Share

GADIS KESAYANGAN TUAN MUDA
GADIS KESAYANGAN TUAN MUDA
Penulis: Lia M Sampurno

Bab 1 Gara-gara Utang

Bianca pulang dengan peluh yang  bercucuran di dahinya. Saat pintu terbuka sudah disambut seringaian dari sang ayah.

“Akhirnya kau pulang juga Bian. Mana duit?” ujar Tyo  sambil menjulurkan tangan. Bianca yang kehausan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan perkataan ayahnya.

“Bian! Kau tuli apa?!”

Tyo menyusul sang putri yang tidak memedulikannya. Ditariknya lengan kurus itu hingga Bianca hampir terpelanting

“Aku belum gajian, Pak. Kalau pun aku punya uang juga itu buat kita makan, bukan untuk modal judimu,” jawab Bianca tanpa peduli dengan etika.

“Hei, anak tak tau diuntung! Harusnya kau berterima kasih karena sudah aku besarkan. Sini berikan aku duit!” teriak Tyo sambil menarik tas selempang dari pundak Bianca. Bianca coba mepertahankan, hingga talinya putus dan isinya berhamburan. Tyo segera menyambar dompet Bian yang tercecer. Bianca melihat itu dengan mata nanar dan napas yng memburu karena kesal.

Tyo segera membuka dompet itu dan mengambil lima lembar berwarna biru. Bianca mendekat ingin mengambil kembali uangnya, tetapi Tyo merentangkan tangannya jauh-jauh.

“Kembalikan, Pak. Hanya itu sisa uangku.” Bianca menarik lengan ayahnya.

“Uhuk! Uhuk!” Terdengar suara batuk dari kamar Marni—ibunya Bianca.

“Aku juga belum beli obat buat Ibu.” Bianca mencoba membujuk sang ayah.

 “Halah … kalau kau kasian sama ibumu, sana cari lagi duit yang banyak!” sergah Tyo. Sia-sia rasanya bagaimanapun Bianca membujuk.

Tok! tok! Tok!

Terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Makin lama semakin keras ketukannya.

“Sana buka!” ujar Tyo. Bianca beranjak setelah sebelumnya menghapus air mata yang tak ia sadari menetes di pipi.

Saat dibuka, tampak di luar dua orang berbadan tegap menatap Bianca dengan tatapan nyalang. Wajah keduanya mendongak angkuh.

“Mana Tyo?” ujar salah seorang dengan rambut panjang dan tato ular di lengannya.

“Bapak … emh … Bapak—“

“Aku tau dia di dalam. Cepat panggilkan atau rumah ini kami obrak-abrik!” bentak satu orang lagi yang berambut cepak.

Saat Bianca hendak membalikkan tubuhnya, tampak sang ayah tengah berjalan dengan gontai. Wajahnya yang sangar kini bagai kapas tertimpa hujan.

“Nah itu dia.”

“Hei, Tyo! Aku mau menagih hutangmu. Kapan kamu mau bayar?! Bos kami sudah bosan dengar janjimu terus,” ujar si Rambut Panjang.

“Kalau kau tidak mau bayar, tinggal kau pilih, mau ke penjara atau kami lempar ke neraka?!”  Kali ini si Rambut cepak yang angkat suara.

Mendengar itu nyali Tyo tampak makin menciut.

“I-iya. A-aku minta waktu lagi se-seminggu.” Suara Tyo terdengar parau.

Lelaki berambut panjang itu merangsek masuk dan menarik kerah baju Tyo hingga lelaki tua itu mendongak. Pandangn nyalang dari lelaki berambut panjang begitu jelas terlihat.

“Seminggu, sebulan, setahun. Persetan dengan kau! Aku akan kembali tiga hari lagi  dan uang itu harus sudah ada beserta bunganya, kalau tidak … kau akan tau akibatnya!” Lelaki berwajah garang itu mendorong tubuh ringkih Tyo hingga terjerembab ke lantai. Tanpa belas kasih salah satu dari mereka meludah ke arah lelaki tua.

Sepeninggal kedua orang itu, Tyo segera bangkit. Dia hampiri Bianca yang masih diam karena ketakutan.

“Hei, Bian. Besok kau carikan aku uang lima puluh juta. Aku tidak mau tau kau dapat dari mana. Pinjam pada temanmu, atau kau jual tubuhmu sekalian!” ujar Tyo dengan tatapan nyalang dan bibir menyeringai. Mata Bianca terbelalak tak percaya.

“Apa Bapak bilang? Lima puluh juta? Aku bukan sapi perahmu, Pak. Hentikanlah kebisaaan berjudimu!” teriak Bianca dengan isak tangis. Amarah Tyo seolah tersulut kembali. Dia cengkram wajah Bianca dengan jarinya.

“Dengar kau anak sial! Aku membesarkanmu tidak gratis, maka dari itu kau harus membalas budi baikku,” ujar Tyo setengah berbisik. Dia hempaskan tubuh mungil sang putri yang semakin terisak.

“Lebih baik kau mati saja dan pergi ke neraka!” umpat Bianca bercucuran air mata.

Mendengar itu, Tyo kembali menghampiri Bianca, sebuah tamparan keras hingga suaranya terdengar hingga ke kamar Marni. Wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya itu bangkit dan berjalan terseok.

“Pak … sudah, Pak. Jangan sakiti terus putriku. Uhuk … uhuk!” ujar Marni diselingi batuk. Badannya tampak kurus kering karena TB yang sudah mulai akut.   

“Aarrggh … anakmu ini tidak tau terima kasih. Aku susah payah membesarkannya, tapi apa balasannya? Dasar anak durhaka!” umpat Tyo dan mengempasan tubuh Bianca.

Marni meraih tubuh Bianca yang terjatuh. Akan tetapi, tubuhnya yang lemah malah ikut terjatuh ke lantai.

“Ibu …,” jerit Bianca berusaha menopang tubuh kurus wanita itu.

“Aah … dasar kalian perempuan tidak berguna!” umpat Tyo kemudian berlalu ke ruang TV.

Tyo duduk di sebelah Anis—putri kesayangannya. Dia mengeluarkan uang yang dirampasnya dari Bianca. Melihat lembaran biru, Anis yang sedang fokkus ke layar kaca langsung menoleh ke tangan Tyo.

“Wah … Bapak banyak duit, nih. Minta dong, Pak.”   Anis menjulurkan tangannya. Tyo menjauhkan uang itu sesaat. Namun, kemudian dia ambil satu lembar dan memberiknnya pada Anis.

“Ini. Diem jangan bilang-bilang sama kakak dan ibumu!” bisik Tyo. Bibir hitamnya terlihat menyeringai. Anis menjentikkan dua jarinya.

“Siipp ….”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur Oden
ceritanya best
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status