Pov Irfan
"Mmm... naik taksi online ajalah." Gumamku dalam hati saat melihat teriknya cuaca pagi ini. Masih juga pagi tapi matahari sudah bersinar begitu terang seperti di siang hari.
Aku langsung mengurungkan niatku untuk naik angkutan umum dan mengutak-atik gawai guna memesan moda transportasi roda empat dari aplikasi yang didominasi oleh warna biru.
Buat apa panas-panasan dan berdesak-desakan di angkutan umum kalau bisa duduk santai ditemani semilir angin dari AC mobil taksi online. Masalah ongkos itu gampang, tinggal minta sama Bang Indra atau istrinya, beres!!
"Bang, tunggu sebentar ya! Saya gak bawa ongkos." pamit ku pada sang sopir saat mobil sudah sampai di rumah Bang Indra.
Entah kenapa rumah abangku terasa sepi, biasanya dua keponakan kembarku bermain di halaman rumah dengan sangat berisik. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah untuk meminta ongkos pada abangku. Tapi si4l, yang kutemui malah si Maya, istrinya Bang Indra yang cerewet dan sok ngatur. Kakak iparku itu bener-bener rese!
Nah bener, kan? Baru juga datang dia sudah heboh sendiri dan memaki-maki aku kayak bunyi petasan banting cuma gara-gara aku mintain duit ongkos. Bahkan saking hebohnya ia sampai membanting wajan penggorengan. Aku malas meladeni kakak ipar model begitu, ngasih uang enggak tapi ngomel-ngomel iya. Mending aku cari Bang Indra saja... kalau abangku itu sudah pasti royal sama aku, dia kan sayang banget sama aku.
Pucuk dicinta, kakak iparku itu berbaik hati menunjukkan dimana abangku berada, tak perlu lah aku bersusah payah mencarinya kemana-mana. Aku sudah tak enak hati, sopir taksi online sudah membunyikan klakson karena aku tak kunjung keluar rumah membayar ongkos.
Bener-bener kakak iparku itu tega.
"Bang, bagi duitnya seratus ribu dong!" Aku menepuk keras pundak Bang Indra yang sedang tertidur pulas. Ia hanya menggeliatkan badan dan merubah posisi tidurnya dari miring kanan ke miring kiri.
Ck jam segini masih belum juga bangun... Dasar pemalas!! Eeh sama lah dia sama aku. Biasanya Bang Indra ini saingan sama aku bangun siang. Hehehe.
"Bang!!" Sengaja ku tepuk lebih keras kali ini. Kebiasaan Bang Indra ini kalau tidur udah kaya kerbau mati, jadi harus ekstra tenaga untuk membangunkannya. Kalau perlu pinjam toa sekalian dari mushola.
"Apaan sih gangguin orang tidur aja?" Gerutu Bang Indra sambil mengucek-ucek matanya yang masih susah melek.
"Aku minta duit seratus ribu buat bayar ongkos taksi online. Itu abang supirnya udah nungguin dari tadi. Minta sama istrimu bukannya dikasih malah di omelin." Sekalian saja kuadukan kelakuan istrinya biar mampus kena maki abangku nanti.
Salah sendiri tiap aku kesini pasti pasang muka garang, udah macam singa betina yang baru saja melahirkan.
Bang Indra masih malas-malasan di kasur, ia hanya menunjuk ke gantungan baju di belakang pintu. "Ambil aja sendiri di dompet! Dompetnya abang taruh di saku celana hitam itu."
Gegas ku ambil celana hitam yang Bang Indra maksud dan merogoh ke kantongnya. Di dalam dompetnya ada sepuluh lembar uang merah. Sambil menengok ke belakang buru-buru ku tarik dua lembar uang merah tersebut dan merapikan kembali dompet dan celana Bang Indra ke gantungan lagi. Untung Bang Indra masih belum melek sempurna, ia masih terlalu nyaman rebahan di kasur.
"Hmm lumayanlah dua ratus ribu..." Gumamku dalam hati sambil menyelipkan selembar uang hasil tilepan ke saku celana jeans yang kupakai dan menggenggam yang selembar lagi untuk kuberikan kepada supir taksi yang masih menunggu di depan.
Biarlah nanti kalau Bang Indra tanya tinggal jawab saja 'tidak tahu'. Paling-paling istrinya yang kena tuduh. Hahaha, seringai jahat terukir di senyumanku.
Aku segera menemui abang supir taksi online untuk memberikan uang ongkosnya. Entah kenapa kakak iparku masih berdiri mematung di depan pintu. Kutabrak saja sekalian biar dia tahu rasa.
