayang. “Laras!” s
Julio POV Sore itu, langit Jakarta bersih seperti baru saja dicuci hujan. Udara hangat, dan sinar matahari berwarna oranye menembus di sela-sela gedung kaca di kawasan Mega Kuningan. Laras baru pulang dari kelas baking-nya di Bogasari saat kami memutuskan berjalan kaki menuju gereja tua di belakang kawasan Mega Kuningan. Gereja tempat kami berencana mendaftar kelas pranikah. Lokasi gereja itu tak jauh dari penthouse-ku dulu. Saat melewati gedung tinggi itu, aku menoleh dan menunjuk ke atas “Ini tempat tinggalku dulu, Ra.” Laras mendongak, matanya membulat. “Gedung tinggi ini?” Aku mengangguk, tersenyum. “Mama kemarin ada nawarin, kalau semua urusan kejaksaan sudah selesai dan semua aset milik mama dan papa tidak lagi diblokir , kita boleh tinggal di sini. Tapi aku nggak mau. Kebayang kan, repotnya kalau tiap pagi buta kita harus jalan kaki untuk buat donat ke dapur Labayo?” Laras terkekeh, mengangguk paham. “Makanya aku lebih pilih kita tetap tinggal rumahmu aja. biar lebih
Julio POV Aku sedikit terkejut ketika mendengar Jaksa Guntur menyebut bahwa aset milik Arifin di Boston juga ikut dibekukan. Kata Boston langsung membuatku teringat tentang Erika, yang tiba-tiba menghilang dari Bangkok setelah membuat kekacauan di hari liburku bersama Laras. Sekarang semuanya masuk akal. Ia pasti disuruh mengamankan aset keluarganya. Tapi ternyata gagal juga. Semua harta mereka disita. Ketika Arifin dengan suara terbata-bata bertanya, “Apakah... Erika…?” Aku tahu, itu bukan sekadar kegelisahan seorang tersangka. Itu suara seorang ayah yang menanggung rasa bersalah karena membuat anaknya menderita. Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini tidak ada lagi rasa kesal mendengar nama Erika. aku hanya merasa iba. Aku yakin, selama Erika tidak terlibat langsung dalam bisnis ayahnya, ia tidak akan sampai dijerat hukum. Hanya saja… aku tahu, wanita seperti dirinya tak bisa hidup tanpa uang.Tapi ah, apa peduliku lagi? Aku dan dia sudah selesai. Setelah semua l
Ruang tunggu Kejaksaan Negeri itu terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke lantai granit, membuat suasana seperti ruang interogasi di film kriminal. Johan duduk di kursi besi, kedua tangannya mengepal, menahan degup jantung yang rasanya berpacu dengan waktu. Di sampingnya, Julio menatap lurus ke depan, gelisah, tapi berusaha tampak tenang. Pak Hutabarat, pengacara keluarga mereka, berdiri di depan pintu kaca buram bertuliskan Bidang Tindak Pidana Khusus. Di tangannya tergenggam map biru berisi dokumen yang sudah beberapa minggu ini tidak pernah lepas dari gengamannya. “Tenang, Pak Johan,” katanya datar “Kita hanya klarifikasi dan datang sebagai saksi.” Namun kalimat itu tak mampu menghapus bayangan ketakutan Johan, takut ratusan karyawan perusahaannya tidak bisa mendapatkan gaji bulan ini. Pintu terbuka. Seorang petugas memanggil, “Pak Johan Wicaksano, silakan masuk.” Ketiganya masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam, aroma kopi







