MasukFalsya berteriak sangat kencang. Hal itu membuat perawat yang sedang berjaga di ruang IGD segera menghampiri.
“Apa yang terjadi, Nona?” tanya Perawat kaget. “Usir, Dia!” unjuk Falsya ke arah Rendra yang berdiri membeku. “Aku tidak mau dia ada di sini!” desisnya lagi membuang muka. Air matanya pun kembali berjatuhan mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Perawat itu menatap ke arah Rendra dengan perasaan bingung. Sebab, Rendra bilang jika dia dari pihak keluarganya. Namun, kenapa sekarang wanita ini meminta untuk mengusirnya. “Tolong, jaga dia, Sus. Aku akan keluar saja,” kata Rendra sebelum dia diusir. Perawat itu hanya mengangguk. Ia kembali menenangkan Falsya yang masih menangis. Dia juga berpikir jika pasiennya saat ini sedang bertengkar. Ia pun tidak ingin ikut campur, membuat ia lebih memilih untuk kembali ke ruang tunggu setelah Falsya kembali tenang. Sementara di luar ruangan. Lagi-lagi Rendra mengumpat dirinya dengan kesal. Sampai ia tidak menyadari jika asistennya kini sudah berada di hadapannya. “Tuan!” panggil Bastian lirih. Ia juga menatap wajah Tuannya yang sedikit kusut. Dia sendiri dibuat bingung oleh keadaan sekarang. Sebab, setahu dia Tuannya berjanjian dengan kekasihnya akan bermalam di hotel. Namun, tiba-tiba Rendra keluar membawa wanita lain, bahkan wanita itu tak sadarkan diri dengan tubuh tanpa busana. “Tolong, kamu urus administrasi di lobi, aku akan membujuk wanita itu lagi agar mau memaafkan aku,” titah Rendra mengarah pada Bastian. “Baik, Tuan.” Bastian meninggalkan ruang IGD dan berjalan ke arah lobi sesuai perintah Tuannya. Rendra sendiri masih bimbang antara ingin masuk atau tidak. Akan tetapi, dia harus bicara dengan wanita itu. Dia ingin meluruskan dan meminta maaf atas perlakuan b***tnya. “Maaf, jangan takut. Aku tidak akan berbuat buruk padamu,” ucap Rendra hati-hati. Dia mencoba mendekat ke arah brankar, terlihat jelas jika wanita yang berbaring lemah menatapnya dengan tatapan ketakutan. “Aku hanya ingin bertanggung jawab atas semua kesalahanku padamu,” lanjutnya lagi berharap agar wanita itu percaya. Falsya menggigit bibir bawahnya. Pikirannya bercampur aduk tak menentu. “Anda serius? Mau bertanggung jawab?” Rendra mengangguk. “Iya, aku akan bertanggung jawab.” “Tapi, bukan sekarang. Ini kartu namaku, kamu bisa menyimpannya dan menghubungiku jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi,” ucapnya dengan memberikan selembar kertas kecil berwarna hitam emas. “Untuk biaya rumah sakit tidak perlu khawatir. Aku sudah membayarkannya semua. Dan, maaf untuk kesalahanku,” sambungnya lagi panjang lebar. Falsya melihat sorot mata pria itu tanpa keraguan. Akhirnya, ia pun hanya mengangguk lalu meminta pria itu pergi dari ruangannya. Setelah kepergian Rendra. Falsya segera mengambil ponselnya yang tadi sempat diberikan oleh pria itu sebelum pergi. Ia akan menghubungi sahabatnya untuk datang ke rumah sakit. Kini Falsya dibuat bingung. Sebab, baju kerjanya dirobek oleh pria itu. Apalagi dia hanya memiliki satu seragam. Sebenarnya dulu punya tiga setel seragam, namun, dua seragamnya hilang saat dia pindah kontrakan bulan lalu. “Bagaimana aku bisa bekerja jika seragamku saja sudah rusak!” sesalnya lirih. *** Satu