Share

Masa Lalu Kelam

Adeera mengempaskan tubuhnya di ranjang bersprei hello kitty. Dengan mata tertuju pada ponsel di genggaman. Perlahan, ia menggigit bibir bawah saat pesannya tak kunjung dibalas Elang.

“Lu kemana sih, Lang? Di sekolah kagak ada, di WA kagak dibales. Sebenernya apa sih mau Lu? Sebel gue!“ Adeera mengusap kasar air mata yang tiba-tiba membasahi pipi, lalu melempar ponselnya sembarang.

Diingatnya lagi pembicaraan terakhir mereka dan ia tak merasa dengan sengaja menyakiti hati sahabatnya itu. Adeera mendengkus kasar, Lalu pandangannya teralih pada ponsel yang menyala dan bergetar.

[Hai.]

Satu pesan dari nomor baru masuk ke ponselnya. Alisnya terangkat seketika. Dengan segera ia menekan foto profil nomor itu dan netranya pun melebar saat tahu siapa pemiliknya.

"Reynan ...“ Adeera melongo tak percaya. Ia mengucek mata, lalu memastikan kalau lelaki di foto itu benar-benar Reynan.

[Gue ganggu, ya?]

Pesan kedua yang diterimanya membuat Adeera menggaruk kepala. Pikirannya tertarik mundur ke beberapa jam lalu. Saat pemuda itu menghampirinya.

“Dasar cowok aneh. Apa sih maunya?“ gerutunya sambil memilih mengarsipkan pesan itu.

Adeera sengaja melakukannya. Ia tak mau hatinya terkontaminasi virus merah jambu, apalagi melihat Reynan punya panah pamungkas yang bisa dengan mudah membuat para gadis jatuh cinta. Lagipula ia merasa heran, satu tahun setengah, ia menjadi pelajar tingkat SMA dan selama itu tak ada yang mau berdekatan dengannya. Bobot seratus kilo yang dimilikinya, membuat mereka langsung mundur bahkan kabur.

Adeera kembali merebahkan tubuh. Kini ia mengingat ekspresi Reynan yang tak sama dengan murid lain. Saat banyak pasang mata memasang tatapan intimidasi, pemuda itu justru sebaliknya. Kesan ramah langsung tercetak di wajah rupawannya dan itu meninggalkan kesan tersendiri di hati Adeera.

“Enggak, Adeera. Lu nggak sedang jatuh cinta, cuma heran saja,“ gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Menepis gelenyar yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

“Kalaupun Lu jatuh cinta sama dia, Lu harus sadar diri, Deer. Badan Lu kek sumo, nggak pantes buat dia,“ tambahnya sambil menatap pantulan wajah bulatnya di kamera depan ponsel.

Adeera sepenuhnya sadar bentuk fisiknya saat ini. Tinggi badan 168 cm dan berat yang setara satu kwintal, membuatnya terlihat seperti karung besar, sumo bahkan gulungan kasur. Namun ia tak menyesal dan justru mensyukuri keadaannya saat ini.

Sebenarnya, saat masih duduk di bangku SMP, ia merupakan primadona di sekolah. Badan yang seperti gitar spanyol, sering membuat para pria meneguk ludah saat melihatnya.

Dulu ... Lebih tepatnya dua tahun lalu, ia pernah memiliki tubuh idaman para perempuan. Langsing dengan lekukan di beberapa bagian.

Selain tubuh yang aduhay, paras ayunya juga membuatnya paripurna. Ditunjang dengan status sebagai sekretaris OSIS, membuat namanya semakin dikenal.

Awalnya semua berjalan normal. Adeera sangat mensyukuri anugrah yang dimiliknya itu. Ia juga tak canggung berbaur dalam segala jenis kegiatan OSIS dan organisasi lainnya. Meski terkadang mendapat nasihat pedas dari Elang.

Namun begitulah manusia. Di saat ada yang pro maka ada juga yang kontra. Tak sedikit yang membenci Adeera, termasuk salah seorang guru olahraga yang pernah ditolak cintanya.

Masih terekam jelas di ingatan, hal yang mendasari perubahan dirinya. Semua berawal dari suatu sore saat ia hendak pulang selepas latihan paskibra.

Sekolah sudah tampak sepi. Di parkiran pun hanya ada dua sepeda motor saja. Adeera yang terbiasa pulang sore, berjalan tanpa curiga. Hingga sebuah tangan kekar membekap mulutnya. Menyeretnya ke arah kamar mandi.

Adeera meronta-ronta, menendang apapun yang mengenai kakinya tapi tak berpengaruh apapun. Lelaki itu justru semakin kuat menarik tubuhnya.

“Pak Herlan ....“

Bola mata Adeera seakan ingin loncat dari kelopaknya saat tahu siapa yang membawanya. Lebih terkejut lagi, saat guru olahraga yang berstatus duda muda itu membuka kaosnya. Menampilkan perut bidang dan kotak mirip roti sobek.

