"Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya.
“Lu jadian sama gue!” tukas Evan.“Ih, kok jadi kesitu.” Kasih menautkan alis. Bingung dengan rencana Evan yang diluar nalarnya.“Kalau gak mau, ya sudah! Kalau lu setuju tinggal bilang gue. Gue juga gak maksa, cuma mau bantu lu dan lu juga bisa bantu gue!” Evan mengedik santai. Dia melenggang menuju sepeda motornya dan segera menyalakannya.“Aku gak ngerti rencananya kayak gimana. Lagian maen jadian aja. Kenal aja baru seminggu. Lihat muka kamu aja belum, Mas. Sama aja kayak beli kucing dalam karung.” Kasih menggerutu seraya cemberut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang ada di depannya saat ini. Evan terkekeh, kedua matanya tampak menyipit.“Syukurlah kalau lu gak ngerti. Berarti lu gak mencurigai apapun tentang gue. Atau lu gak mau jadian sama gue karena gue cuma tukang ojol yang miskin?” Evan menarik satu alisnya ke atas.“Ih, kok kamu ngomongnya gitu, sih, Mas? Aku jadi takut. Jangan-jangan kamu itu penjahat, ya? Lagian gak usah ngomong-ngomong miskin kaya. Kamu pikir aku orang kaya? Kan aku dah bilang kalau aku ini selain miskin juga tersisih di keluarga.” Kasih mendelik kesal. Dia segera memakai helm dan naik ke atas boncengan sepeda motor Evan.Hening. Perjalanan kali ini tak terlalu banyak percakapan. Hingga akhirnya mereka tiba di gerbang perusahaan dan seperti biasa, Kasih menyerahkan helm ojol berwarna hijau itu pada Evan.“Kasih, gue serius sama yang tadi. Kita bisa saling menguntungkan karena memang gue juga lagi butuh sosok seperti lu untuk mematahkan kearogansian seseorang. Andai Lu mau, bilang ke gue. Kita bisa saling bantu.” Evan berucap panjang lebar.“Yang tadi yang mana, sih?” Kasih menautkan alis. Dia ingatnya sepanjang perjalanan hanya saling terdiam.“Ck! Sore nanti gue jemput, terus gue mau ajak ngobrol lu serius. Sekalian lu mau tau wajah gue kan? Biar gak kayak beli kucing dalam karung. Dandan yang cantik, karena tar sore lu mau jalan sama orang ganteng.” Evan menaikkan lagi satu alisnya lagi ke atas.“Iya, deh! Gimana tar sore aja. Lagian aku sih dandan gak dandan juga tetep aja kayak gini,Mas. Kamu kalau mau nyari yang cantik tuh ajak Mbak Vania jalan. Dia kan selalu cantik dan mempesona gak kayak aku yang bulukan.” Kasih berucap santai lalu berjalan meninggalkan Evan yang menatap punggungnya. Namun sorot matanya beralih pada tirai putih yang tampak bergerak di balik lobi kantor perusahaan. Evan tersenyum miring karena dia mengenali sosok yang barusan menyingkap tirai itu.Evan tak berlama-lama dan langsung melajukan kembali sepeda motornya meninggalkan tempat itu. Dia bergegas sambil terus mencari jejak seseorang yang dia rindu. Tentunya sambil menunggu project yang dia bangun bersama beberapa sahabatnya mulai berjalan.Evan duduk di atas sepeda motornya di depan sebuah minimarket. Lalu mengambil gawai dan memeriksa grup WA yang hanya memiliki tiga anggota itu. Dirinya, Agra dan Dion. Saat ini Agra masih membuat design tempat untuk mereka membuka usaha.[Woy, Bro! Lihat ini final design dari gue. Konfirm segera oke atau enggak. Gue mau cari kontraktor buat jalan.] tulis Agra.[Nanti gue check. Lagian bangunan doang sih bisa santuy. Yang terpenting sudah berapa calon customer yang sudah digebet?] Evan membalas pada WAG yang terdiri dari tiga orang itu.[Calon customer naik lagi nih 25%. Lu budgetnya siapin saja buat genjot iklan sama buat biaya operasional jangan sampai malu-maluin gue yang sudah keliling cari customer.] balas Dion yang bertugas sebagai marketing.