"Ini kembaliannya buat abang aja. Itung-itung buat ongkos nungguin saya." ucapku pada sopir taksi online yang kelihatannya sudah sangat cemberut. Mukanya saja ditekuk sepuluh, bibirnya sampai manyun begitu. Tapi begitu ku berikan uang lebihan ia langsung tersenyum sumringah dan bergegas pergi. Dasar mata duitan!
Saat hendak masuk ke dalam rumah, kulihat abangku itu bertengkar dengan istrinya. Entah gara-gara aduanku tadi atau gara-gara duitnya hilang karena kuambil. Bodo amat, aku melenggang saja melewati mereka tanpa permisi. Malas kali harus berbasa-basi pada kakak ipar yang jelas-jelas tak menyukaiku.
Aku langsung ngeloyor duduk di depan TV dan menonton acara siaran ulang sepak bola yang semalam belum sempat ku tonton. Mumpung duo kembar tidak ada di rumah. Kalau ada mereka mana bisa aku menonton TV di rumah abangku. Yang ada TV dikuasai oleh mereka dengan tayangan-tayangan kartun seharian.
Baru juga mau selonjoran, perutku terasa keroncongan. Ah mungkin ini efek belum sarapan dari pagi.
Lekas aku menuju ke meja makan yang ada di sudut pojok dapur dan membuka tudung saji. Wahhh semua makanan yang tersaji benar-benar menggugah selera. Wangi masakan kakak iparku ini menguar harum dan menggelitik lambungku yang sudah menjerit minta diisi makanan.
Inilah satu-satunya hal yang paling aku senangi dari kakak iparku, masakannya enak-enak seperti rasa masakan di restoran kelas mewah.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Bang Indra dan istrinya. Namun entah dimana mereka sehabis berdebat tadi, tak kulihat batang hidung mereka karena asyik menonton TV.
"Bodo ah, aku makan duluan. Sudah lapar ini." Aku segera mengambil piring dan sendok dan menuang dua centong nasi kedalam piring. Bak orang kelaparan seperti tak di kasih makan berhari-hari, aku kalap dan kesetanan memakan makanan hasil olahan kakak ipar yang memang sangat lezat. Tak sadar diri ini sampai nambah nasi dua kali.
Tapi baru juga aku mau menyuap nasi lagi ke dalam mulut, suara teguran kakak ipar terdengar melengking di telinga. Ku toleh ia sudah berdiri sambil memegang gagang kain pel dengan erat.
Ku pikir dia mau memukulku, tapi ternyata ia hanya mengomel mempermasalahkan aku yang makan duluan. Lah sama saja kan mau makan duluan atau nanti, ujungnya juga makan semua kan? Kenapa harus berbarengan? Kayak teletubies aja.
Ku lihat raut mukanya sudah merah padam, apalagi saat melihat aku hampir menghabiskan semua hidangan yang tersaji diatas meja.
Oke... aku akui aku khilaf. Masakan kakak ipar memang benar-benar enak sampai-sampai aku tak ingat kalau yang lain belum makan.
Ku tinggal saja dia yang masih merepet tak jelas. Tak ku hiraukan suaranya yang sudah mulai naik satu oktaf.
Beruntung Bang Indra segera keluar dari kamar dengan aroma wangi sehabis mandi. Ia membantuku menghentikan ocehan istrinya yang sedari aku datang memarahiku terus-terusan.
Benar kan? Cuma Bang Indra yang bisa menjinakkan singa betina itu. Tak kudengar lagi suaranya merepet.
Lambat laun aku mengantuk dan gegas masuk ke kamar si kembar untuk tiduran. Memang benar kata orang, kalau perut kenyang pasti rasa kantuk datang. Makanya kita tak boleh makan terlalu kenyang.