minggu pun berlalu. Keadaan Falsya sudah membaik. Kini ia sedang menghadap di ruang HRD menemui pak Herman. Kejadian mengenaskan yang terjadi, ternyata berdampak buruk pada karirnya yang sudah dibangun selama ini. Cibiran dan hinaan pun ia dengar dari mulut para karyawan yang lain. Padahal dialah korban di sini, dia dijebak oleh temannya sendiri saat akan mengecek kamar tamu yang dipesan oleh sepasang pengantin baru. Akan tetapi, ucapannya tidak didengar oleh satu orang pun, mereka malah menuduhnya telah menggoda tamu hanya demi sebuah uang. Memang benar saat ini, Falsya sangat membutuhkan uang banyak untuk biaya pengobatan ibunya. Namun, Falsya tidak sekotor itu untuk menghalalkan cara demi mendapat uang. Dia masih punya harga diri dan takut akan dosa. “Maaf, Falsya. Demi kebaikan nama hotel, saya tidak bisa memperkerjakan kamu lagi di sini. Ini uang tanda terima kasih kami atas semua kerja kerasmu selama ini,” kata pak Herman dengan memberikan satu amplop putih dan cokelat. Amplop putih berisi surat plakaring dan amplop cokelat berisi uang 20 lembar berwarna merah. “Baik, Pak. Terima kasih untuk semuanya. Maaf atas kesalahan saya yang membuat kegaduhan beberapa hari ini. Dan, maaf juga atas kesalahan yang membuat nama baik hotel sedikit tercoreng!” ucap Falsya lirih. Ia tidak kuasa menahan air matanya. Namun, segera ia hapus. “Sama-sama, Falsya.” Falsya pun keluar ruang HRD dengan tatapan yang kosong. Helaan napas panjang pun ia keluarkan secara perlahan. Saat membuka pintu ternyata banyak karyawan yang menunggu di luar. Ia menyoraki Falsya dengan kata-kata yang cukup menyakitkan. “Nggak nyangka, dikira cupu ternyata suhu!” ucap salah seorang wanita berambut pendek dengan melipat tangannya di atas d**a. “Jangan salah, yang diam-diam begini nih yang menghanyutkan!” sahut wanita di sebelahnya. Masih banyak lagi hinaan yang mereka lontarkan kepada Falsya hingga dia akhirnya berlari kencang menuju pintu keluar. Sesampainya di lobi, Falsya tak sengaja bertemu dengan teman kerjanya yang waktu itu memberikan alamat kamar yang salah. “Kamu tega ya, sudah menjebakku dan kini kamu menuduhku yang tidak-tidak!” pekiknya menatap tajam ke arah temannya itu. Wanita yang bersanggul dengan memakai seragam hotel seperti milik Falsya pun hanya menyeringai. “Aku tidak melakukan apa pun, itu karena kesalahanmu sendiri sudah berani berbuat tak senonoh dengan menggoda tamu. Untuk masalah kamar yang salah, kamu harusnya langsung turun untuk mengecek ulang. Tapi, apa yang kamu lakukan? Tidak perlu aku jelaskan juga ‘kan? Karena kamu tahu sendiri jawabannya!” sindir temannya itu yang bernama Lira. Dia berjalan meninggalkan Falsya yang terdiam membisu. Bukan hanya itu, bahunya sengaja menubruk ke tubuh Falsya dengan keras. Falsya yang kini berada di luar halaman hotel tempatnya bekerja hanya bisa memandang bangunan tinggi itu dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan. Tempat untuk mencari nafkah selama ini hanya tinggal kenangan belaka. “Aku harus secepatnya mencari pekerjaan. Apalagi minggu depan, Ibu harus di operasi,” gumam Falsya dengan berjalan ke arah halte. Meski ia mendapat uang pesangon, tentu saja uang itu tidak cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Semenjak kepergian ayahnya satu tahun lalu, membuat Falsya kini menggantikannya sebagai tulang punggung keluarga. Bis yang sedang di tunggu Falsya kini datang, ia pun naik dan duduk di dekat jendela. Entah kenapa tidak seperti biasanya dia masuk ke dalam bis langsung merasa mual. “Hoek!” suara mulutnya yang langsung ditutup dengan tangan. Badannya seketika berkeringat dingin. Pandangan Falsya tiba-tiba kabur dan lama kelamaan pandangannya pun gelap seketika.