Bianca pulang dengan peluh yang bercucuran di dahinya. Saat pintu terbuka sudah disambut seringaian dari sang ayah.
“Akhirnya kau pulang juga Bian. Mana duit?” ujar Tyo sambil menjulurkan tangan. Bianca yang kehausan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan perkataan ayahnya.
“Bian! Kau tuli apa?!”
Tyo menyusul sang putri yang tidak memedulikannya. Ditariknya lengan kurus itu hingga Bianca hampir terpelanting
“Aku belum gajian, Pak. Kalau pun aku punya uang juga itu buat kita makan, bukan untuk modal judimu,” jawab Bianca tanpa peduli dengan etika.
“Hei, anak tak tau diuntung! Harusnya kau berterima kasih karena sudah aku besarkan. Sini berikan aku duit!” teriak Tyo sambil menarik tas selempang dari pundak Bianca. Bianca coba mepertahankan, hingga talinya putus dan isinya berhamburan. Tyo segera menyambar dompet Bian yang tercecer. Bianca melihat itu dengan mata nanar dan napas yng memburu karena kesal.
Tyo segera membuka dompet itu dan mengambil lima lembar berwarna biru. Bianca mendekat ingin mengambil kembali uangnya, tetapi Tyo merentangkan tangannya jauh-jauh.
“Kembalikan, Pak. Hanya itu sisa uangku.” Bianca menarik lengan ayahnya.
“Uhuk! Uhuk!” Terdengar suara batuk dari kamar Marni—ibunya Bianca.
“Aku juga belum beli obat buat Ibu.” Bianca mencoba membujuk sang ayah.
“Halah … kalau kau kasian sama ibumu, sana cari lagi duit yang banyak!” sergah Tyo. Sia-sia rasanya bagaimanapun Bianca membujuk.
Tok! tok! Tok!
Terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Makin lama semakin keras ketukannya.
“Sana buka!” ujar Tyo. Bianca beranjak setelah sebelumnya menghapus air mata yang tak ia sadari menetes di pipi.
Saat dibuka, tampak di luar dua orang berbadan tegap menatap Bianca dengan tatapan nyalang. Wajah keduanya mendongak angkuh.
“Mana Tyo?” ujar salah seorang dengan rambut panjang dan tato ular di lengannya.
“Bapak … emh … Bapak—“
“Aku tau dia di dalam. Cepat panggilkan atau rumah ini kami obrak-abrik!” bentak satu orang lagi yang berambut cepak.
Saat Bianca hendak membalikkan tubuhnya, tampak sang ayah tengah berjalan dengan gontai. Wajahnya yang sangar kini bagai kapas tertimpa hujan.
“Nah itu dia.”
“Hei, Tyo! Aku mau menagih hutangmu. Kapan kamu mau bayar?! Bos kami sudah bosan dengar janjimu terus,” ujar si Rambut Panjang.
“Kalau kau tidak mau bayar, tinggal kau pilih, mau ke penjara atau kami lempar ke neraka?!” Kali ini si Rambut cepak yang angkat suara.
Mendengar itu nyali Tyo tampak makin menciut.
“I-iya. A-aku minta waktu lagi se-seminggu.” Suara Tyo terdengar parau.
Lelaki berambut panjang itu merangsek masuk dan menarik kerah baju Tyo hingga lelaki tua itu mendongak. Pandangn nyalang dari lelaki berambut panjang begitu jelas terlihat.
“Seminggu, sebulan, setahun. Persetan dengan kau! Aku akan kembali tiga hari lagi dan uang itu harus sudah ada beserta bunganya, kalau tidak … kau akan tau akibatnya!” Lelaki berwajah garang itu mendorong tubuh ringkih Tyo hingga terjerembab ke lantai. Tanpa belas kasih salah satu dari mereka meludah ke arah lelaki tua.
Sepeninggal kedua orang itu, Tyo segera bangkit. Dia hampiri Bianca yang masih diam karena ketakutan.
