Grace tertawa dan menepuk wajah Ethan dengan gemas, lalu melepas tangan Ethan dan berlari, “Saat ini aku menginginkan hati yang lain, mungkin jika hati yang lain itu berpaling dariku, aku akan berusaha mengejar milikmu!” teriak Grace dari kejauhan, kemudian Ethan mengejarnya.
Grace dan Ethan tak sadar sepasang mata sedang melihat keduanya, seakan ingin menerkam dan memakan mereka, dan melumatnya sampai tak bersisa.
Edward berjalan dengan perasaan geram, mendekati keduanya, hatinya benar-benar dibuat sakit dengan kelakuan Ethan dan Grace, ya, apakah tak bisa membiarkan dirinya bahagia meski hanya sesaat?
Ethan dan Grace saling tarik menarik, kemudian menggelitiki satu sama lain, lalu tertawa, adegan yang sebenarnya diharapkan Edward, itu adalah dia dan Grace bukan laki-laki lain, belum lagi laki-laki itu adalah kakaknya sendiri.
Edward berkacak pinggang, berusaha menahan emosi yang meledak-ledak di dalam dadanya.
“Ehem!”
Grace dan Ethan
“Ed,” panggil Grace. “He-em,” jawab Edward. “Ada yang ingin kutanyakan,” ujar Grace. “Tanyakan saja.” “Kau dan Ethan, sepertinya sudah saling mengenal. Aku sebetulnya heran, kenapa kau dan Ethan memiliki paras yang hampir mirip, sebenarnya siapa Ethan?” “Dia ... kakak kandungku,” jawab Edward. Okay, semuanya menjadi jelas dan terjawab. Pantas saja Grace merasa kedua pemuda ini sangat mirip, dan semuanya menjadi jelas dengan jawaban dari mulut Edward. “Tapi ... kenapa sekarang dia ada di Amerika?” “Dia dan tunangannya membatalkan pernikahan, Karen kekasihnya, meninggalkannya. Kau tahu ... Grace, Ethan meninggalkan segalanya demi perempuan itu, bahkan dia berani membangkang dan melawan kedua orangtuaku demi perempuan itu. Tetapi perempuan itu mencampakkan Ethan begitu saja,” jelas Edward panjang lebar. “Ah. Kalau kau di posisi Ethan, apa kau akan melakukan hal yang sama?” tanya Grace dengan sebuah pertanyaan yang
Edward terdiam, setiap dia ingin menyatakan perasaannya, selalu saja yang dikatakan adalah yang sebaliknya. “Kau itu—“ “Ayo sebutkan,” tantang Grace sambil menaikkan satu alisnya dan berkacak pinggang. Grace sebenarnya tak tahan ingin menertawakan sikap Edward yang terlihat seperti anak kecil di depannya. “A-aku, kau itu ... milikku!” “Milikmu, kau kan tak menyukaiku, mana bisa menjadi milikmu!” “Bisa saja, kenapa harus menyukaimu baru bisa menjadi milikku?” “Kalau begitu, aku bukan milikmu,” ledek Grace lalu berbalik dan berjalan hendak meninggalkan Edward. Edward sadar, Grace memancingnya untuk mengatakan perasaannya, tapi setiap ingin mengatakannya, mulutnya seperti terkunci. “Grace!” panggil Edward. “Apalagi?” “Kalau kau masih dekat dengan laki-laki lain, aku akan mematahkan tangan mereka semua, kau paham!” “No, aku masih bebas. Jadi aku masih bisa memilih dengan siapa aku akan dekat-dekat, lagipula kau tak
Akhirnya Grace harus kembali ke Detroit, waktu berliburnya sudah berakhir, kini dia harus menghadapi realita kehidupan yang sebenarnya. Dia harus kembali bekerja, kuliah, dan mungkin mengurus banyak tetek bengek lain, Edward memintanya segera menempati rumah baru yang dibelikan Edward untuknya, dengan alasan supaya Grace lebih mudah diawasi., tapi Grace masih belum memberikan jawaban pasti. “Eh,” panggil Edward. “Kau ini kebiasaan, panggil namaku, eh... eh, kau kira aku sudah ganti nama?” “Ethan tak menggodamu, kan?” tanya Edward tiba-tiba. “Memangnya kenapa kalau dia menggodaku? Lagipula kalian berdua bukan tipeku, aku... hmmm.” Grace terdiam tak melanjutkan kalimatnya, dia tak ingin jika sampai mengatakan kalau dia menyukai Kevin, maka Edward akan kembali mengamuk, tapi sampai kapan harus menyembunyikan perasaannya? “Aku tak peduli, siapa pun tipe laki-laki yang kau mau, aku tak akan melepasmu begitu saja, Grace.” “Seenak
"Stop, jangan sebut nama Lesley, dia meninggalkanku, dia—" "Dia pantas meninggalkanmu, meninggalkan seorang pecundang yang terlalu takut menyampaikan apa yang dirasakannya. Seandainya aku seorang perempuan, aku pun akan melakukan hal yang sama, meninggalkan hubungan yang tak memiliki kepastian. Jadi jangan salahkan Lesley yang lebih memilih orang lain dibanding kau, Ed." "Lalu kau mau apa dengan hubunganku dan Grace?" "Mungkin aku dan Karen memang belum berakhir, tapi bukan berarti aku tak bisa mendekati siapa pun yang aku inginkan. Aku lebih berani mengatakan apa yang kurasakan, meski hasil akhir terkadang tak sesuai ekspektasi setidaknya aku tidak menyandang predikat pecundang sepertimu, kau paham?" Tanpa banyak bicara lagi, Edward melayangkan sebuah pukulan ke wajah Ethan sekuat tenaga. Ethan tak melawan, disentuhnya pipi yang menjadi sasaran Edward, terasa nyeri, tapi itu tak seberapa. "Kalau kau bicara lagi, aku tak akan segan menghabisim
