Share

Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur
Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur
Penulis: Everdine37

1 - Malam Pernikahan

Warning!

Cerita mengandung explicit content!

--

Aku Lyra.

Dan malam ini adalah malam pernikahannya.

--

Aku tiba 5 menit lalu bersama orang tuaku, mereka sudah menghambur menyalami pengantin bahagia itu. Sementara aku, memutuskan sedikit berdusta dengan mengatakan bahwa aku ingin ke toilet.

Nyatanya, sekarang aku berdiri disini, di sudut ruangan yang tidak terlalu remang di dekat gantungan coat, posisinya jelas tidak terlihat dari arah panggung pelaminan yang terlihat seperti pernikahan kerajaan. Dengan hiasan lampu gantung kristal yang berkilauan. Mewah dan elegan.

Dan aku melihat mereka dengan jelas dari sini, berusaha menahan air mataku untuk tidak keluar. Sial sekali kalau aku malah menangis di hari bahagia mereka. Itu akan sangat memalukan dan menimbulkan pertanyaan.

Di depan sana, mereka tersenyum bahagia saat melihat orang tuaku menyalami keduanya. Si mempelai lelaki sedikit kebingungan, tatapannya mencari ke sekitar namun Mama mengatakan sesuatu yang membuatnya mengangguk.

Namun sepertinya mempelai lelaki itu tau kalau aku berbohong, begitu orang tuaku pergi, ia kembali menatap sekitar dengan tatapan khawatir yang tidak bisa disembunyikannya, membuatku beringsut semakin bersembunyi di balik gantungan.

Tidak, ia tidak boleh melihatku.

"Soda, miss?" Seorang pelayan dengan tuksedo menghampiriku dengan nampan berisi beberapa gelas tinggi soda.

"Tidak, terima kasih," gelengku sopan.

Pelayan itu berlalu dan aku kembali menatap ke depan. Radius 40 meter jauhnya, aku bisa melihat dengan jelas betapa gagahnya ia dalam balutan baju tuksedo putih itu. Rambutnya ditata hair up, menampakkan dahinya yang indah dengan sepasang alis lurus tebal menaungi mata kecilnya yang tajam.

"Kalau kita menikah, aku akan mengenakan tuksedo ini. Ini keren."

Ucapannya di masa lalu terngiang di benakku. Aku tersenyum getir. Kepada siapa janji itu ditujukannya?

Lelah bersembunyi, akhirnya aku menyerah dan menerima segelas soda yang kembali ditawarkan kepadaku, meneguknya cepat.

Lantas melangkah mantap menuju pelaminan, seorang diri. Orang tuaku entah duduk di meja mana.

Aku akan menyalami pengantin itu, menunjukkan bahwa aku masih bisa tersenyum setelah ia merusak kepercayaanku. Tidak peduli meski perasaanku di dalam sini sedang hancur-hancurnya.

Tapi kemudian pembawa acara itu mengatakan bahwa dia akan mempersembahkan sebuah permainan dari grand piano putih yang ada di ujung panggung pelaminan.

Tepuk tangan sontak terdengar, beriringan dengan dia yang bangkit dari duduknya dan menghampiri piano itu.

Alih-alih tersenyum cerah, dia justru tersenyum dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bukan bahagia, bukan pula sedih.

Aku menghentikan langkah dan berdiri dengan agak bersembunyi di antara bahu-bahu para tamu. Tapi meski begitu, telingaku dengan seksama bersiap untuk mendengar alunan nada yang akan dimainkannya.

Aku menebak-nebak lagu apa yang akan kudengar setelah ini. Beautiful In White kah? Biasanya lagu ini selalu ada di momen pernikahan.

Tapi saat ia mulai memainkan sebaris nada pertama, jantungku mencelos.

Musik ini... dia selalu memainkannya untukku.

Jantungku sekarang berdegup kencang. Debarannya hampir membuatku kewalahan saking menyesakkannya.

