Share

SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA

Kepala Reta terasa berkunang-kunang. Pandangannya perih saat kelopak matanya terbuka dan cahaya menerobos masuk ke dalam penglihatannya.

Agar tak begitu perih, Reta mengerjap-ngerjapkan pandangannya. Dia memfokuskan pandangannya. Tampak atap berwarna putih.

“Reta, kamu sudah sadar?”

Terdengar ucapan Ninda, teman kuliah Reta yang kini memiliki usaha sebuah kafe komik di Bandung. Reta ingin bicara. Sayangnya, lidahnya terasa kelu sekarang.

“Aku panggilkan dokter sebentar,” ujar Ninda. “Sabar ya, Ret. Sabar.”

Ninda memencet tombol pemanggil perawat. Tak berapa lama, seorang dokter dan perawat datang.

Reta hanya bisa berbaring pasrah di ranjang. Dia mencoba mengingat apa saja yang dia alami sebelum dirinya terdampar di atas ranjang yang dipenuh dengan aroma disenfektan menyengat ini.

“Ini angka berapa?” dokter mengecek ingatan Reta.

“Satu, Dok,” jawab Reta setelah dirinya bisa diajak bicara.

“Nama Anda?”

“Reta. Margareta.”

“Pekerjaan?”

“Arsitek,” ucap Reta. Dia menjawab apa saja yang ditanyakan oleh dokter.

Senyuman lega muncul di wajah dokter itu. Dia menoleh ke Ninda. “Teman Anda tidak mengalami gangguan ingatan,” ujar si dokter.

“Syukurlah,” Ninda mengusap dadanya dengan penuh kelegaan.

“Tapi, pasien harus mengalami kelumpuhan,” tutur dokter.

“Lu-lumpuh?!” Reta menganga tak percaya mendengarkan ucapan si dokter.

“Benar. Syaraf kaki Anda bermasalah. Anda tidak bisa berjalan dengan normal dan harus menggunakan alat bantu seperti kursi roda,” terang dokter.

Reta lemas mendengarkan semua ucapan dokter barusan. Lumpuh. Tidak bisa berjalan.

Benar-benar mengerikan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah yang langsung muncul dalam pikiran Reta.

Dia sudah menjadi korban pelecehan, dipecat dari kantor dengan tidak adil, dan sekarang dirinya dinyatakan lumpuh. Air mata Reta tak mampu dia bendung lagi. Sungguh!

Dari sekian banyak nasib buruk yang ada di dunia ini, dari sekian banyaknya manusia yang hidup di bumi ini, kenapa harus dirinya yang terus-menerus mengalami kesialan ini?

“Nggak. Dokter jangan bercanda. Aku pasti nggak lumpuh, kan?” tangis Reta. Dia tak bisa menerima kenyataan memilukan itu.

Tangan Reta menyibak selimutnya. Dia mencoba menggerakkan kakinya. Namun, yang bisa dia geser hanyalah pantatnya. Itu pun sangat berat sekali rasanya.

“Gerak! Gerak! Kenapa kamu nggak mau gerak kakiku?!” jerit Reta frustasi. Dia memukul-mukul kakinya yang berselonjor kaku dan lemas. Tak ada sedikit pun aliran tenaganya menurun hingga tulang dan sumsum kakinya. Semuanya seolah terhenti begitu sampai bagian pinggulnya.

“Kenapa nggak mau jalan?! Aku harus kerja! Aku mohon kaki!”

“Reta,” Ninda menatap kasihan sahabatnya itu. Pandangan Ninda berkaca-kaca. Dia melangkah mendekati Reta dan merengkuhnya dalam pelukan hangat.

“Reta, udah, Ret. Udah,” pinta Ninda. “Aku bakal bantu kamu. Kamu tenangin dirimu ya?”

“Nggak! Aku mau kakiku, Ninda! Aku mau kakiku!” pekik Reta penuh kemarahan dan kekecewaan luar biasa. “Aku mau kakiku.”

Ninda menemani Reta dengan sangat sabar. Dia tahu Reta tengah tertekan dan mengalami kekecewaan besar.

Tak ada orang di dunia ini yang mau cacat. Semua orang ingin hidup dengan tubuh yang normal dan sehat.

Sayangnya, takdir Tuhan berkehendak lagi. Reta tak lagi mampu berjalan.

“Gimana caranya biar kakiku balik lagi, Ninda?” ratap Reta. “Aku mau jalan. Aku harus bisa jalan. Ada banyak hal yang harus kulakukan.”

“Iya, Reta. Iya,” Ninda mengusap-usap lengan Reta.

Tangisan Reta terus bergulir selama satu jam penuh. Reta benar-benar terdiam karena pingsan akibat lelah menangis semalaman.

Selama satu minggu masa perawatan pasca-siuman, Reta lebih banyak melamun. Pikirannya kacau. Jika tidak melamun, dia akan marah-marah dan berujung menangis sesenggukan selama berjam-jam.

Semuanya kacau bagi Reta. Dirinya seperti katak dalam tempurung sekarang. Sulit sekali untuk bergerak. Bahkan, untuk ke kamar mandi saja, dia membutuhkan pertolongan Ninda.

“Ninda, aku pengen mati aja,” ucap Reta saat sore hari. “Aku nggak kuat hidup cacat kayak gini.”