Pov Irfan Hmm norak sekali kamar si kembar ini. Sudah catnya didominasi warna pink dan kuning, di sepanjang temboknya juga banyak bertebaran stiker barbie dan unicorn dimana-mana. Tapi tak apalah daripada aku tidur di depan TV. Masa iya aku tidur di kamar bareng Bang Indra sama istrinya, kan gak lucu. Belum ada setengah jam aku memejamkan mata, kudengar suara anak kecil bersahut-sahutan memanggilku dan menarik-narik tanganku. "Om, bangun Om!!" "Om, ini kamar kita. Jangan tidur di sini." Lama-lama aku tak sabar juga dan terpaksa bangun. "Heh gak sopan sekali jadi anak. Kalau ada orang lagi tidur jangan berisik! Gangguin aja." Ku bentak mereka dan itu sukses membuat mereka langsung kicep tak berani mengusikku lagi. Bahkan kulihat si Keyla langsung mewek setelah ku bentak. Aku melanjutkan tidur siang yang sempat terganggu tadi. Entah selang berapa lama dari kejadian itu, seseorang masuk kamar dan langsung memaki-maki aku. "Heh!! Irfan!! Kalau numpang itu sadar diri. Ini kamar ana
"Keyra, Keyla, dengerin ibu!!" ucapku penuh penekanan begitu membawa si kembar masuk ke dalam kamar mereka. Aku mendudukkan keduanya di kasur Keyra yang spreinya dipenuhi dengan motif unicorn. Aku berlutut untuk menyamakan tinggi dengan keduanya, "Lain kali jangan biarkan Om Irfan masuk ke kamar kalian. Kalau perlu kalian kunci dari dalam, ingat ya!" Keduanya mengangguk dengan patuh. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar berita dari desa sebelah, katanya ada seorang paman yang tega berbuat kurang ajar kepada keponakannya. Jujur, aku takut banget kalau manusia alien itu berbuat hal yang tidak wajar kepada kedua putriku. Mana tau dia seorang ped*fil. Kita kan harus selalu waspada terhadap ancaman bahaya, sekalipun itu saudara ipar. "Bu, kenapa sih Om Irfan itu galak banget sama kita? Tadi aja pas keluar dari kamar, Om Irfan pelototin kita berdua lagi." Tanya si kecil Keyla yang matanya masih sedikit sembab. Mungkin dia ketakutan karena mendapat tatapan tajam dari pamannya.
Dok… dok… dok… Aku terlonjak kaget saat pintu kamar si kembar di gedor keras dari luar. "Ada apa lagi sih? Gak tau anak-anak lagi tidur apa?" Aku membuka pintu seraya ngedumel sendiri. Terlihat kepala Mas Indra menyembul dan langsung mendorong paksa pintu kamar hingga terbuka lebar. Wajahnya sudah memerah seperti sedang menahan amarah. "Heh, Maya!! Kamu udah berani nyolong uang, Mas sekarang? Apa kamu kekurangan uang sampai-sampai berani mencuri uang suamimu sendiri?" Seru Mas Indra dengan suara nyalang. Beruntung si kembar masih tertidur pulas dan tak terusik dengan teriakan ayahnya. Aku bergegas keluar kamar dan menutup pintu kamar si kembar rapat-rapat. Sungguh tak baik membiarkan anak-anak mendengar pertengkaran orang tuanya. Hal itu akan berpengaruh pada kesehatan mental anak-anak di kemudian hari. "Uang apa, Mas? Maya gak ngambil! Maya juga gak ngerti, Mas ngomongin apa." Sahutku yang memang tidak tahu kemana arah tuduhan Mas Indra akan bermuara. Kekurangan uang sih iya,
Nasi goreng ini adalah menu favorit Mas Indra. Kulihat ia seperti menelan ludah kecewa menatap sajian nasi goreng di depan matanya. Mungkin ia juga sudah menahan lapar sejak tadi. "Ini nasi gorengnya enak banget loh, Fan. Cobain dulu gih." Mas Indra mencoba membujuk adiknya. Aku dan si kembar diam mematung menyaksikan drama lebai yang Irfan mainkan. "Gak, Bang. Irfan gak selera sama sekali. Ayuk kita makan di luar aja, Bang!" Tak bisa menolak keinginan adik tersayangnya, akhirnya Mas Indra beranjak untuk membawa Irfan pergi makan di luar. Ku kira Mas Indra akan mengajak kami bertiga pergi bersama juga. Tapi ternyata harapanku sirna, mereka hanya pergi berdua saja dengan berboncengan motor Nmax milik Mas Indra. Nanar kutatap punggung mereka yang semakin menjauh dari pandangan mataku. Semenjak menjalani pola hidup ala frugal living, aku tak pernah merasakan yang namanya makan jajan di luar lagi. Jadi jika ada yang mengajak kami pergi jajan walaupun itu hanya semangkuk seblak, rasa
