Share

Bab 2

Dua hari berlalu, dengan hati berdebar Tyo menunggu putrinya pulang. Sudah hampir Magrib, tetapi Bianca belum juga menampakkan hidungnya. Tyo jalan mondar-mandir di depan rumahnya. Tak lama, terlihat Bianca turun dari angkutan umum. Tyo menyambutnya dengan mata berbinar.

“Hei, mana, sudah kau dapatkan duitnya?” tanya Tyo tidak sabar. Bianca melirik sekilas, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan sang ayah.

“Hei, anak sial! Kau tidak dengar?!” Tyo segera menjejeri langkah sang putri dan menarik lengannya.

Bianca membalikan badannya. Roman lelah jelas tergambar di wajahnya yang ayu.

“Uang sebanyak itu, mau aku dapatkan dari mana, Pak? Sudahlah, Pak. Itu kan utang Bapak. Tinggal pilih saja, mau masuk penjara atau kau pergi saja ke neraka!” jawab Bianca seolah lupa dengan etika.

Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi putih itu. Menyisakan tanda merah dan isak tangis. Bianca memegang pipinya yang terasa perih. Terlebih lagi hatinya.

“Bunuh saja aku, Pak. Biar kau puas!” teriak Bianca.

Tyo meraih wajah mungil itu. Dengan seringainya yang khas, dia berkata, “Tidak akan! Sebelum kau kembalikan setiap rupiah yang aku keluarkan untuk menghidupimu!”

Tyo mengempaskan tubuh mungil itu lalu pergi meninggalkan rumah.

***

Sebuah rumah mewah yang pernah beberapa kali dia singgahi. Tyo menekan bel yang menempel di pilar pintu gerbang. Tak berapa lama seorang sekuriti muncul membukakan pintu.

“Mau ke siapa, Pak?” tanyanya tegas.

“Saya mau ketemu Tuan Danish.”

“Ada perlu apa?” tanyanya lagi.

“Bilang saja, Tyo datang membawa kabar gembira soal Bianca,” jawab Tyo penuh percaya diri.

Setelah menghubungi bos-nya via telepon, akhirnya Tyo diizinkan masuk. Dia diantar menuju sebuah ruangan besar. Pintu jati coklat tua menyambut kedatangannya. Sekuriti itu mengetuk dua kali.

“Masuk!” Terdengar sebuah suara dari dalam. Saat dibuka, sesosok tubuh jangkung sedang berdiri membelakangi pintu. Buku di tangannya dia tutup saat mendengar langkah kedua orang itu.

Lelaki itu membalikan badannya.  Wajah dengan rahang yang tegas itu menyunggingkan seulas senyum sinis. Matanya menyipit. Dia jentikkan jarinya sebagai tanda mengusir pada penjaga rumahnya. Lelaki berseragam biru tua itu mundur perlahan lalu menutup pintu.

Danish masih berdiri dan bersandar ke meja di belakangnya.

“Duduk!” pintanya pada Tyo. Lelaki tua itu pun menurut.

“Berita apa yang kau bawa hingga berani menampakkan lagi batang hidungmu di hadapanku?” ujar lelaki itu sinis.

“Bianca. Aku mau menawarkan Bianca padamu.” Tyo menghentikan ucapannya lalu menatap lelaki gondrong di depannya. Dia berusaha menilik, apakah orang itu masih tertarik dengan putrinya atau tidak. Sekilas Tyo bisa menilai binar mata lelaki di depannya itu.

“Bukankah dulu kau pernah bilang menginginkan Bianca?” telisik Tyo. Mata lelaki muda itu menyipit.

“Apa yang kau inginkan hingga kau mau memberikan Bianca padaku? Sorry, maksudku berapa banyak uang yang kau inginkan?”

“Lima ratus juta,” jawab Tyo berapi-api.

“Heh, rupanya kau tidak berubah. Kau  masih saja serakah, Tyo. Aku tau kau pasti terlilit utang lagi,” gumam lelaki itu sambil menatap pada pria tua di depannya.

“Aku pikir itu harga yang pantas untuk seorang Bianca. Bagimu uang sejumlah itu tidak ada artinya,” jawab Tyo terkekeh. Danish manggut-manggut sambil meminkan pematik api di tangannya.

“Ok. Aku terima tawaranmu. Bawa dia padaku dan aku akan segera memberikan uangmu.”

Mendengar itu Tyo langsung bangkit. Dia hendak meraih tangan Danish dengan maksud berterima kasih. Namun, lelaki itu menepisnya.

“Tidak perlu kau berbasa-basi mengucapkan terima kasih,” ucapnya lalu melangkah menuju pintu dan membukanya untuk sang tamu.

“Besok pagi aku akan membawanya ke sini,” ujar Tyo sebelum meninggalkan ruangan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status