“Kemasi barangmu,” ucap Pimpinan perusahaan arsitek di mana Margareta bekerja. “Kamu sudah membuat klien istimewa kita kecewa dan gajimu selama bertahun-tahun pun tak akan bisa mengganti kerugian ini.”
Margareta tertegun. Dia tak tahu jika kesalahan yang dia lakukan akan berdampak besar pada karirnya.
“Pak, saya bisa jelaskan—“
“Tidak perlu dijelaskan. Semua ini sudah sangat merugikan perusahaan kita dan kamu harus bertanggung jawab. Kemasi barangmu secepatnya sekarang!” balas pria bertubuh jangkung itu.
Margareta tahu dia memang melakukan kesalahan saat menemui klien yang merupakan seorang influencer ternama itu. Ya, pria bernama Jason itu memang menjadi klien premium di perusahaan tempat Margareta bekerja. Pria itu ingin membuat sebuah desain kafe unik untuk tempat nongkrong para influencer.
Margareta membuat desain kafe yang hommy dengan konsep artsy untuk Jason. Dia selalu membuat laporan mingguan.
Anehnya, Jumat lalu, Jason mengajak Margareta bertemu. Mereka bertemu di sebuah bar privat yang telah disewa oleh Jason.
Sejujurnya Margareta sudah memiliki firasat buruk. Dia merasa Jason berniat lain.
Namun, dengan dalih profesionalisme, Jason terus mendesak Margareta ke sana. Mau tak mau, Margareta akhirnya datang ke sana.
Awal pertemuan cukup baik dan kecanggungan Margareta atau akrab disapa Reta itu. Ketika Reta mulai merasa nyaman saat berdiskusi, tangan kanan Jason mendadak menyentuh paha Reta.
Bola mata Reta mendelik seketika. Dia kaget.
Refleks, tangan kanan Reta meraih gelas minumnya. Dia langsung mengguyurkan gelas minumnya itu ke wajah Jason.
BYUR!
Jason menganga lebar mulutnya saking kagetnya. Reta langsung bangun dari duduknya. Dia mengambil tas dan berkasnya yang sedikit basah karena cipratan air minumnya. Langkah kakinya berlari cepat keluar dari bar privat yang disewa Jason.
Sialnya pagi ini Reta langsung dihakimi. Jason akan mendenda ratusan juta jika Reta tak dikeluarkan dari perusahaan. Selain itu, Jason akan memperkarakan secara hukum di pengadilan jika keinginannya itu tidak dipenuhi.
Reta tentu saja tak mampu membela diri. Dia tak memiliki bukti karena saat itu dia datang sendirian. Selain itu, dia tak memiliki rekaman kamera CCTV di bar privat itu sebagai bukti.
Benar! Rekaman CCTV! Aku harus mendapatkannya! Reta tertegun menyadari bukti yang harus dia miliki.
“Pak, kalau saya bisa membuktikan bahwa saya tidak bersalah, apa Bapak bisa membatalkan pemecatan saya?” tanya Reta dengan penuh harap.
“Kemasi saja. Kamu itu sumber masalah di perusahaanku. Jangan bawa kesialanmu lebih banyak lagi di sini. Aku tidak mau perusahaanku gulung tikar,” tolak pria itu dengan sadis.
Reta menggemeratakkan giginya. Dia menggenggam erat jemari tangannya. Dia tak mau dipecat. Dia harus tetap bekerja karena dia butuh banyak biaya. Salah satunya adalah biaya untuk pengobatan dan perawatan ibunya yang menderita depresi berat di rumah sakit jiwa akibat perceraian dengan ayah beberapa tahun lalu.
“Bapak lihat saja nanti. Saya pasti akan bawakan buktinya!” tekad Reta tak tersurutkan.
Langkah Reta terayun keluar ruang kerjanya. Dia tak membawa banyak hal karena di meja kerja kantornya hanya ada laptop kantor dan buku catatan saja.
Selama bekerja hampir 5 tahun di perusahaan itu, Reta tak pernah sekalipun menaruh barang-barang pribadinya di sana. Selain memang tak memiliki kegemaran mengoleksi barang, Reta sebenarnya memang sangat hemat dan cenderung pelit. Karena itulah, dia hanya membeli makanan dan mengumpulkan banyak diskon. Jika ada uang lebih, dia memilih menabungnya daripada digunakan untuk berfoya-foya.
Reta takut suatu saat dirinya sakit dan tak bisa bekerja. Sementara itu, dia belum menemukan seorang pria yang bisa dia percayai sebagai pasangan yang baik.