[Ck! Besok kita meeting. Gue lagi masih keliling nyari petunjuk.] Evan menutup percakapan. Dia kembali memandang jalanan. Berharap dia bisa segera menemukan sosok yang sudah menghilang akibat kesalahan yang ayahnya lakukan.“Mam, kamu pergi ke mana, sih?” Evan menggumam seraya menghela napas kasar. Sekelebat bayangan membuatnya kembali teringat awal mula semua kegundahan ini bermulai.***“Mami, dia itu istri dari almarhum Hermawan, Mih! Papi cuma kasihan sama dia! Dia gak punya siapa-siapa lagi selain kita! Kalau Mami sering cemburu buta kayak gini, Papi jadi curiga. Jangan-jangan yang dibilang Niki selama ini benar.” Tuan Gasendra menatap dengan penuh kekesalan dan curiga ketika lagi-lagi Humairah Syahnaz---sang istri melarangnya untuk membelikan kebutuhan yang diminta adik iparnya---Niki.“Oh, jadi Papi sekarang lebih belain perempuan itu, Pih! Papi lebih percaya dia! Papi lebih percaya foto-foto penuh rekayasa itu! Di mana otak Papi, sih? Atau jangan-jangan benar apa yang Mami pikirkan jika Papi sebenernya mengharapkan Niki itu jadi istri Papi, hah? Apa yang sudah dia berikan sama Papi sampai-sampai Papi lebih mementingkan dia dari pada Mami dan Evan?” Suara Syahnaz meninggi.Evan yang baru pulang kuliah saat itu memijit pelipisnya. Lagi-lagi orang tuanya memperdebatkan hal itu berulang.“Ck! Sepertinya kamu ini semakin berani saja nuduh kayak gitu sama Papi! Papi itu sayang Niki dan Reyvan karena mereka masih keluarga Papi. Kamu jangan egois, Mih! Coba andai kamu yang diposisi Niki. Membesarkan anak seorang diri tanpa suami. Apa yang Mami rasakan?! Mami harusnya lebih bisa mengerti dari pada Papi karena Mami seorang perempuan!” Tuan Gasendra masih bertahan dengan apa yang dia yakini benar.“Kenapa Papi lebih memikirkan perasaan wanita itu dari pada Mami? Kenapa pertanyaannya tidak dibalik. Bagaimana jika dia yang di posisi Mami? Bagaimana jika suami yang dicintainya lebih mementingkan mantan adik ipar dari pada istrinya? Bagaimana perasaan jika suami yang dicintainya sering sekali duduk berdua dengan mantan adik iparnya yang selalu menjual kesedihan untuk mendapatkan simpatik? Bagaimana jika dia di posisi Mami? Kenapa Papi lebih memikirkan dia dan membela dia dari pada Mami, istri Papi sendiri? Atau Papi perlu Mami untuk pergi biar Papi mengerti kalau Mami sudah gak tahan dengan semua ini?” Syahnaz kembali meradang.“Pergilah kalau berani. Satu langkah kamu melangkah ke luar rumah ini tanpa izin Papi. Jangan berharap Papi akan menerima kamu kembali ketika penyesalan itu datang! Pergilah biar Mami puas dan merasa menang. Namun jangan harap mengubah keputusan Papi untuk tetap menampung mereka di rumah ini. Mereka akan tetap di sini." Suara Tuan Gasendra terdengar datar dan penuh penekanan. Jiwanya yang sedang penuh emosi tak bisa berpikir dengan tenang.***Getar gawai membuyarkan kembali lamunan Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya.Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan.“Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.Getar gawai membuyarkan kembali pikiran Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya. Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan. “Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.“Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket. “Iya biasa, belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu, akhirnya Evan mem
Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan. Vania belum sempat menjawab lagi ketika Evan membalikkan badan dan langsung melangkah keluar. Dia langsung menuju ke tempat di mana sepeda motornya terparkir tadi. Mungkin saja Kasih ada di sana. Namun rupanya gadis yang dicarinya tak ada. Evan memutar pandang ke sekitar. Menelisik kemungkinan keberadaan gadis yang tengah terluka itu. “Dasar cewek!” gerutu Evan seraya mengambil gawai. Dia langsung menelpon nomor Kasih yang memang pernah menghubunginya. Agak sedikit lama mencarinya karena Evan memang belum menyimpan nomor Kasih. Hanya ada empat nomor pada gawai barunya, nomor dua sahabatnya, dirinya dan Mama. Entah kenapa ada gerak dari hati yang mengatakan jika dirinya perlu peduli. Dia mendekatkan gawai itu ke telinganya, ada bunyi tersambung. Evan menun
“Kalau lo udah kayak gini, berarti lo udah siap jadian sama gue! Kita patahkan keangkuhan kakak lo yang sombong itu!” tukas Evan tenang dan datar. Sontak membuat Kasih menelan saliva karena merasa gugup luar biasa. “J--jadian?”Kasih menatap wajah tampan yang membuatnya penuh debar itu. “Ya, gue butuh seorang perempuan tangguh dan yang penting gak matre kayak lo untuk berada di sisi gue. Kalau lo keberatan untuk selamanya, gue juga gak maksa, kok. Kita bisa nikah dengan perjanjian. Yang penting gue bisa bawa lo ke depan bokap dan ngakuin lo jadi calon istri. Lo mau kan nikah sama gue?” Evan berucap dengan tenang. Seolah tak ada getar apapun dari dalam dadanya. “N--nikah?”Kasih menatap Evan tak percaya. “Kita bisa kerja sama. Walaupun gue tahu lo gak cinta sama gue, Kasih. Namun kesombongan kakak lo juga bikin gue gemes. Seolah hidup dia paling mulia dan paling beruntung. Baru jadi staff saja sudah belagu kayak gitu.”Evan berucap datar. “Kerja sama gimana?” Kasih menatap Evan. Bing
Tuan Gasendra masih menempelkan gawai pada daun telinganya. Terdengar suara seseorang yang begitu dia rindukan dari seberang sana. Ketiadaan Evan di rumah itu semenjak kepergian istrinya, membuat hari-harinya terasa kosong. Rasa rindu seorang ayah pada anaknya tak bisa dielakkan. Ya, Tuan Gasendra begitu merindukan kehadiran Evan di rumah itu. “Pah ini Evan!” “Evan! Akhirnya kamu menghubungi Papa juga! Di mana kamu tinggal sekarang, Nak? Papa jemput pulang, ya!” Suara Tuan Gasendra bergetar.Akhir-akhir ini jangankan bisa mengobrol seperti sekarang. Setiap kali dirinya menelpon, Evan selalu menolak panggilannya. Bahkan karena sudah tak tahan merindukan putranya itu, Tuan Gasendra pada akhirnya meminta Kasih untuk berlangganan ojol yang dia kenal betul sosoknya. Setidaknya dia bisa memandang putranya setiap pagi dari balik tirai lobi. “Aku mau ketemu, Pah! Aku mau Papa batalkan rencana perjodohan aku dengan keponakan Tante Niki. Seperti yang aku bilang sama Papa. Aku akan mencari se
“Yah, Kasih berangkat dulu!” Kasih mencium punggung tangan Ayah. “Sama si tukang ojol itu?” Vania yang baru saja keluar turun dari tangga tersenyum miring. “Dia itu punya nama, Mbak.” Kasih mendelik. Hatinya merasa tergores tatkala kakak perempuannya selalu memandang rendah siapapun dari kaca mata dia. Vania tertawa lalu berjalan mendekat ke arah Kasih dan Ayah.“Ciee marah … lagian gak penting juga buat aku tahu nama si tukang ojol itu. Gak level,” kekeh Vania seraya duduk pada sofa dan mengambil pisang goreng yang tersedia di atas meja. “Iya mending Mbak gak usah tahu namanya, dari pada nanti shock lebih cepat karena sudah menghinanya.” Kasih tersenyum miring. Rasanya ingin segera melihat wajah Vania yang pucat pasi ketika dirinya hadir sebagai istri dari seorang Evander Gasendra---putra satu-satunya dari pemilik perusahaan tempat Vania bekerja. “Eh, Yah! Dia udah berani sombong coba. Jangan-jangan dia lagi berkhayal kalau si tukang ojol itu anak konglomerat yang lagi nyamar ka
