Getar gawai membuyarkan kembali pikiran Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya.
Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan.“Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.“Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket.“Iya biasa, belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu, akhirnya Evan memberanikan diri mengejar dan bertanya di luar batasnya sebagai seorang tukang ojol.“Bu, maaf … mau tanya. Apa majikan ibu itu mantan model, ya? Soalnya Mama saya dulu ngefans banget sama dia. Tadi saya lihat dia keluar rumah yang Ibu tempati."Perempuan itu mengernyit lalu tertawa.“Oh bukan, Mas. Yang Bu Niki itu, dia itu mungkin pacarnya Tuan Hangga Mas, atau mungkin sudah nikah, entahlah. Gak paham juga. Tuan saya itu pebisnis, Mas. Dia punya perusahaan.” Perempuan itu menjelaskan tanpa curiga jika ada hal yang ingin Evan ketahui.“Oh, kirain dia majikan, Ibu. Tadinya mau titip minta tanda tangan buat Mama saya, Bu. Buat hadiah ulang tahun dia.” Evan beralibi agar perempuan yang tadi diboncengnya tak curiga.“Oalah, kalau gitu nanti saya mintakan, Mas. Dia memang tinggal di rumah Tuan saya, Mas. Namun sesekali suka pulang ke rumahnya.” Perempuan itu tampak tulus ingin membantu Evan.“Makasih banyak ya, Bu. Lain kali kalau mau order ojol bisa chat dulu ke nomor saya kalau Ibu sudah dapetin tanda tangan sama fotonya. Pasti Ibu saya seneng banget.” Evan tersenyum, tetapi wajahnya yang tertutup masker hanya mampu menunjukkan kedua netra indahnya yang menyipit."Oke, Mas. Ibu belanja dulu, ya, Mas.""Iya, silakan, Bu. Makasih atas waktunya.""Sama-sama, Mas."Evan pun meninggalkan perempuan paruh baya yang sudah bergegas masuk ke dalam super market. Benar rupanya kecurigaan yang dia simpan selama ini. Perempuan yang sudah menyebabkan ibunya pergi dari rumah ada hubungannya dengan foto-foto yang sampai pada Tuan Gasendra---ayahnya. Foto pesaing bisnisnya yang tampak begitu mesra dan intim berdua dengan ibunya.“Jangan panggil namaku Evander Gasendra kalau tak bisa membuat kamu membuka mata, Pah. Jangan panggil aku Evander Gasendra kalau tak bisa kembali menemukan Mama dan membawanya kembali ke rumah kita. Jangan panggil aku Evander Gasendra kalau aku hanya seperti kerbau yang dicucuk hidung dan mengiyakan semua yang ada di depan mata.” Evan bergumam dalam dada seraya melajukan sepeda motornya. Satu titik sepertinya akan segera terbuka. Meskipun dia belum bisa menebak sekusut apa benang yang saling terhubung di antaranya.***Menjelang sore, sepeda motornya sudah terparkir kembali di depan perusahaan Gasendra Grup. Dia sengaja bersembunyi di belakang bus jemputan yang memang beberapa sudah terparkir di sepanjang jalan. Evan menunggu orderan dari Kasih masuk. Tak berapa lama, notifikasi masuk. Evan langsung melajukan sepeda motornya dan parkir di depan gerbang.Kasih tampak berlari tergesa. Evan hanya menggeleng kepala. Kenapa juga perempuan itu harus berlari-lari hanya karena melihatnya sudah berada di sana.Evan menyodorkan helmnya, Kasih mengambil tanpa berbicara apa-apa. Lalu keduanya melaju meninggalkan gerbang.“Pak Reyvan, aku tunggu di café biasa, ya! Aku duluan.” Vania melambaikan tangan pada Reyvan yang dipanggil ke ruangan Tuan Gasendra. Ada beberapa hal yang ingin dibicarakan katanya.“Oke, pesankan saja dulu, ya! Aku pasti datang!” Reyvan tersenyum pada gadis cantik, pintar dan memang selalu menarik perhatian itu.