LOGIN“Kenapa kamu memotong pembicaraanku?!” hardik Rendra saat tangan kanannya dihempas oleh Falsya. “Apa karena ini?” lanjutnya sembari memperlihatkan barang bukti ke hadapan sang istri.Falsya bergeming, tubuhnya seketika melemas tiba-tiba. “Aku bisa jelasin, Mas.” Dia berkata sembari memohon.Namun, tangan kanan Rendra lebih dulu terangkat seakan tak meminta untuk dijelaskan.“Mas Rendra?” panggil Falsya lagi dengan suara pasrah.Rendra yang begitu kecewa meninggalkan istrinya seorang diri di lorong rumah sakit yang sepi.Falsya tak mengejar, lagi pula dia tahu ini konsekuensi atas apa yang dia lakukan.Langkahnya cukup berat saat berjalan kembali ke ruangan. Bi Imah yang kebetulan sedang menonton televisi pun dibuat bingung oleh wajah kusut ponakannya.“Kamu baik-baik saja, Sya?” tanyanya penasaran.Falsya tersenyum tipis, lalu mengambil tempat duduk di samping brankar sembari memeluk bi Imah.Sontak hal itu membuat bi Imah semakin penasaran dibuatnya.“Mas Rendra sudah tahu, Bi. Dan d
Falsya kini kembali ke ruangan tempat bi Imah seorang diri. Dia meninggal Rendra dengan menghiraukan panggilan sang suami berulang kali. Andai sikap Rendra tak sebrutal itu, mungkin sikap Falsya juga akan mengerti kecemburuannya.“Mana Den Rendra, Sya?” tanya bi Imah saat melihat pintu terbuka.Falsya hanya tersenyum samar. “Mas Rendra langsung pulang, Bi. Dia besok pagi ada rapat dadakan katanya,” jawabnya berbohong.“Oh, begitu. Ya, sudah kamu makan. Bibi mau melanjutkan tidur lagi.”Falsya mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia pun berjalan ke arah sofa berwarna abu-abu sembari meletakkan makanan pemberian sang suami di meja. Seketika rasa laparnya hilang, dia pun hanya merebahkan tubuhnya di sofa tanpa menyentuh makanan itu.Sementara itu, Rendra sendiri yang masih berada di mobil menggerutui dirinya atas tindakan bodohnya.“Tidak seharusnya aku bersikap kasar padanya,” gumamnya pelan dengan frustasi.Tangan kanannya hendak membuka pintu mobil, namun dia urungkan. Dia tidak ingin m
“Mas Kriss?” Falsya membelalak saat melihat bosnya kini ada di hadapannya. “Kamu, ngapain di sini?” tanya ulang Kriss yang penasaran. Apalagi sekarang memasuki tengah malam. Falsya gugup, tetapi dia juga harus berterus terang. “A ... Aku sedang menemani bibiku, Mas. Tadi siang dia terkena musibah keserempet mobil.” “Astaga, tapi tidak apa-apa, kan?” Falsya menggeleng pelan. “Tidak, kok, Mas. Dan, mumpung ketemu di sini, besok aku boleh izin lagi, kan, ya, Mas?” Ada sedikit keraguan dalam bertanya seperti itu. Sebab, sudah berapa kali dia tidak masuk kerja, apalagi belum lama ini dia juga sudah izin karena sakit. Tanpa disangka, pertanyaan Falsya langsung disetujui tanpa alasan apapun. Sontak kedua mata wanita itu berbinar seketika. “Terima kasih, Mas. Terima kasih banyak atas izinnya.” “Tidak perlu seperti itu. Kamu jaga diri, ya. Maaf aku harus pamit,” ucap Kriss cukup tergesa-gesa. Ia langsung masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai atas. Meski sebenarnya dia ingin
Eyang Widya berdiri ke hadapan cucu ketiga keluarga Khasif. Reza Danuarta Khasif. Yang sengaja berbicara seperti itu di hadapan banyak orang. Dia sudah tahu semua tentang hubungan sepupunya yang kandas, dan menikahi wanita lain. “Astaga, Reza. Kapan kamu datang?” Sapa Sahara yang langsung mendekat ke anak adik suaminya itu. Dia berharap keponakannya itu tidak berbicara banyak tentang putranya. “Dan tante tidak merestui hubungan Rendra dengan istrinya sekarang, kan?” pertanyaan Reza tentu aja membuat wajah Sahara pucat pasi kali ini. “Ah, itu tidak benar, Reza. Acara pernikahan Rendra hanya di undur sementara. Tahu sendirilah, perusahaan papah Laura memang lagi kurang baik,” kilah Sahara dengan senyum paksanya. Reza pun mendecih. Padahal dirinya sudah tahu semua yang terjadi pada sepupunya itu. “Katakan yang sebenarnya Rendra? Apa kamu sudah menikah?” Eyang Widya bertanya ke arah Rendra yang berdiri seperti patung tak bergerak. Helaan napas berat Rendra keluarkan secara per
“Wi ...” panggil Falsya saat sudah sampai di rumah sakit. Kedua matanya mengembun seketika saat melihat sosok wanita lanjut usia sedang berbaring di atas brankar. “Mbak Falsya, syukurlah kamu sudah datang!” Dewi menghampiri lalu memeluk tubuh Falsya sambil terisak. “Maafkan aku, Mbak. Ini semua salah aku!” Falsya membelalak mendengarnya. “Apa yang terjadi, Wi? Kenapa kamu menyalahkan dirimu sendiri?” Dewi pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Hingga membuat Bi Imah terbaring seperti saat ini. Falsya pun memahami penjelasan dari Dewi. Meski Dewi masih Kuekeh tetap menyalahkan dirinya sendiri. “Tidak perlu seperti itu, Wi. Kamu juga tidak sengaja.” “Tapi, ini semua salah aku, Mbak. Andai saja aku nggak memaksa bi Imah ikut ke pasar, pasti kejadian ini nggak bakalan terjadi!” ungkap Dewi menyesal. Wajahnya kembali murung, bahkan kedua matanya kembali mengembun. Falsya mengusap punggung Dewi secara perlahan. Dia paham betul apa yang di rasakan oleh tetangganya itu.
Malam semakin larut. Falsya yang kini berada di dalam bus pun membuang napas secara perlahan. Mengingat kejadian tadi siang, membuat hatinya tak karuan. Untungnya dia bisa berasalan kepada kedua temannya itu yang memaksa untuk menceritakan perihal kejadian tadi siang. Meski tadinya ingin berkata jujur, namun ia takut jika nanti identitasnya bakalan terungkap. Setelah bis berhenti di halte terdekat apartemennya. Dia pun turun lalu berjalan masuk ke arah dalam. “Masih ada waktu untuk aku masak buat mas Rendra,” ucap Falsya melihat ke arah jarum jam yang melingkar tangannya. Ketika langkah kaki hendak masuk ke dalam lift. Tiba-tiba pintu lift di tahan oleh seseorang saat akan menutup. Falsya mendongak melihat tangan lentik seseorang yang menahannya. Wajahnya tiba-tiba berubah seketika. Ia pun menggeser tubuhnya ke kiri untuk memberi ruang kepada wanita yang hendak masuk itu. “Dari mana kamu? Jam segini berada di luar?” tanya wanita itu dengan suara dingin. “Habis ada urus