Di depan sana, dia bermain piano tanpa repot harus melihat tuts-nya karena ia sudah sangat hapal. Dia lantas menatap sekeliling auditorium, seakan mencari sesuatu yang amat penting.

Seakan dia mempersembahkan musik itu untuk siapa pun yang dicarinya lewat tatapan itu.

Rupanya ia menemukanku, dan tatapan kami bertemu. Ia menatapku dari atas sana, lekat dan intens, dan tatapan khawatir itu kembali menghujamku. Tatapannya menyiratkan banyak hal, namun pada saat yang sama terasa sulit diartikan. Aku tercekat, wanita yang sudah menjadi istrinya itu lantas menghampirinya, menggandeng tangannya dengan mesra dan tekadku untuk pergi ke depan sana luluh lantak begitu saja.

Aku menunduk. Aku tidak bisa melakukannya, tidak dengan situasi saat ini. Aku tidak bisa melihatnya bersanding dengan yang lain dan sialnya mereka tampak serasi.

Jadi aku berbalik, melangkah menjauh dengan air di pelupuk mata.

Musik yang sudah sangat kuhapal iramanya itu memenuhu benakku.

Fur Elise dari Beethoven.

Orang-orang bilang, Beethoven memiliki kisah cinta yang kelam sehingga sang genius menciptakan musik ini. Mereka bilang, Beethoven menciptakan musik ini untuk Elizabeth Roeckel.

Tapi meski begitu, tidak ada yang bisa membenarkannya karena partitur musik ini baru ditemukan 40 tahun setelah Beethoven meninggal.

Meski memiliki alunan musik yang indah, kisah di baliknya amat misterius.

Kemudian, memori di masa lalu itu kembali menyergapku.

"Judul musik ini memang Fur Elise. Tapi kalau Kakak yang memainkannya, judulnya menjadi Fur Lyra."

Kali ini aku sungguhan pergi ke toilet.

Dan menangis sesenggukan disana.

***

Mataku bengkak. Sial. Ini jelas bukan saat yang baik untukku kembali ke pesta itu. Apa yang akan dikatakan orang tuaku?

Mereka pasti heboh kenapa aku menangis.

Aku buru-buru membasuh wajah dan touch up riasan wajahku dengan riasan sederhana ala anak SMA. Tapi itu pun tidak cukup untuk menyembunyikan wajah sembabku. Kondisiku mengenaskan. Dan mataku hampa. Senyum bahkan tidak bisa mencapai mataku saat aku mencoba membentuk kurva itu di bibirku.

Aku menatap diriku melalui pantulan cermin. Gadis remaja dengan gaun kuning mustard itu adalah gadis yang telah ditinggalkan tanpa penjelasan.

Yang meninggalkannya adalah lelaki yang tengah berbahagia di pelaminan di luar sana. Semua orang bersuka cita, tentu saja. Itulah alasan kenapa mereka datang ke pesta ini, untuk berbagi suka cita.

Mendadak aku merasa bahwa tidak seharusya aku datang. Aku bukan datang untuk berbagi suka cita. Sebab aku datang untuk sebuah rasa duka. Aku hanya datang karena, ,

Apa ya?

,, karena dipaksa orang tuaku? Ya, semacam itu. Aku tidak datang dengan sukarela. Satu jam lalu aku masih ada di rumah, bergelung di kasurku yang nyaman sembari memeluk guling dan pura-pura membaca novel untuk mengalihkan perasaan sedihku. Kalau bukan karena Mama mengomel karena aku tidak seperti orang yang berniat datang ke pesta pernikahan, aku juga tidak akan berangkat. Toh pada dasarnya aku memang tidak berniat.

Jadi aku bersiap ala kadarnya, dengan riasan seadanya, dan gaun sewajarnya.

"Yang benar saja, masa kamu tidak se-excited ini ke pernikahannya?"