Aneh… ada apa sih? Aku semakin penasaran dibuatnya. Ku pertajam tatapan mataku pada Mas Indra hingga dia merasa tak nyaman. Berharap ia mau berbagi rahasia yang baru saja di dengarnya. "I-itu telepon dari teman kantor. Ya.. itu teman kantor ngabarin kalau lagi ada masalah." Mas Indra mencoba memperjelas jawabannya sebelum aku kembali menyerang dengan pertanyaan yang lain. Okelah, kalau sudah ranah pekerjaan aku tak akan ikut campur. Aku hanya bisa mengangguk walaupun rasanya masih belum puas dengan jawaban mengambang dari Mas Indra. Saat malam menjelang, kulihat Mas Indra bersantai sambil melihat acara TV yang menyajikan segmen dunia dalam berita. Si kembar duduk lesehan di karpet depan TV sambil menyelesaikan tugas mewarnai yang harus dikumpulkan ke ibu guru besok pagi. Sama sekali tidak ada interaksi antara anak dan ayah tersebut. Mereka saling larut dalam kesenangannya masing-masing. Kadang aku hanya membatin apa Mas Indra ini gak punya cita-cita ingin bermain dan belajar bersa
"May!!! Mayaaa!!!" Aku mendengar teriakan Mas Indra saat motor supra butut yang kunaiki berbelok untuk meninggalkan gerbang sekolahan. Aku pura-pura tak mendengar teriakannya. "May!! Pinjam motornya dulu!!" Teriak Mas Indra dengan nada yang lebih kencang dari sebelumnya. Kulirik sekilas lewat kaca spion depan, Mas Indra sedang berlari mengejarku dari pertigaan tempat motornya berhenti. Aku pura-pura tak melihatnya dan malah semakin menambah kecepatan. Enak saja dia mau minta tukeran motor dan sudah pasti menyuruhku menuntun motornya pulang ke rumah. Gak sudi aku, Mas setelah kamu mengabaikan untuk membantuku tadi. Inilah saatnya aku membalasmu. Biarin mau dikatain istri durhaka juga, lah wong suaminya juga dzolim kok. "Mayaaa!!" Jeritan Mas Indra mulai terengah-engah mungkin kehabisan nafas karena berteriak sambil berlari. Ah, aku tidak boleh pulang ke rumah, aku harus belok ke arah lain. Kulirik dari kaca spion lagi dan ia masih setia mengejar motor supra bututku. "Sialan kamu,
"Sit, Sita…" Aku menepuk pelan punggung Sita yang mulai bergerak naik turun. Sumpah, aku merasa gak enak banget sampai dilihatin puluhan driver yang masih mengantri di halaman. Mereka yang tidak tahu pasti berpikir aku telah berbuat sesuatu yang tidak baik pada Sita hingga membuatnya menangis. "Ada apa, Sit? Udah dong! Malu dilihatin banyak orang nih." Ucapku yang masih setia membelai lembut punggung Sita. "Kalau aku ada salah kata sama kamu, aku minta maaf, ya. Aku tidak bermaksud menyinggungmu." Walaupun aku tidak tahu apa alasan Sita menangis, tapi aku mencoba untuk merendah dan mengalah agar ia tidak semakin menangis lagi. Ia lalu menengadahkan wajahnya menatap ke arahku sambil menyeka air matanya. "Maaf, May, ini bukan salahmu kok." Sita mulai membuka suara menanggapi ucapanku. Mungkin ia takut terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut. "Aku gak tau harus merasa bahagia apa sedih atas larisnya usaha ini. Usaha ku ini menjadi sukses tepat setelah suamiku meninggal." Wanita
POV Indra Laksmana. Aku melongok keluar setelah mendengar bunyi klakson mobil di halaman rumah. Betapa terkejutnya aku mendapati mobil dari dealer datang membawa dua sales yang belum lama ku temui tadi pagi. "Selamat Siang, apa benar ini kediaman Bapak Indra Laksmana?" Salah seorang sales yang bertubuh gempal dan bongsor datang menghampiri Maya yang sudah keluar rumah terlebih dahulu setelah mendengar bunyi klakson tadi. Maya mengangguk dan menoleh ke arahku seolah meminta penjelasan lebih. Gawat!! Ini benar-benar gawat! Kenapa juga sales ini malah datang kemari. Bukankah aku tadi sudah bilang untuk mengantarkan barangnya ke alamat orang tuaku. "Maaf Pak Indra, tadi bapak lupa belum menulis alamat pengiriman barangnya. Kami mau kirim barangnya siang ini juga soalnya kami mau closingan data hari ini. Bapak kan sudah bayar cash, jadi barangnya bisa langsung dikirim." Sales bernama Ahmad itu mencerocos bak bunyi petasan banting. Ia tak mempedulikan raut wajahku yang sudah dilanda gel