“Hei, Bian. Besok kau carikan aku uang lima puluh juta. Aku tidak mau tau kau dapat dari mana. Pinjam pada temanmu, atau kau jual tubuhmu sekalian!” ujar Tyo dengan tatapan nyalang dan bibir menyeringai. Mata Bianca terbelalak tak percaya.
“Apa Bapak bilang? Lima puluh juta? Aku bukan sapi perahmu, Pak. Hentikanlah kebisaaan berjudimu!” teriak Bianca dengan isak tangis. Amarah Tyo seolah tersulut kembali. Dia cengkram wajah Bianca dengan jarinya.
“Dengar kau anak sial! Aku membesarkanmu tidak gratis, maka dari itu kau harus membalas budi baikku,” ujar Tyo setengah berbisik. Dia hempaskan tubuh mungil sang putri yang semakin terisak.
“Lebih baik kau mati saja dan pergi ke neraka!” umpat Bianca bercucuran air mata.
Mendengar itu, Tyo kembali menghampiri Bianca, sebuah tamparan keras hingga suaranya terdengar hingga ke kamar Marni. Wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya itu bangkit dan berjalan terseok.
“Pak … sudah, Pak. Jangan sakiti terus putriku. Uhuk … uhuk!” ujar Marni diselingi batuk. Badannya tampak kurus kering karena TB yang sudah mulai akut.
“Aarrggh … anakmu ini tidak tau terima kasih. Aku susah payah membesarkannya, tapi apa balasannya? Dasar anak durhaka!” umpat Tyo dan mengempasan tubuh Bianca.
Marni meraih tubuh Bianca yang terjatuh. Akan tetapi, tubuhnya yang lemah malah ikut terjatuh ke lantai.
“Ibu …,” jerit Bianca berusaha menopang tubuh kurus wanita itu.
“Aah … dasar kalian perempuan tidak berguna!” umpat Tyo kemudian berlalu ke ruang TV.
Tyo duduk di sebelah Anis—putri kesayangannya. Dia mengeluarkan uang yang dirampasnya dari Bianca. Melihat lembaran biru, Anis yang sedang fokkus ke layar kaca langsung menoleh ke tangan Tyo.
“Wah … Bapak banyak duit, nih. Minta dong, Pak.” Anis menjulurkan tangannya. Tyo menjauhkan uang itu sesaat. Namun, kemudian dia ambil satu lembar dan memberiknnya pada Anis.
“Ini. Diem jangan bilang-bilang sama kakak dan ibumu!” bisik Tyo. Bibir hitamnya terlihat menyeringai. Anis menjentikkan dua jarinya.
“Siipp ….”
Dua hari berlalu, dengan hati berdebar Tyo menunggu putrinya pulang. Sudah hampir Magrib, tetapi Bianca belum juga menampakkan hidungnya. Tyo jalan mondar-mandir di depan rumahnya. Tak lama, terlihat Bianca turun dari angkutan umum. Tyo menyambutnya dengan mata berbinar.“Hei, mana, sudah kau dapatkan duitnya?” tanya Tyo tidak sabar. Bianca melirik sekilas, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan sang ayah.“Hei, anak sial! Kau tidak dengar?!” Tyo segera menjejeri langkah sang putri dan menarik lengannya.Bianca membalikan badannya. Roman lelah jelas tergambar di wajahnya yang ayu.“Uang sebanyak itu, mau aku dapatkan dari mana, Pak? Sudahlah, Pak. Itu kan utang Bapak. Tinggal pilih saja, mau masuk penjara atau kau pergi saja ke neraka!” jawab Bianca seolah lupa dengan etika.Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi putih itu. Menyisakan tanda merah dan isak tangis. Bianca memegang pipinya yang terasa perih. Terlebih lagi hatinya.“Bunuh saja aku, Pak. Biar kau puas!” teriak Bian