Mama masih mengomel saat kami hendak memasuki mobil. Papa sudah duduk di kursi kemudi, jadi tidak mendengar bagaimana Mama mengomeliku panjang lebar.

"Kamu sakit?"

"Yeah, sedikit tidak enak badan."

Itu alasanku setengah jam lalu, sebelum mobil melaju pergi. Dengan begitu, Mama tidak lagi menuntut agar aku harus bahagia dan semacamnya.

Dan akhirnya disinilah aku, mengasingkan diri di halaman samping hotel yang sepi, sebab semua orang lebih memilih menikmati pesta di dalam. Aku duduk di salah satu bangku taman, menatap kolam ikan di hadapanku dengan hampa. Saking hampanya, aku tidak lagi merasakan dinginnya udara malam. Aku malah berharap setelah ini masuk angin, dan ada alasan agar besok tidak bertemu siapa-siapa.

Aku meriang, kira-kira begitulah alasanku besok kalau dimintai ini-itu sebagai 'tetangga' dari pengantin yang sedang berbahagia malam ini.

"Aku meriang, aku meriang, merindukan kasih sayang, ,"

Aku menoleh cepat karena suara berat yang menyenandungkan lagu dangdut itu sama sekali tidak matching. Lelaki dengan setelan jas yang rapi dan keren berdiri tak jauh dariku, kedua tangannya di saku. Saat aku menatapnya, ia melirik ke arahku.

"Sedang apa disana?" Tanyanya.

"Duduk," jawabku tak habis pikir. Memangnya kurang jelas apa yang kulakukan?

"Memangnya aku buta?" Ia mendengus. "Semua juga tau kamu sedang duduk."

"Kalau begitu buat apa bertanya?" Lelaki ini menyebalkan juga rupanya.

"Buat apa kamu duduk disana kalau di dalam lebih hangat?"

"Biar masuk angin," jawabku asal. Aku bersandar kembali pada bangku taman yang dinginnya menusuk kulitku. Entah kenapa malam ini dingin sekali. Mungkin karena musim kemarau. Sama sekali tak ingin melanjutkan pembicaraan absurd dengan lelaki random itu.

Hufftttt

"Shit!" Aku berjengit, langsung berdiri, kaget karena tengkukku ditiup kencang. Rambutku sedang disanggul, jadi tengkukku benar-benar terekspos.

"Mulutmu manis juga ternyata." Lelaki itu berdecak dengan tangan bersedekap, menatapku sambil menggeleng tak percaya.

"What the hell are you doing?" Tanyaku emosi.

Lalu dengan tampang tidak berdosanya, ia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Hanya membantumu masuk angin. Siapa tau kamu juga butuh bantuan untuk dikerok."

"Kurang ajar," umpatku kesal.

"Hati-hati dengan mulutmu, gadis kecil." Lelaki itu mendekat, namun untungnya ada kursi taman di antara kami sehingga lelaki itu berhenti dan tangannya bersandar pada punggung kursi. "Mulutmu harimaumu."

"Awasi dirimu sendiri," desisku, menahan diri untuk tidak mengumpat. Lelaki itu sepertinya semakin menyebalkan kalau aku mengumpat. Padahal aku sedang kesal-kesalnya, sedang sedih-sedihnya, sedang marah-marahnya, sedang kecewa-kecewanya, dan butuh pelampiasan. Keberadaan lelaki itu benar-benar mengusikku.

Tanpa menunggu reaksinya, aku berlalu cepat sambil menjinjing gaunku.

"Mau kemana?" Tanyanya tanpa menyusulku.

"Ke dukun, siapa tau kamu butuh disantet," sahutku kesal.

Yang membuatku mulai berpikir betapa konyolnya aku adalah, sudah tau lelaki itu menyebalkan bahkan dari udara yang dihembuskannya, tapi aku masih menyahutinya.

"Silahkan santet saja aku, supaya hatimu bahagia."

"Sinting!" Umpatku.

***

[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status