“Kenapa kamu memotong pembicaraanku?!” hardik Rendra saat tangan kanannya dihempas oleh Falsya. “Apa karena ini?” lanjutnya sembari memperlihatkan barang bukti ke hadapan sang istri.Falsya bergeming, tubuhnya seketika melemas tiba-tiba. “Aku bisa jelasin, Mas.” Dia berkata sembari memohon.Namun, tangan kanan Rendra lebih dulu terangkat seakan tak meminta untuk dijelaskan.“Mas Rendra?” panggil Falsya lagi dengan suara pasrah.Rendra yang begitu kecewa meninggalkan istrinya seorang diri di lorong rumah sakit yang sepi.Falsya tak mengejar, lagi pula dia tahu ini konsekuensi atas apa yang dia lakukan.Langkahnya cukup berat saat berjalan kembali ke ruangan. Bi Imah yang kebetulan sedang menonton televisi pun dibuat bingung oleh wajah kusut ponakannya.“Kamu baik-baik saja, Sya?” tanyanya penasaran.Falsya tersenyum tipis, lalu mengambil tempat duduk di samping brankar sembari memeluk bi Imah.Sontak hal itu membuat bi Imah semakin penasaran dibuatnya.“Mas Rendra sudah tahu, Bi. Dan d
Falsya kini kembali ke ruangan tempat bi Imah seorang diri. Dia meninggal Rendra dengan menghiraukan panggilan sang suami berulang kali. Andai sikap Rendra tak sebrutal itu, mungkin sikap Falsya juga akan mengerti kecemburuannya.“Mana Den Rendra, Sya?” tanya bi Imah saat melihat pintu terbuka.Falsya hanya tersenyum samar. “Mas Rendra langsung pulang, Bi. Dia besok pagi ada rapat dadakan katanya,” jawabnya berbohong.“Oh, begitu. Ya, sudah kamu makan. Bibi mau melanjutkan tidur lagi.”Falsya mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia pun berjalan ke arah sofa berwarna abu-abu sembari meletakkan makanan pemberian sang suami di meja. Seketika rasa laparnya hilang, dia pun hanya merebahkan tubuhnya di sofa tanpa menyentuh makanan itu.Sementara itu, Rendra sendiri yang masih berada di mobil menggerutui dirinya atas tindakan bodohnya.“Tidak seharusnya aku bersikap kasar padanya,” gumamnya pelan dengan frustasi.Tangan kanannya hendak membuka pintu mobil, namun dia urungkan. Dia tidak ingin m
“Mas Kriss?” Falsya membelalak saat melihat bosnya kini ada di hadapannya. “Kamu, ngapain di sini?” tanya ulang Kriss yang penasaran. Apalagi sekarang memasuki tengah malam. Falsya gugup, tetapi dia juga harus berterus terang. “A ... Aku sedang menemani bibiku, Mas. Tadi siang dia terkena musibah keserempet mobil.” “Astaga, tapi tidak apa-apa, kan?” Falsya menggeleng pelan. “Tidak, kok, Mas. Dan, mumpung ketemu di sini, besok aku boleh izin lagi, kan, ya, Mas?” Ada sedikit keraguan dalam bertanya seperti itu. Sebab, sudah berapa kali dia tidak masuk kerja, apalagi belum lama ini dia juga sudah izin karena sakit. Tanpa disangka, pertanyaan Falsya langsung disetujui tanpa alasan apapun. Sontak kedua mata wanita itu berbinar seketika. “Terima kasih, Mas. Terima kasih banyak atas izinnya.” “Tidak perlu seperti itu. Kamu jaga diri, ya. Maaf aku harus pamit,” ucap Kriss cukup tergesa-gesa. Ia langsung masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai atas. Meski sebenarnya dia ingin