Pagi hari saat Bianca hendak berangkat kerja, di depan rumahnya susah terparkir sebuah mobil. Tyo dengan seringai khasnya menunggu di halaman. Lelaki itu menjegal langkah Bianca yang hendak melewatinya. Tangan keriputnya menarik tangan gadis itu."Lepaskan!" bentak Bianca. Laki-laki itu kembali menyeringai menunjukkan giginya yang kuning karena kopi dan rokok."Kau tidak akan ke mana-mana, gadis bodoh. Kau akan ikut denganku sekarang," ucapnya lalu menarik Bianca masuk ke dalam mobil. Setelah itu Tyo memerintahkan sang sopir segera menjalankan mobil. Sekuat tenaga Bianca melawan, tetapi akhirnya kalah dengan sebuah sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Tubuh mungil itu pun terkulai lemas.Satu jam kemudian, Tyo sudah sampai di kediaman Danish. Sekuriti sepertinya sudah mengenali siapa yang datang. Dia langsung membuka gerbang tanpa diminta.Tyo dibantu sang sopir langsung membopong tubuh Bianca ke dalam rumah itu. Diantar sekuriti itu, mereka akhirnya mengempaskan tubuh Bianca di h
"Hei, kamu! Ternyata ke sini." Rey ternyata mencari keberadaan Bianca. Dia menarik satu kursi lalu duduk beseberangan."Kamu, beneran tadi nolak ajakan bercinta dari Kak Danish?" telisik Rey. Bianca menatap laki-laki di depannya."Hei, aku gak kenal kalian itu siapa. Yang jelas kalian pasti ada hubungannya sama si Bandot tua itu.""Bandot tua?" Kening Rey mengerut."Itu, orang yang menjualku sama kakak kamu," jawab Bianca polos."Apa? Kamu dijual? Wah gawat, berarti kamu harus melayani Kak Danish seumur hidup," ucap Rey mendekatkan wajahnya ke arah Bianca."Apa? No way! Buat aku, penghulu dulu baru tempat tidur!" jawab Bianca tegas."Lah, bapakmu juga sadis amat jual anak sendiri.""Dia cuman bapak tiri. Orang yang tidak punya otak," jawab Bianca."Hahaha, kamu gadis pemberani ternyata.""Tidak, aku justru penakut jika sudah berurusan dengan Bandot Tua itu. Aku takut karena ibuku sangat mencintanya." Bianca mengembuskan napas kasar."Lalu sekarang apa yang akan kau lakukan dengan Kak
Bianca duduk termenung di kursi taman, memandang air mancur yang jatuh ke kolam dengan ikan koi di dalamnya. Gadis itu merasa bingung, antara ingin pulang karena rindu sang ibu, juga rasa jijik mengingat kelakuan sang ayah tiri.Rambutnya yang tergerai, sesekali melambai tertiup angin. Sebagian menutupi wajahnya yang cantik meski tanpa make up."Hei!" Sebuah suara menyadarkan lamunannya. Biancaca menoleh. Rey tersenyum sebelum mengempaskan tubuh di samping Bianca."Kenapa melamun?" tanya Rey sambil menatap gadis yang memandang kosong ke arah kolam."Aku ingin pulang, tapi ... bandot tua itu pasti akan menyerahkan aku lagi pada kakakmu. Jika aku kabur, kakakmu pasti tidak akan tinggal diam." Bianca menghentikan ucapannya lalu menoleh pada pemuda di sampingnya."Pilihanku hanya satu, aku harus bekerja pada kakakmu untuk melunasi hutang ayahku. Bukan demi dia, tapi demi ibuku." Bianca menghela napas panjang. Seolah ada sebuah beban berat di pundaknya."Kamu gadis yang kuat, Bianca. Aku a
Setelah kepergian Rey, Bianca segera masuk. Matanya terbelalak saat melihat interior kamar itu. Sebuah kamar yang begitu girly. Bianca seperti ada di sebuah kamar dalam drama korea yang sering ditontonnya. Semua perabotan terbuat dati kayu yang dicat putih. Ranjang berukuran sedang dengan sprei dan bed cover berwarna pink lembut. Kasurnya tampak begitu empuk.Sebuah pintu lagi ada dipojok. Saat Bianca membukanya, tampak kamar mandi dengan bathtub putih terdapat di sana.Bianca memang sudah merasa tidak nyaman, karena belum mandi lagi sejak datang tadi pagi. Dia segera membuka pakaiannya dan berendam dalam air hangat.Lima belas menit berlalu, Bianca bangkit dan meraih handuk yang sudah tersedia di sana. Dia keluar dari kamar mandi tepat saat pintu kamarnya pun terbuka. Dua pasang mata itu bertemu."Aaaaww!" Bianca refleks menjerit saat sadar siapa yang masuk. Dia ceroboh dengan tidak mengunci pintu kamar itu."Pergi kau! Dasar mesum!" teriak Bianca.Danish tersenyum sinis. Sebuah pape