“Ret, jangan ngomong gitu. Aku yakin kok setiap hal itu ada penggantinya. Apa yang kamu alami saat ini bukan berarti kamu gagal seumur hidup,” timpal Ninda menyemangati Reta.

“Aku udah gagal seumur hidup, Ret,” bola mata Reta kembali menggenang. Air matanya kembali membasahi pipinya yang layu dan tirus karena tak nafsu makan. “Kalaupun aku mau sembuh, aku harus punya uang ratusan juta buat operasi ke luar negeri, Ninda. Kamu bayangin aja semua itu. Apa aku bisa?”

“Kamu bisa, Ret. Kamu kan masih bisa menggambar. Kamu bisa membuka jasa desain interior. Semangat ya?” Ninda menatap lekat Reta. “Ret, ini memang melelahkan dan mengecewakan, tapi kamu harus inget ibumu. Ibumu butuh kamu, Ret.”

Reta termangu. Dia masih terisak dalam tangis diamnya.

Mata Reta memejam. Dia teringat akan ibunya yang masih sulit untuk diajak bicara. Ibunya bertingkah seperti orang asing dan hanya mau mengingat masa lalu. Bahkan, ibunya tak menyadari bahwa Reta sudah dewasa.

Reta ingat benar tiap kali dirinya bertemu dengan ibunya, ibunya selalu mengira Reta adalah dokter atau perawat di RSJ. Reta tetap mencoba sabar dan menanggapinya.

Namun, dengan kondisi lumpuh saat ini, Reta merasa semua kesabaran dan senyuman palsunya itu tidak ada gunanya. Meskipun dia sudah bekerja keras, tetap saja tak menutupi fakta bahwa dia cacat dan ibunya tak lagi mengenalinya.

Rasanya sepi. Seperti seorang diri saja di dunia ini.

“Ret, kamu bisa tinggal di rumahku. Kakak pertamaku udah pindah ke rumah barunya. Dia udah nggak lagi numpang di rumahku. Kamu bisa bersamaku dan ikut denganku ke kafe sambil melamar pekerjaan baru,” terang Ninda. Dia mencoba memberikan Reta saran agar Reta tak patah semangat.

“Kamu yakin ini bakal berhasil, Nin?” Reta menatap Ninda dengan pandangan sayunya yang lelah dan digenangi air mata.

Kepala Reta mengangguk. “Aku yakin pasti berhasil,” sahut Ninda secepat kilat. “Aku percaya kamu bisa, Ret.”

Ninda mengulas senyum tipis. “Kamu ingat kan, Ret? Waktu kita kuliah dan aku terkena narkoba, kamu yang yakinin aku kalau aku bisa lepas dari obat-obatan itu,” ujar Ninda mengingatkan Reta akan masa lalu mereka. “Kamu beneran hebat, Ret. Orang tua dan kakakku sama sekali nggak bisa bantu dan dukung aku. Cuma kamu, Ret. Cuma kamu satu-satunya yang bisa bikin aku mikir kalau dunia ini nggak hanya sekadar abu-abu atau hitam. Aku yakin kamu pasti bisa lewatin semua ini, Ret.”

Reta gemetaran. Dia mencoba menghentikan dirinya dari tangisannya. Dirinya mencoba untuk berpikiran jernih. Dia berusaha keras menggali kesadarannya agar bisa kembali kuat seperti dulu kala. Seperti saat dirinya membantu Ninda dulu. Seperti saat hari-hari biasanya ketika dia bekerja keras dan menikmati hari-hari sebagai seorang arsitek yang dipercaya oleh banyak orang.

Reta menggenggam erat jemari tangannya yang bertumpu pada sisi kursi roda yang diduduknya. Dia mencoba mengumpulkan keberanian yang dia pikir tak akan mungkin bisa dia dapatkan sebelumnya.

Pandangan Reta menatap ke arah Ninda. “Apa aku bisa bekerja seperti dulu lagi?” tanya Reta pada sahabatnya itu.

“Tentu, Ret.”

“Pelaku tabrak lari yang melukaiku apa bisa kutemukan dan kupenjarakan lagi?”

“Iya. Kita usahakan mencarinya. Aku sudah melaporkannya ke kepolisian,” terang Ninda.

“Aku ingin bisa bekerja lagi, Ninda. Aku ingin punya banyak uang dan bisa berjalan lagi. Apa aku mampu?”

“Pasti mampu, Ret,” balas Ninda. “Kalaupun tidak mampu, kamu masih tetap bisa menikmati hidup yang indah. Kamu kan punya impian lain, kan? Impian memiliki perusahaan arsitekmu sendiri. Kamu bisa wujudkan itu sekarang.”

Reta termangu. Ucapan Ninda benar. Kedua kakinya memang lumpuh, tapi tidak dengan kedua tangannya. Dia masih bisa menggambar dan membuat desain-desain kesukaannya. Dia masih ada harapan dan tak semestinya dia menyia-nyiakan semua ini.

“Baiklah. Aku bakal mencobanya,” sahut Reta mantap. Dia mencoba untuk tumbuh dari luka mendalam yang dialaminya. Layaknya maggot yang tetap bisa tumbuh dan bermanfaat meski berasal dari kumpulan sampah yang bagi semua orang tak akan mungkin bisa didaur ulang atau bermanfaat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status