“Oke, siip!” tukas Vania.Dia berjalan meninggalkan kubikelanya dan melangkah santai menuju mobilnya. Dia menelpon Ayah dan meminta izin pulang telat dengan alasan ada meeting di kantor. Ayah pun pastinya akan percaya begitu saja. Vania adalah anak kebanggaan dan anak kesayangannya.Mobil yang dikendarainya melaju cepat meninggalkan gerbang, beberapa menit setelah sepeda motor yang membawa Kasih berbelok di tikungan.Kasih masih duduk dengan gelisah. Dia ingat sore ini Evan akan mengajaknya untuk mengobrol terkait tawaran yang sebetulnya tak masuk akal.“Mas, ngobrolnya di motor saja, ya? Kalau mampir-mampir nanti aku pulang telat.” Kasih yang memang sebetulnya penasaran pada rencana Evan memberikan penawaran.“Apa?! Lo ngomong apa?” Tiupan angin membuat suara Kasih tak terdengar samar.“Apa, Mas?” Kasih pun sama-sama tak mendengar dengan jelas.“Gak denger, tar aja ngobrolnya.” Evan menarik gas dan melajukan dengan kecepatan maksimal.Sebuah café langganannya, tempat nongkrong bersama dua kawannya menjadi pilihan. Enggan pusing dan mencari tempat lain. Evan meminta Kasih untuk turun.“Lo ngomong apa, tadi?” Evan menatap Kasih yang baru saja membuka helm.“Hmmm … enggak apa-apa.” Kasih menggeleng kepala.Evan menyimpan helmnya dan bergegas masuk ke dalam café. Kasih mengikutinya dengan perasaan asing. Tak pernah dia masuk ke tempat dengan kesan ekslusif seperti ini. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam ketika keduanya duduk dan memilih menu.Namun belum sempat mereka memilih, terdengar suara seseorang yang dikenalnya dari arah pintu masuk.“Ck, Ck, Ck! Memang pantes sih kalau OB sama tukang ojek,” kekeh Vania yang rupanya menuju café yang sama.Wajah Kasih memucat. Dia menatap Vania yang sudah berdiri di dekat mejanya dan memandang mereka dengan tatapan remeh.“Mas, kita pergi saja, ya!” Kasih berdiri, lalu segera hendak melangkah meninggalkan tempat itu. Namun Vania menahannya lalu mengambil fotonya yang berdiri di saming Evan yang masih mengenakan pakaian ojol.“Mbak, kamu mau ngapain, sih? Aku juga gak ganggu kamu!” Kasih berusaha merebut gawai Vania.“Aku Cuma ingin lihat ekspresi ayah kalau tahu anak yang tak punya bakat ini, rupanya memang benar-benar tak bisa dibanggakan. Kerja kelas rendahan, eh cari cowok seleranya rendahan juga,” kekeh Vania seraya melirik Evan yang masih mengenakan masker dan belum sempat membukanya.“Mas, ayo pergi!” Kasih bergegas meninggalkan kafe tersebut. Percuma beradu debat dengan Vania. Apapun pastinya dia yang akan dibela ayah nantinya.“Iyalah, café ini terlalu mewah buat kalian! Nanti kasihan kalau gak kuat bayar!” kekeh Vania seraya duduk pada tempat bekas Kasih duduk tadi.Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya.“Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan.Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan. Vania belum sempat menjawab lagi ketika Evan membalikkan badan dan langsung melangkah keluar. Dia langsung menuju ke tempat di mana sepeda motornya terparkir tadi. Mungkin saja Kasih ada di sana. Namun rupanya gadis yang dicarinya tak ada. Evan memutar pandang ke sekitar. Menelisik kemungkinan keberadaan gadis yang tengah terluka itu. “Dasar cewek!” gerutu Evan seraya mengambil gawai. Dia langsung menelpon nomor Kasih yang memang pernah menghubunginya. Agak sedikit lama mencarinya karena Evan memang belum menyimpan nomor Kasih. Hanya ada empat nomor pada gawai barunya, nomor dua sahabatnya, dirinya dan Mama. Entah kenapa ada gerak dari hati yang mengatakan jika dirinya perlu peduli. Dia mendekatkan gawai itu ke telinganya, ada bunyi tersambung. Evan menun