Perceraian ayah dan ibunya yang berakhir mengerikan itu membuat Reta mengalami trust issue pada setiap laki-laki yang mencoba mendekatinya. Ditambah lagi, kini dia terlibat masalah dengan Jason. Kepercayaan Reta pada laki-laki semakin anjlok ke inti bumi.
Reta mengikat rambutnya yang tergerai. Dia melangkah menuju parkiran dan segera menaiki motor matic-nya. Tujuannya sekarang adalah hotel tempat bar privat itu berada. Dia akan meminta pihak hotel untuk membantunya mengakses rekaman CCTV sebagai bukti.
“Aku nggak boleh dipecat. Aku butuh uang,” gumam Reta sepenuh tenaga. Dia tak mau menjadi pengangguran. Apalagi, sekarang itu, mencari pekerjaan sangat susah. Ditambah lagi, jika memiliki masalah di kantor sebelumnya atau dipecat. Reta tak mampu membayangkan itu semua.
Reta menambah kecepatan motornya. Dia melaju masuk ke dalam parkiran hotel. Usai memarkir motornya, dia berlari kecil masuk ke dalam lift hotel yang ada di bagian basement hotel itu.
Dia naik ke bagian lantai satu. Di sana, dia menghampiri bagian resepsionis dan bertanya apa dirinya bisa mengakses rekaman CCTV hotel.
“Maaf, Bu. Hotel kami tidak bisa memberikan izin orang luar untuk mengakses rekaman CCTV tersebut,” ujar perempuan cantik yang menjaga bagian resepsionis itu.
“Tapi, ini penting. Ada orang yang berbuat jahat pada saya dan saya butuh rekaman CCTV sebagai buktinya,” terang Reta mendesak.
“Maaf, Bu. Sejauh kami beroperasi, hotel kami ini adalah hotel berbintang dengan layanan prima. Kami memiliki penjagaan ketat sehingga para pengunjung nyaman. Mana mungkin ada kejahatan terjadi di sini. Ibu jangan menyebarkan isu negatif tentang hotel kami,” balas si resepsionis. Kali ini dengan tatapan tajam dan tak bersahabat.
Reta tahu si resepsionis mulai tersinggung karena pernyataannya. Namun, dia memang mengalami kejahatan pelecehan dari Jason di hotel ini.
“Saya sungguh tidak berbohong. Saya benar-benar menjadi korban,” timpal Reta. Kali ini dengan lebih ngotot.
Pihak resepsionis tidak membalas. Dia malah mengambil telepon dan menghubungi seseorang.
“Iya. Tolong segera ke sini ya? Saya tunggu,” ucap si resepsionis sebelum menutup teleponnya.
Reta kira si resepsionis itu berniat mengabulkan permintaannya. Namun, tebakan Reta salah.
Resepsionis memanggil satpam. Dua orang satpam menghampiri Reta dan langsung memegangi kedua tangan Reta.
“Ayo keluar!” ucap satpam hotel dengan galaknya.
“Argh! Lepas! Lepaskan aku!” teriak Reta. “Aku ini butuh bukti! Hotel ini benar-benar tempat terjadinya kejahatan. Aku ini korban! Tolong percaya padaku!”
“Anda jangan melawan,” balas si satpam hotel.
Reta diseret keluar hotel dengan sangat kasar dan tidak sopan. Bahkan, tubuh Reta didorong keluar dari lobi hotel dengan keras.
“AKH!” Reta jatuh tersungkur. Tangan dan lututnya lecet karena berbenturan dengan lantai kasar.
“Pergi dari sini atau kami laporkan ke polisi!” usir satpam. “Anda sudah membuat pengunjung hotel tidak nyaman. Kami bisa menuntut Anda dan memenjarakan.”
Reta menelan ludahnya. Dia tak mau dipenjara. Namun, dia masih membutuhkan bukti itu.
Segera Reta bangun dari duduknya. Dia membersihkan roknya yang sedikit sobek di bagian bawah. Pandangannya geram menatap ke arah satpam itu.
“Awas aja kalian! Bakal aku bikin kalian minta maaf balik padaku!” oceh Reta marah-marah.
Reta mendengkus sebal. Langkahnya kembali ke parkiran dan segera menaiki motornya.
Dia harus mencari cara lain untuk mendapatkan rekaman CCTV itu. Sayangnya, kepala dan hatinya sekarang panas semua karena amarah. Dia tak mampu berpikir jernih sekarang.
“Pulang dulu sajalah,” ucap Reta.