Eyang Widya berdiri ke hadapan cucu ketiga keluarga Khasif. Reza Danuarta Khasif. Yang sengaja berbicara seperti itu di hadapan banyak orang. Dia sudah tahu semua tentang hubungan sepupunya yang kandas, dan menikahi wanita lain. “Astaga, Reza. Kapan kamu datang?” Sapa Sahara yang langsung mendekat ke anak adik suaminya itu. Dia berharap keponakannya itu tidak berbicara banyak tentang putranya. “Dan tante tidak merestui hubungan Rendra dengan istrinya sekarang, kan?” pertanyaan Reza tentu aja membuat wajah Sahara pucat pasi kali ini. “Ah, itu tidak benar, Reza. Acara pernikahan Rendra hanya di undur sementara. Tahu sendirilah, perusahaan papah Laura memang lagi kurang baik,” kilah Sahara dengan senyum paksanya. Reza pun mendecih. Padahal dirinya sudah tahu semua yang terjadi pada sepupunya itu. “Katakan yang sebenarnya Rendra? Apa kamu sudah menikah?” Eyang Widya bertanya ke arah Rendra yang berdiri seperti patung tak bergerak. Helaan napas berat Rendra keluarkan secara per
“Wi ...” panggil Falsya saat sudah sampai di rumah sakit. Kedua matanya mengembun seketika saat melihat sosok wanita lanjut usia sedang berbaring di atas brankar. “Mbak Falsya, syukurlah kamu sudah datang!” Dewi menghampiri lalu memeluk tubuh Falsya sambil terisak. “Maafkan aku, Mbak. Ini semua salah aku!” Falsya membelalak mendengarnya. “Apa yang terjadi, Wi? Kenapa kamu menyalahkan dirimu sendiri?” Dewi pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Hingga membuat Bi Imah terbaring seperti saat ini. Falsya pun memahami penjelasan dari Dewi. Meski Dewi masih Kuekeh tetap menyalahkan dirinya sendiri. “Tidak perlu seperti itu, Wi. Kamu juga tidak sengaja.” “Tapi, ini semua salah aku, Mbak. Andai saja aku nggak memaksa bi Imah ikut ke pasar, pasti kejadian ini nggak bakalan terjadi!” ungkap Dewi menyesal. Wajahnya kembali murung, bahkan kedua matanya kembali mengembun. Falsya mengusap punggung Dewi secara perlahan. Dia paham betul apa yang di rasakan oleh tetangganya itu.
Malam semakin larut. Falsya yang kini berada di dalam bus pun membuang napas secara perlahan. Mengingat kejadian tadi siang, membuat hatinya tak karuan. Untungnya dia bisa berasalan kepada kedua temannya itu yang memaksa untuk menceritakan perihal kejadian tadi siang. Meski tadinya ingin berkata jujur, namun ia takut jika nanti identitasnya bakalan terungkap. Setelah bis berhenti di halte terdekat apartemennya. Dia pun turun lalu berjalan masuk ke arah dalam. “Masih ada waktu untuk aku masak buat mas Rendra,” ucap Falsya melihat ke arah jarum jam yang melingkar tangannya. Ketika langkah kaki hendak masuk ke dalam lift. Tiba-tiba pintu lift di tahan oleh seseorang saat akan menutup. Falsya mendongak melihat tangan lentik seseorang yang menahannya. Wajahnya tiba-tiba berubah seketika. Ia pun menggeser tubuhnya ke kiri untuk memberi ruang kepada wanita yang hendak masuk itu. “Dari mana kamu? Jam segini berada di luar?” tanya wanita itu dengan suara dingin. “Habis ada urus