“Ba-bapak mau apa?“ tanya Adeera sambil melangkah mundur.

"Aku mau kamu, Adeera.“

Jawaban pria dewasa berumur dua puluh delapan tahun itu membuat tubuh Adeera beringsut mundur seiring dengan deru napas yang melemah.

“Jangan, Pak!“ jeritnya saat tangan kekar sedikit berbulu itu menyingkap rambut sepunggungnya yang terurai. Membuat leher jenjangnya terlihat jelas.

"Pak, Sadar, Pak! Saya ini murid Bapak.“ Adeera menepis tangan itu meski tak berhasil. Bukannya sadar, Herlan justru seperti kesetanan. Ia menarik kasar baju Adeera, membuat gadis itu menjerit-jerit di sela-sela tangisnya.

“Percuma kamu menjerit, Adeera. Orang-orang sudah pada pulang dan tidak akan ada yang mendengarmu. Sekarang, lebih baik kamu diam dan nikmati permainan ini,“ desis Herlan. Adeera menggeleng. Dicengkramnya atasan kemeja yang berbentuk lagi dan kakinya tak tinggal diam. Menendang sekenanya.

“Ayo, lakukan apa maumu, Adeera. Aku justru semakin bergairah melihat sikap berontakmu,“ ucap Herlan disertai seringai tipis. Tangannya kembali menarik baju Adeera, lalu melemparnya keluar.

“Jangan, Pak ...“ Tangis Adeera semakin kuat. Ia terduduk sambil berusaha menutupi bagian atas tubuhnya.

“Ayo, Sayang ... nikmatilah semua permainan ini.“

Adeera menggeleng dengan mata terpejam. Dalam hatinya merapal doa juga nama Elang. Berharap lelaki itu datang dan menyelamatkan, meski rasanya mustahil.

“Adeera, Sayang ....“

Tangan Herlan terulur hendak menyentuh bagian atas Adeera tapi kemudian pintu terbuka. Seorang pemuda remaja masuk dengan mata memerah.

“Elang ...“

Adeera terharu bukan main, melihat sahabat yang diharapkannya datang menyelamatkan. Lalu jeritannya kembali melengking ketika Elang menghajar Herlan tanpa ampun. Meski tubuh Herlan jauh lebih besar darinya, tapi Elang mampu mengimbangi bahkan membuat pria dewasa itu lari tunggang-langgang.

“Lang ...“ Adeera menatap punggung sang sahabat yang masih naik turun, meredam emosi.

“Lang ....“

Elang menghela napas dalam-dalam, lalu melepaskan baju seragam dan menyerahkannya pada Adeera.

“Pake!“ serunya.

“Tapi Lu ...“

“Gue kan masih pake oblong. Udah cepetan, jangan banyak nanya.“

Adeera mengangguk dan segera mengenakan baju Elang yang cukup longgar di tubuhnya.

“Udah belom?“ tanya Elang.

“U-udah,“ jawab Adeera, terbata. Remaja laki-laki itu sontak membalikkan tubuh, menatap Adeera dengan gurat kekhawatiran.

“Makasih, Lang,“ ucap Adeera.

Elang mengangguk lalu menggenggam tangan halus itu. Membawanya meninggalkan komplek sekolah.

“Kok Lu tau, gue masih di sekolah?“ tanya Adeera saat mereka tengah menunggu angkutan kota.

“Itu kagak penting. Yang penting sekarang Lu aman dan selamat,“ jawab Elang membuat Adeera mengerucutkan bibirnya.

Esoknya, Adeera dan Elang dipanggil ke ruang kepala sekolah. Bukan untuk diminta keterangan sebagai korban, tapi sebaliknya. Entah apa yang dikatakan Herlan hingga membuat sepasang sahabat itu dikeluarkan saat itu juga.

“Kenapa bisa Anda mengeluarkan mereka tanpa menyelidiki lebih dulu?“ tanya Anjas—ayah Adeera.

“Iya, Pak. Apa tidak sebaiknya Bapak telusuri dulu? Mana mungkin adik saya dan sahabatnya ini—“

“Saya tidak perlu menelusuri apapun. Keputusan saya sudah final, siapapun yang mencoba mencoreng nama baik sekolah maka dia akan dikeluarkan.“ Kepala sekolah dengan cepat memotong ucapan Anggun—kakaknya Elang. Membuat perempuan bertubuh semampai itu melotot geram.

“Jadi menurut Anda, lebih baik menjaga citra sekolah daripada masa depan murid? Begitu?“ tanya Anggun.

“Picik. Sangat picik. Sia-sia saja kami datang ke sini kalau ujung-ujungnya suara kami tak didengar sama sekali,“ timpal Anjas.

“Betul, Pak. Lebih baik kita pulang dan biarkan sekolah ini membu suk karena ulahnya sendiri,“ ujar Anggun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status