Dia menggunakan helmnya yang berwarna hijau muda dengan gambar katak keropi. Dia menyukai hal-hal berwarna hijau dan bermotif katak keropi. Bahkan, dia rela menjahit piyamanya dengan modal kain katun hijau bermotif keropi.
Reta mengendarai motornya menuju rumah. Dia ingin bersantai di kamar dan berpikir tenang.
Di depan ada sebuah perempatan. Lampu lalu lintas sudah berwarna merah. Tanda bahwa semua kendaraan harus berhenti.
Reta mengikuti rambu-rambu lalu lintas. Dia berhenti dan menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
Posisi Reta tepat di barisan depan di sebelah kiri dekat lampu lalu lintas. Dari belakang Reta ada sebuah mobil sport berwarna hitam melaju dengan cepat.
Tak ada bunyi klakson. Reta bahkan tak sempat mengetahui bahwa mobil sport hitam itu melaju kencang dan menyundul motornya dari belakang.
Yang Reta tahu adalah tubuhnya tertubruk kencang dan terlempar tinggi ke sisi kiri jalan. BRUK!
Suara dentuman tubuh Reta menghantam aspal terdengar kencang. Reta merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit dan remuk.
Reta sungguh ingin bisa bergerak. Namun, syaraf tubuhnya tak bisa diajak kerjasama. Perlahan pandangan Reta mengabur dan gelap.
JANGAN LUPA BERIKAN DUKUNGAN PADA PENULIS. INGIN TAHU KARYA PENULIS YANG LAINNYA? FOLLOW IG @bonanzalalala HAPPY READING ALL :D
Melihat interaksi Reta dan Doni membuat hati Rumi terasa tentam, ini yang sebenarnya ingin ia rasakan ketika melihat Reta bersama dengan Dirga.Dirga bukan suami yang buruk, namun dari beberapa sisi tak disadari justru itulah yang membuat siapapun sakit termasuk Reta sendiri.Lihat kedekatan Reta dan Doni saat ini tanpa sadar sekelebat ide gila muncul dalam otak Rumi, dan entah setan apa yang merasukinya saat ini ia mulai mengeluarkannya ponsel miliknya.‘Dirga harus tahu, aku juga perlu menguji rasa cintanya pada Reta,’ ucap Rumi dalam hati.Jprettt.Rumi menangkap gambar Reta dan Doni secara diam-diam.Dari tangkapan gambarnya Rumi berhasil menangkap potret Reta dan Doni yang nampak sangat dekat, lalu tanpa ragu ia langsung mengirim foto itu ke nomor Dirga.‘Sesekali Dirga memang pantas dapatkan hal ini,’ ucap Rumi dalam hati.Pesan singkat berisi beberapa foto bahkan video kedekatan Reta dan Doni telah terkirim namun belum dibaca oleh CEO kaya raya itu.‘Mungkin dia masih sibuk, ta
Dirga berdecak usai menonton video kiriman sang mama. Dia masih berada di Jepang sekarang. Selain memang ingin lari dari situasi pernikahan yang tidak dia inginkan sejak awal, dia memang memiliki beberapa tender proyek pembangunan gedung milik orang Indonesia yang dikembangkan di Jepang.Tentu saja Dirga tak bisa semudah itu bepergian. Dia harus bertanggung jawab mengecek harian proses pembangunannya dan mengawasi rancang bangunan sesuai dengan desain dan kekokohan bangunan atau tidak.“Dia terlihat lebih sehat,” gumam Dirga. Telunjuknya mengusap tepat di bagian wajah Reta tampak di layar ponselnya. Dalam hati, Dirga turut berbahagia karena Reta menunjukkan hasil pengobatan yang positif.Sebuah ketukan terdengar dari luar ruang kerja Dirga. Segera Dirga berhenti menatap ponselnya. Dia menaruh ponselnya di meja dan mempersilakan tamunya masuk.Tampak asistennya datang dengan setumpuk laporan progres pembangunan yang memang Dirga inginkan. Dirga termasuk tipe orang yang ketat dalam hal