Bianca berinisiatif untuk ikut membersihkan rumah. Sebuah vacum cleaner dia tenteng dan mulai menyedot debu di setiap inci ruangan itu. Walaupun pelayan yang lain memakai seragam sedangkan dia hanya memakai terusan selutut, tapi tidak menyurutkan semangatnya."Peduli amat yang punya rumah ini otaknya keruh kaya air comberan, aku tetap harus berpikiran waras," gumam Bianca sambil membungkuk dan terus menggerakkan alat penyedot itu ke sana sini.Duk!Ujung penyedot itu bertabrakan dengan ujung sepatu canvas putih. Bianca sontak menghentikan gerakannya, lalu tubuhnya dia tegakkan sempurna. Pandangannya mendarat pada senyuman manis yang tersungging di bibir Rey."Hai, rajin amat. Udah dikasih tugas tambahan sama Kak Danish?" celotehnya dengan wajah manis. Bahu Bianca mengendur."Aku kira si Tuan Mesum," ujar Bianca. Mendengar itu Rey tertawa renyah."Apa? Siapa Tuan Mesum? Kamu, lagi. Apa yang kamu tertawakan?!"Sebuah pukulan pelan mendarat di kepala belakang Rey. Melihat siapa yang data
"Bianca, tolong pilah setiap sayuran yang baru saja kau beli. Cuci lalu kau masukan ke wadah-wadah seperti biasanya. Jangan lupa langsung masukan ke kulkas," pinta sang juru masak saat melihat kedatangan Bianca dari pasar moderen. Gadis itu tersenyum dan mengangguk.Bianca segera duduk dan menaruh aneka sayuran itu di meja. Tangannya begitu cekatan memilah. Tak perlu waktu lama semuanya sudah selesai dipilah dan dicuci."Bianca, bisa minta tolong?" panggil Yuni. Bianca yang baru menutup kulkas langsung menoleh."Ya, Mbak?""Tolong masukan baju-baju Tuan Rey juga Tuan Danish ke lemari mereka. Baju-bajunya ada di ruang laundry. Tolong, ya, aku ada perlu dulu," jelas Yuni."Siap, Mbak!" jawab Bianca.Yuni melenggang, meninggalkan Bianca yang tampak malas harus memasuki kamar sang tuan walaupun mereka belum kembali dari kantor.Bianca mengambil setumpuk kaos dalam, celana dalam juga baju-baju yang biasa dipakai di rumah. Gadis itu menaruh ke dalam box agar lebih mudah membawanya."Ini sep
"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos."Cemburu apanya? Aku justru merasa jijik!" sergah Bianca.Danish meraih bahu gadis itu dan memutar agar menghadapnya."Hei, kau menangis?" tanyanya lirih. Jempol kanannya mengusap air yang tanpa sadar berjatuhan di sudut mata Bianca. Gadis berseragam pelayan itu menunduk dalam, merasa malu. Seperti seorang maling yang kepergok sekuriti.Danish mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya."Lihat aku!" pintanya. Perlahan dua pasang mata itu bertemu. Danish seolah ingin menyelam ke dalam palung hati gadis di depannya, melalui sorot mata itu.Tangan Danish meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dia hirup puncak kepala Bianca dalam-dalam."Maaf, jika aku membuatmu terluka," bisik Danish lirih.Entah mengapa, dekapan itu begitu menenangkan hati Bianca.Beberapa saat Bianca mulai bisa menguasai diri. Dia dorong tubuh jangkung lelaki yang mendekapnya."Hei, kau jangan coba-coba mengambil kesempatan d