Tak lama kemudian sebuah hidangan tersedia di meja. Edward langsung mengambil sandwich yang dibuat oleh Mrs. Collins, dan memakannya dengan lahap. Kedua mata Grace tak berpaling dari wajah Edward, ditatapnya lekat, ada desiran hangat yang mengalir di dadanya, dan dia masih belum mengerti perasaan apa yang dirasakannya. Dia tahu, ketika dia berada di Northville, meski dia berusaha melupakan Edward, tetap tak bisa, apalagi saat Ethan muncul, membuat sosok Edward semakin lekat di dalam ingatannya. Grace tersenyum ketika melihat Edward yang kini berada di hadapannya. “Kau daritadi tersenyum sendiri, apa kau sedang melamunkan hal-hal berbau mesum?” tanya Edward membuyarkan lamunan Grace. “Heh, kau ini kalau bicara jangan sembarangan, apa salahnya menonton film porno, aku masih normal, tidak seperti kau yang—“ Edward mengangkat satu alisnya, membuat Grace langsung berhenti berbicara. “Apa?” “Eh ... kau itu—“ “Perjelas,” potong Edward sekali
Edward segera memersiapkan diri, dia ingin membawa Grace makan malam bersamanya, tentunya hanya berdua, dia tak mau lagi ada pengganggu. Edward tak kembali ke rumah, dengan cepat dia meluncur ke arah rumah Grace. Bahkan tadi dia menolak ajakan Vanes dan Mark yang mengajaknya ke bar, tentu saja kedua pemuda itu tahu betul Edward akan pergi bersama siapa. Sesampainya di sana, Mrs. Collins yang membukakan pintu, dan tebak .... Grace tak ada di rumah, rupanya Kevin telah membawa Grace pergi lebih dulu dari beberapa jam yang lalu. “Grace tak ada di rumah, Ed,” ujar Mrs. Collins memersilakan Edward untuk masuk ke dalam rumah. “Ma-maksudmu ... dia sudah pergi?” “Iya.” Edward memegang bahu Mrs. Collins dan mengguncangnya, “Katakan padaku, dia pergi dengan siapa?!” “Seorang pemuda, namanya ... Kevin,” jawab Mrs. Collins. Mrs. Collins tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan tak pernah mengetahui jika putri kesayangannya sekarang menjadi idola
“Kenapa setiap kali kita bertemu, selalu berakhir seperti ini. Waktu terus berjalan, semakin hari semakin berkurang, yang harus kuhadapi bukan hanya Kevin, masih ada satu orang atau mungkin beberapa orang lagi di luar sana, Grace. Entah apa yang membuatmu istimewa sehingga aku tak mengalihkan pandanganku,” ujar Edward tanpa memerlukan tanggapan dari siapa pun. Edward kembali terdiam, terpaku di tempatnya, terkadang kau menyalahkan takdir, di mana kau sebenarnya bisa mengubah takdir itu. Hujan semakin deras, tak dipedulikannya derai hujan yang menghajar tubuhnya, air hujan yang terus menerus membasahi tubuhnya tak sebanding dengan apa yang hatinya rasakan. Sakit. Kecewa! Edward tak tahu jika Grace masih terus mencari dan mengejarnya, begitu pun dengan Kevin yang merasa ada sesuatu, dia keluar dari dalam restoran dan mencari Grace. Ketiganya saling mencari, berusaha menemukan, dan mendapatkan jawabannya. “Edward!!!” teriak Grace ketika melihat Edward yang kini
Edward memutuskan kembali ke rumah, tanpa disangka, kedua sahabatnya sudah menunggu di ruang tamu bersama ... Ethan? Ketiganya bercakap-cakap sambil bermain kartu tanpa menyadari bahwa Edward sedang menatap ketiga pemuda yang dianggapnya menyedihkan itu. “Lihat, pemuda gengsi itu basah kehujanan, apa kencanmu gagal?” tanya Ethan sedikit mengejek. Sebenarnya dia ingin meledek Edward lebih jauh, tapi sekilas dia memerhatikan raut wajah Edward yang tak memiliki gairah menanggapi kalimatnya, wajahnya terlihat acak-acakan. “Hey, Ed. Kenapa dengan pakaianmu?” tanya Mark penasaran. Edward terlihat seperti orang frustasi yang baru saja gagal bunuh diri. Dia tetap tak menjawab, melainkan menghampiri ketiganya di sofa, kemudian mengempaskan tubuhnya dengan kasar, lalu menarik rambutnya. “Kau kenapa?’ tanya Vanes kali ini, dirapikan kartu dalam genggamannya dan diletakkan ke atas meja, dia ingin tahu dari mulut Edward apa yang membuatnya seperti ini. Edward meng