Tak banyak yang mereka obrolkan. Suasana pertemuan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan awalnya Evan menolak untuk makan dulu di sana, tetapi melihat sorot mata penuh harap dan seorang ayah yang tampak begitu kehilangan. Akhirnya membuat Kasih tak tega. “Mas, aku laper! Di rumah jarang ada makanan enak kayak gini,” bisik Kasih ketika Tuan Gasendra baru saja mendengar penolakan Evan. “Kita pulang, nanti makan di luar!” bisik Evan dengan mata memandang ke sembarang. “Makanlah dulu, Van! Papa minta maaf atas semua yang sudah papa lakukan! Papa ‘kan sudah merestui kamu untuk menikahi perempuan pilihan kamu! Jadi Papa mohon kembalilah! Tinggalah lagi di rumah ini!” tukasnya seraya menatap penuh harap. Hati kecil Kasih tak tega. Gelayut rasa sedih dan rasa sesal tampak begitu nyata di mata lelaki paruh baya yang rupanya tak mengenalinya itu. “Ck! Bukankah biasanya Papa lebih senang makan semeja dengan Tante Niki yang katanya selalu kesepian? Bukankah Papa lebih sayang Reyvan yang ta
Evan baru saja selesai mengutarakan niat baiknya untuk melamar Kasih pada Ayah dan Ibu. Lelaki paruh baya itu menatap Evan.“Apa yang kamu bisa berikan untuk membahagiakan Kasih? Hmmm apa sudah punya rumah?” Ayah menatap Evan dengan tatapan menimbang. “Saya ada rumah, tapi rumah orang tua, Yah. Kebetulan masih ada kamar kosong untuk kami tinggal,” jelas Evan. Ayah terdiam sejenak, Ibu hanya duduk diam mendengarkan. Kasih menunduk di samping Evan. Dia merasa tak enak ketika pertanyaan ayah seolah begitu meremehkan. Sudut mata Kasih melirik ke arah gorden yang bergerak-gerak di dalam, tampak Vania tengah bersandar di samping jendela kaca rupanya dan menguping pembicaraan. “Apa ada rencana punya rumah sendiri?” Ayah kembali memastikan. “Ada, tapi baru rencana sih, Yah.” Evan menjawab santai. “Hmmm … kalau boleh saya tahu, penghasilan dari hasil narik ojol ini berapa rupiah per bulan?” tanya Ayah lagi seolah tengah mengintrogasi tahanan.“Ayah!” Kasih melayangkan protes. Namun lelaki
#Gadis Bodoh Jadi Primadona (14)(ADIK YANG KAU SEPELEKAN, MENJADI MENANTU BOS BESAR)Selamat membaca! Ayah dan Ibu saling bertukar pandang. Ayah meminta sertifikat rumah pada Kasih untuk dia periksa. Sontak kedua netranya membelalak. Berulang kali Ayah menelan saliva melihat harga rumah yang tertera dan disebutkan dibeli dengan tunai atas nama Evander Gasendra. Kedua alis ayah saling bertaut. Dia menatap Evan, lalu menautkan kedua alisnya dan menatap tajam pada lelaki itu. Sayangnya memang tak curiga, jika nama belakang yang dipakai oleh Evan adalah nama belakang keluarga konglomerat yang kaya raya. “Apa benar ini rumah kamu? Bagaimana seorang tukang ojol bisa membeli tunai rumah semewah ini? Kamu gak melakukan tindak kejahatan kan? Nama kamu juga sok keren, ya? Pakai embel-embel Gasendra? Sayang beda nasib, mereka jadi konglomerat kamu cuma narik ojol!” Ayah tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Ayah jangan khawatir. Rumah itu dibeli cash dari uang halal. Kakek dan Nenek y