Bab 2

Livia masih berdiri di ambang pintu, terpaku menatap pria asing yang kini berdiri di hadapannya.

Pria itu tinggi, lebih tinggi dari ayahnya, dengan bahu lebar dan aura dingin yang mengintimidasi. Matanya sehitam malam, menusuk ke dalam jiwanya seolah mencoba menelanjangi setiap sisi dirinya. Rahangnya tegas, dan wajahnya tanpa ekspresi, kecuali bibir tipis yang sedikit tertarik ke samping bukan senyuman, lebih seperti ejekan.

Livia tidak mengenalnya.

Tapi firasatnya mengatakan, pria ini bukan orang baik.

“Siapa—”

“Apa dia?” suara bariton pria itu memotong kata-kata Livia, mengabaikan keberadaannya seakan ia tak lebih dari sekadar barang.

Richard menegang. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Zayn,” katanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan penuh beban.

Livia mengernyit.

Zayn?

Nama itu terdengar familiar, seakan ia pernah mendengarnya di suatu tempat.

Zayn melangkah masuk tanpa izin, gerakannya santai namun penuh otoritas, seolah rumah ini miliknya. Ia menelusuri ruangan dengan tatapan dingin sebelum akhirnya pandangannya kembali ke Livia.

“Ini gadisnya?” tanyanya lagi.

Richard menundukkan kepala, rahangnya mengeras. “Iya.”

Seketika, Livia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Hah?” Ia menatap ayahnya dengan bingung. “Maksudnya ‘gadisnya’ gimana, Papa?”

Richard tidak langsung menjawab.

Tetapi Zayn menjawabnya dengan caranya sendiri.

Pria itu merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kertas lipat dan melemparkannya ke meja.

“Kontrak,” katanya dingin.

Livia semakin bingung. Matanya menelusuri tulisan di atas kertas itu huruf-huruf kecil yang tampak rumit, tetapi satu kalimat tertulis jelas di bagian atas.

‘Perjanjian Pengambilalihan Jaminan.’

Jaminan?

Perlahan, Livia menoleh ke arah ayahnya, ekspresi cerianya mulai pudar.

“Papa...” bisiknya. “Apa ini?”

Richard menghela napas panjang.

“Livia...” suaranya berat, penuh luka yang tak terlihat. “Papa... Papa tidak punya pilihan.”

Zayn menatap jam tangannya dengan bosan, lalu mendengus pelan. “Aku tidak punya waktu untuk drama keluarga. Ambil barang-barangmu dan ikut denganku.”

Livia terdiam.

Detik itu juga, perasaannya runtuh.

Seakan otaknya baru saja memproses semuanya, ia akhirnya sadar...

Papa menjualnya.

Dijual?

Seperti barang dagangan yang tidak memiliki kehendak sendiri.

“Ti-tidak...” suaranya tercekat, kepalanya menggeleng pelan. “Papa, ini bercanda, kan?

Richard tidak bisa menjawab.

Dan jawaban itu lebih menyakitkan dari seribu pukulan.

Tenggorokan Livia terasa kering. Dadanya sesak, seakan udara di ruangan ini telah menghilang.

“Papa...” air mata mulai menggenang di matanya. “Katakan kalau ini cuma lelucon... Katakan kalau ini cuma mimpi buruk...”

Zayn, yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya menghela napas dengan kesabaran yang mulai habis.

“Gadis bodoh,” katanya pelan, tapi penuh penghinaan. “Ayahmu mencuri dariku. Puluhan miliar. Kau pikir aku akan membiarkannya hidup begitu saja?”

Livia menelan ludah.

Zayn melanjutkan, langkahnya kini lebih dekat ke arahnya. “Kalau kau tidak mau menyerahkan diri, maka aku bisa mengambilnya dengan cara lain.”

Pria itu menarik ponselnya, lalu menekan sesuatu. Beberapa detik kemudian, layar ponsel menyala, menampilkan gambar yang membuat darah Livia membeku.

Sebuah video pengintai.

Di dalamnya, terlihat ibunya sedang tertidur di kamar mereka.

Zayn menggeser layar.

Gambar lain muncul.

Seorang pria berbaju hitam berdiri di luar jendela kamar ibunya, mengamati dari balik kegelapan.

Livia menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya gemetar.

“Kalau kau ingin ibumu tetap hidup,” Zayn berkata, nadanya ringan seakan ini hanya transaksi biasa. “Maka kau ikut denganku. Sekarang.”

Tidak ada kebohongan dalam suaranya.

Tidak ada ampun dalam matanya.

Livia tahu...

Pria ini benar-benar bisa membunuh ibunya jika ia tidak menurut.

Hening

Udara di ruangan terasa berat, seakan gravitasi meningkat dua kali lipat.

Livia menatap ayahnya, matanya memohon.

Namun, Richard hanya bisa menunduk dalam rasa bersalah.

Livia menggigit bibirnya, merasakan matanya panas.

Hanya ada dua pilihan:

Menolak, dan ibunya mati.

Atau... menyerahkan dirinya pada pria yang bahkan lebih kejam daripada setan.

Livia menghela napas gemetar, lalu mengangkat kepalanya.

Mata cokelatnya yang tadi penuh kepolosan kini mulai dipenuhi ketakutan.

“T-tolong...” suaranya lemah, hampir tak terdengar. “Ja-jangan sakiti Mama...”

Zayn mengangkat sebelah alis. “Kau setuju?”

Livia menelan ludah, sebelum akhirnya mengangguk kecil.

Zayn mengulum senyum tipis. “Bagus.

Kemudian, tanpa peringatan, ia meraih pergelangan tangan Livia dan menariknya mendekat.

“Ayo,” katanya tanpa basa-basi.

Livia terkesiap, tubuhnya seketika ditarik ke dalam dunia yang tidak ia mengerti.

Namun, saat kakinya melangkah, ia tiba-tiba berhenti.

“T-tunggu!” serunya panik.

Zayn mengernyit. “Apa lagi?”

Livia menoleh ke ayahnya. “Aku harus ambil permenku dulu!”

Ruangan mendadak hening.

Zayn memejamkan mata sejenak, seakan mencoba memahami apakah ia baru saja mendengar hal yang benar.

“Apa?”

Livia tidak menjawab. Sebaliknya, ia berlari ke kamarnya, membuka laci meja, dan mulai mengeluarkan puluhan permen coklat dari dalamnya. Beberapa di antaranya bahkan disimpan di dalam boneka berbentuk kelinci merah muda.

Zayn mengamati pemandangan itu dengan ekspresi tidak percaya.

Gadis ini benar-benar polos atau otaknya memang kosong?

“Kau bercanda, kan?” tanyanya dingin.

Livia memeluk sekantong penuh permen ke dadanya, lalu menggeleng kuat. “Enggak! Aku nggak bisa tidur tanpa permen ini!”

Zayn menatapnya dengan datar, lalu mendekat.

Tanpa banyak bicara, pria itu meraih kantong permen dari pelukan Livia, membuangnya ke lantai, dan menyeretnya keluar tanpa memberi kesempatan untuk protes.

“HEI! PERMENKU!”

Zayn tidak peduli.

Dan dalam hati, ia sudah bisa menebak satu hal

Gadis ini pasti akan sangat menyebalkan.