“Kalau lo udah kayak gini, berarti lo udah siap jadian sama gue! Kita patahkan keangkuhan kakak lo yang sombong itu!” tukas Evan tenang dan datar. Sontak membuat Kasih menelan saliva karena merasa gugup luar biasa. “J--jadian?”Kasih menatap wajah tampan yang membuatnya penuh debar itu. “Ya, gue butuh seorang perempuan tangguh dan yang penting gak matre kayak lo untuk berada di sisi gue. Kalau lo keberatan untuk selamanya, gue juga gak maksa, kok. Kita bisa nikah dengan perjanjian. Yang penting gue bisa bawa lo ke depan bokap dan ngakuin lo jadi calon istri. Lo mau kan nikah sama gue?” Evan berucap dengan tenang. Seolah tak ada getar apapun dari dalam dadanya. “N--nikah?”Kasih menatap Evan tak percaya. “Kita bisa kerja sama. Walaupun gue tahu lo gak cinta sama gue, Kasih. Namun kesombongan kakak lo juga bikin gue gemes. Seolah hidup dia paling mulia dan paling beruntung. Baru jadi staff saja sudah belagu kayak gitu.”Evan berucap datar. “Kerja sama gimana?” Kasih menatap Evan. Bing
Tuan Gasendra masih menempelkan gawai pada daun telinganya. Terdengar suara seseorang yang begitu dia rindukan dari seberang sana. Ketiadaan Evan di rumah itu semenjak kepergian istrinya, membuat hari-harinya terasa kosong. Rasa rindu seorang ayah pada anaknya tak bisa dielakkan. Ya, Tuan Gasendra begitu merindukan kehadiran Evan di rumah itu. “Pah ini Evan!” “Evan! Akhirnya kamu menghubungi Papa juga! Di mana kamu tinggal sekarang, Nak? Papa jemput pulang, ya!” Suara Tuan Gasendra bergetar.Akhir-akhir ini jangankan bisa mengobrol seperti sekarang. Setiap kali dirinya menelpon, Evan selalu menolak panggilannya. Bahkan karena sudah tak tahan merindukan putranya itu, Tuan Gasendra pada akhirnya meminta Kasih untuk berlangganan ojol yang dia kenal betul sosoknya. Setidaknya dia bisa memandang putranya setiap pagi dari balik tirai lobi. “Aku mau ketemu, Pah! Aku mau Papa batalkan rencana perjodohan aku dengan keponakan Tante Niki. Seperti yang aku bilang sama Papa. Aku akan mencari se
“Yah, Kasih berangkat dulu!” Kasih mencium punggung tangan Ayah. “Sama si tukang ojol itu?” Vania yang baru saja keluar turun dari tangga tersenyum miring. “Dia itu punya nama, Mbak.” Kasih mendelik. Hatinya merasa tergores tatkala kakak perempuannya selalu memandang rendah siapapun dari kaca mata dia. Vania tertawa lalu berjalan mendekat ke arah Kasih dan Ayah.“Ciee marah … lagian gak penting juga buat aku tahu nama si tukang ojol itu. Gak level,” kekeh Vania seraya duduk pada sofa dan mengambil pisang goreng yang tersedia di atas meja. “Iya mending Mbak gak usah tahu namanya, dari pada nanti shock lebih cepat karena sudah menghinanya.” Kasih tersenyum miring. Rasanya ingin segera melihat wajah Vania yang pucat pasi ketika dirinya hadir sebagai istri dari seorang Evander Gasendra---putra satu-satunya dari pemilik perusahaan tempat Vania bekerja. “Eh, Yah! Dia udah berani sombong coba. Jangan-jangan dia lagi berkhayal kalau si tukang ojol itu anak konglomerat yang lagi nyamar ka