Reta mengikuti pemeriksaan awal ke rumah sakit untuk melihat saraf kaki dan punggungnya. Dia mengikuti rangkaian pemeriksaan dan hasilnya keluar sekitar satu jam kemudian.“Dok, bagaimana dengan kondisi saya? Apa masih ada kemungkinan bagi saya untuk berjalan?” tanya Reta penuh harap. Dia termasuk sudah telat untuk menjalani terapi saraf dan jalan karena tak memiliki biaya. Namun, dia tetap berharap bahwa dia bisa kembali jalan kaki.“Ada beberapa saraf yang terjepit tapi masih bisa dikembalikan ke posisi semula dengan operasi dan terapi,” tutur si dokter. “Setidaknya Anda harus melakukan operasi dan terapi. Butuh waktu lama untuk penyembuhan. Sekitaran satu atau dua tahun.”Reta terkesiap dalam kebingungan. Ada harapan besar bagi dia untuk kembali sembuh. Namun, dia butuh waktu maksimal dua tahun agar bisa sembuh.Sebuah sentuhan lembut jatuh di kedua pundak Reta. Reta tersentak dan tersadar dari lamunan kebingungannya.“Reta, Mama nggak masalah soal biaya pengobatanmu kok,” bisik Ru
“Ga, mau ke mana?” tegur Zidan saat acara makan siang untuk merayakan pernikahan Dirga dan Reta selesai digelar.Langkah Dirga terhenti sebentar. Dia menoleh ke arah papanya yang sedang mengobrol bersama dengan adik-adik Dirga.“Ke kantor. Ada rapat dan sore nanti aku harus ke Jepang,” jawab Dirga. Dia menunjukkan koper biru tua yang ada di tangannya itu.“Ini hari pertama pernikahanmu, Ga. Di rumah dulu saja,” suruh Zidan. “Kamu nggak menghargai Reta sebagai istrimu.”“Aku sudah menuruti keinginan Papa dan Mama buat menikah. Sekarang terserah aku dong mau ngapain. Yang penting aku udah nikah, kan?” timpal Dirga. Dia mengingatkan kembali perjanjiannya dengan Zidan dulu. “Udah ya, Pa. Aku ada kerjaan menumpuk dan belum aku urusi gara-gara sibuk menyiapkan pernikahan ini.”“Reta bagaimana?” tanya Zidan. Dia mencoba bersabar menghadapi anak sulungnya yang memang terlampau bandel sejak kecil itu.“Reta kan harus pengobatan. Mendingan langsung bawa ke Singapura aja,” tutur Dirga. “Aku suda
Hari pernikahan yang dinanti telah tiba. Reta sudah mengenakan gaun pernikahan dengan model simpel sesuai dengan pilihannya.Wajah gadis itu tampak sangat cantik usai didandani oleh seorang make up artist ternama. Semua orang terkagum akan kecantikannya.“Wah, aku harus banyak ambil foto sama kamu, Ret,” Ninda tampak agresif dan mulai mengambil foto-foto bersama dengan Reta. “Kak Doni pasti seneng banget deh lihat foto-fotomu.”Reta mengulas senyuman simpul. Dia meladeni keinginan Ninda untuk foto bersama.“Kak Doni kan bukan suamiku, Ninda. Kamu harus bisa jaga kakakmu. Biar dia nggak dapet cap buruk,” tutur Reta. Dia sangat menghargai Doni sebagai seorang kakak. Dia tak mau orang lain berkata buruk tentang pria itu.“Santai aja. Kalaupun kamu cerai, Kak Doni kayaknya mau ajak nikahin kamu,” canda Ninda. Derai tawanya terdengar renyah. “Nanti malem kabarin aku ya? Kalau misal Dirga lakuin hal buruk ke kamu, kamu langsung sembunyi ke kamar mandi dan telepon aku. Janji ya?”Ninda menga
“Eh? Kenapa pipimu ada cap lima jari kayak ijazah sekolah, Ga?” celetuk Rumi saat bertemu dengan anak laki-lakinya di parkiran.Dirga mendengkus sebal. Tangannya masih mengusap-usap pipinya yang memanas gara-gara ditampar oleh Reta saat jatuh tepat di pangkuan Reta. Sebuah kesalahan besar karena tangan Dirga malah bergerak memegang dada kiri Reta untuk mendapatkan pijakan. Alhasil, cap lima jari melekat di pipinya.“Nggak tahu ah. Aku mau cabut dulu,” balas Dirga. Dia tak mungkin membuka aibnya dengan menceritakan ulang kejadian memalukan itu.Dirga melangkah duluan menuju mobilnya. Dia masuk ke dalam mobil dan langsung mengendarainya meninggalkan lokasi.Rumi menatap ke arah Reta. Dia yakin pasti terjadi sesuatu antara Reta dan Dirga. “Reta, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Rumi. “Dirga nggak bikin kamu kesal, kan?”Sebelumnya Reta agak takut pada Rumi. Bagaimanapun, Dirga adalah anak sulung Rumi dan status Reta masih bertunangan dengan Dirga. Dia belum resmi menjadi istri Dirga.“Maa