Tak banyak yang mereka obrolkan. Suasana pertemuan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan awalnya Evan menolak untuk makan dulu di sana, tetapi melihat sorot mata penuh harap dan seorang ayah yang tampak begitu kehilangan. Akhirnya membuat Kasih tak tega. “Mas, aku laper! Di rumah jarang ada makanan enak kayak gini,” bisik Kasih ketika Tuan Gasendra baru saja mendengar penolakan Evan. “Kita pulang, nanti makan di luar!” bisik Evan dengan mata memandang ke sembarang. “Makanlah dulu, Van! Papa minta maaf atas semua yang sudah papa lakukan! Papa ‘kan sudah merestui kamu untuk menikahi perempuan pilihan kamu! Jadi Papa mohon kembalilah! Tinggalah lagi di rumah ini!” tukasnya seraya menatap penuh harap. Hati kecil Kasih tak tega. Gelayut rasa sedih dan rasa sesal tampak begitu nyata di mata lelaki paruh baya yang rupanya tak mengenalinya itu. “Ck! Bukankah biasanya Papa lebih senang makan semeja dengan Tante Niki yang katanya selalu kesepian? Bukankah Papa lebih sayang Reyvan yang ta
Evan baru saja selesai mengutarakan niat baiknya untuk melamar Kasih pada Ayah dan Ibu. Lelaki paruh baya itu menatap Evan.“Apa yang kamu bisa berikan untuk membahagiakan Kasih? Hmmm apa sudah punya rumah?” Ayah menatap Evan dengan tatapan menimbang. “Saya ada rumah, tapi rumah orang tua, Yah. Kebetulan masih ada kamar kosong untuk kami tinggal,” jelas Evan. Ayah terdiam sejenak, Ibu hanya duduk diam mendengarkan. Kasih menunduk di samping Evan. Dia merasa tak enak ketika pertanyaan ayah seolah begitu meremehkan. Sudut mata Kasih melirik ke arah gorden yang bergerak-gerak di dalam, tampak Vania tengah bersandar di samping jendela kaca rupanya dan menguping pembicaraan. “Apa ada rencana punya rumah sendiri?” Ayah kembali memastikan. “Ada, tapi baru rencana sih, Yah.” Evan menjawab santai. “Hmmm … kalau boleh saya tahu, penghasilan dari hasil narik ojol ini berapa rupiah per bulan?” tanya Ayah lagi seolah tengah mengintrogasi tahanan.“Ayah!” Kasih melayangkan protes. Namun lelaki
#Gadis Bodoh Jadi Primadona (14)(ADIK YANG KAU SEPELEKAN, MENJADI MENANTU BOS BESAR)Selamat membaca! Ayah dan Ibu saling bertukar pandang. Ayah meminta sertifikat rumah pada Kasih untuk dia periksa. Sontak kedua netranya membelalak. Berulang kali Ayah menelan saliva melihat harga rumah yang tertera dan disebutkan dibeli dengan tunai atas nama Evander Gasendra. Kedua alis ayah saling bertaut. Dia menatap Evan, lalu menautkan kedua alisnya dan menatap tajam pada lelaki itu. Sayangnya memang tak curiga, jika nama belakang yang dipakai oleh Evan adalah nama belakang keluarga konglomerat yang kaya raya. “Apa benar ini rumah kamu? Bagaimana seorang tukang ojol bisa membeli tunai rumah semewah ini? Kamu gak melakukan tindak kejahatan kan? Nama kamu juga sok keren, ya? Pakai embel-embel Gasendra? Sayang beda nasib, mereka jadi konglomerat kamu cuma narik ojol!” Ayah tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Ayah jangan khawatir. Rumah itu dibeli cash dari uang halal. Kakek dan Nenek y
"Hallo, Vania! Aku jemput sekarang, ya! Kita ke gedung resepsi berangkat awal saja!” Suara Reyvan terdengar dari seberang gawai yang baru saja diangkatnya. “Hmmm … tapi Pak, adikku juga belum mulai akadnya! Masih di make up sama MUA.” Vania yang tengah duduk bareng Ayah dan beberapa keluarga yang tak henti memujinya sedikit gamang.Awalnya dia akan menghadiri dulu akad Kasih lalu ikut ke gedung resepsi yang katanya gratisan itu. Sebentar saja di sana, setelahnya barulah ke tempat resepsi putra pemilik perusahaan yang mana undangannya sudah tersebar secara digital ke seluruh staff perusahaan. Namun ajakan Reyvan membuat Vania akhirnya bimbang. “Aku sudah di depan, ya! Mau masuk, kok banyak orang! Lagi ada acara apa?" tanya Reyvan yang tak tahu jika Kasih menikah. "Acara kumpul keluarga aja, hmmm bentar ya, Pak. Aku siap-siap dulu!" Vania berbohong. Vania menoleh pada Ayah yang tengah berbincang. “Yah, kalau aku gak saksiin akad Kasih apa boleh?” tanya Vania ragu. Bagaimanapun dia