“Tuan, syukurlah Anda sudah datang. Nyonya terus menanyakan Anda,” ucap seorang laki-laki dengan nada penuh kelegaan.
Oliver hanya mengangguk dan mempercepat langkahnya. Laki-laki itu sudah tidak sabar ingin segera sampai di ruang perawatan ibunya.
“Dokter, bagaimana keadaan ibuku?” tanya Oliver dengan napas terengah-engah.
“Keadaan Nyonya Alia sudah lebih tenang. Anda dapat menemuinya di ruangan, Tuan.”
Dokter itu segera mempersilakan Oliver untuk masuk ke sebuah ruangan dengan cahaya temaram. Laki-laki itu mengembuskan napas lega ketika melihat seseorang tengah berbaring di atas ranjang.
“Bu, ini Oliver, apa Ibu baik-baik saja?” bisik Oliver dengan nada penuh kelembutan. Laki-laki itu mengusap lembut puncak kepala wanita yang tengah tersenyum kepadanya.
“Oliver, jangan tinggalkan Ibu. Ibu, ingin selalu bersamamu!” lirih wanita itu dengan netra berkaca-kaca.
“Bu, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan mengizinkan siapapun menyakitimu,” bisik Oliver dengan penuh perhatian. Hatinya terasa teriris melihat tatapan sayu yang terpancar dari wajah Alia.
“Oliver, apa ayahmu sudah pulang ke rumah? Ayah pasti mencari keberadaan kita.” Wanita itu berbicara sambil memegang erat tangan putranya.
“Bu, istirahatlah. Setelah kondisi Ibu pulih, kita akan kembali ke rumah. Aku berjanji akan membawa ayah pulang ke rumah dan berkumpul kembali seperti dulu.” Oliver memeluk erat tubuh ringkih Alia. Ada kesedihan yang tergambar di wajahnya.
“Bu, aku sudah berhasil membalaskan dendammu kepada orang-orang yang menyakitimu. Aku bahkan sudah memberikan pelajaran yang tidak akan pernah mereka
lupakan seumur hidupnya.” Oliver berbicara dengan nada lirih. Seketika senyum itu terbit di wajah tampannya.
“Oliver, jangan tinggalkan Ibu!” ucap Alia dengan nada penuh permohonan.
Oliver mengangguk dan memeluk erat tubuh ibunya. Ia berjanji akan menemani wanita itu sampai benar-benar terlelap ke alam mimpi.
“Tidurlah, Bu. Aku akan terus berada di sini menemanimu,” bisik Oliver dengan penuh kasih sayang. Laki-laki itu mengenang masa-masa bahagianya bersama kedua orang tua angkatnya. Ia bahkan merasa beruntung memiliki keluarga angkat seperti mereka.
Namun, kini semua telah berubah. Perselingkuhan ayahnya telah membawa kehancuran dalam keluarga mereka.
***
Matahari sudah bersinar terang, Sonya tampak mengamati wajahnya yang terlihat pucat dengan kantung mata di wajahnya. Hari ini, dirinya ingin menemui Rafael dan menjelaskan semuanya. Ia akan meminta maaf, meski semuanya telah terlambat. Calon suaminya bahkan sudah menikah dengan Stella dan tega mengkhianatinya.
Sonya kembali terisak, kenapa Tuhan seakan tidak adil kepadanya? Kenapa semua tidak
ada yang berpihak kepadanya? Pria brengsek itu bahkan tega merendahkan dan melecehkan dirinya. Lalu, apa lagi yang dapat ia banggakan sekarang? Tidak ada. Semua sudah hancur semenjak pria itu menjamah tubuhnya.
Setelah merapikan diri, Sonya bergegas turun ke bawah untuk menemui ibunya. Meski ia merasa kecewa kepada wanita itu, tetap saja hatinya merasa iba membayangkan rasa malu yang harus ditanggung oleh pihak keluarganya.
Dayana tersenyum manis melihat putranya yang baru saja turun dari tangga. Wanita itu ingin bertanya mengenai kepergian Sonya tepat di hari pernikahannya.
“Sonya, apa kamu baik-baik saja?” tanya Dayana dengan tatapan penuh kelembutan. Wanita itu bersikap sangat hati-hati dan takut menyinggung perasaan putrinya.
Sonya hanya mengangguk dan memilih duduk di kursi dengan wajah tertunduk. Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir dengan perubahan sikapnya.
“Sonya, kenapa kamu meninggalkan Rafael? Apa kamu tidak mencintai dia?” tanya Dayana dengan nada setenang mungkin. Wanita itu mengusap lembut bahu Sonya dengan penuh perhatian.
Sonya hanya menggeleng dengan perasaan campur aduk. Bagaimana mungkin dirinya tega meninggalkan pria yang sangat dicintainya? Ia bahkan sudah merangkai banyak hal untuk kehidupan pernikahannya dengan Rafael. Namun, mala petaka itu datang dan menghancurkan segalanya.
“Apa Rafael sudah menyakitimu?” Dayana kembali bertanya kepada putrinya. Ia ingin mengetahui alasan Sonya meninggalkan pria itu di pelaminan.
“Aku mencintainya,” lirih Sonya dengan air mata yang menetes. Ada rasa sakit yang tengah ia sembunyikan di balik netranya.
“Kalau kamu mencintainya, kenapa kamu meninggalkan dia sendirian? Kenapa kamu tega menyakitinya?” tanya Dayana dengan tatapan lekat. Ia ingin tahu alasan putrinya yang tega meninggalkan Rafael di hari bahagia mereka.
“Aku tidak pantas untuknya dan dia berhak mendapatkan yang lebih baik dariku.” Sonya menjawab pertanyaan Dayana dengan bibir bergetar. Ada rasa sesak yang kini tengah menyeruak di dalam dadanya.
“Tidak pantas?” ucap Dayana sambil mengernyitkan keningnya. Wanita itu sepertinya tidak paham dengan jawaban Sonya.
“Ya, aku tidak pantas bersama dengannya karena ibuku telah berselingkuh dengan laki-laki beristri. Kalau aku melanjutkan pernikahan itu, aku takut keluarga Rafael akan malu dengan latar belakang keluarga kita.” Sonya menjawab pertanyaan Dayana dengan nada setenang mungkin. Ia seakan tengah menumpahkan gejolak kemarahan di dalam dadanya.
“Plak!” Dayana menampar putrinya dengan tatapan tidak percaya. Wanita itu bahkan merasa menyesal melihat bekas tamparan di pipi Sonya.
“S-sonya, maafkan Ibu!” lirih Dayana dengan tatapan tidak percaya. Ia terlihat sangat menyesal karena sudah gegabah menampar putri kesayangannya.
“Bu, sekarang Ibu sudah puas dengan menamparku?” ucap Sonya dengan netra berkaca-kaca. Perempuan itu segera bangkit dan bergegas meninggalkan meja makan.
“Sonya, tunggu dulu. Jangan pergi dan maafkan kesalahan Ibu!” seru Dayana dengan tatapan penuh penyesalan. Ia terlihat meluruh ketika melihat kepergian putrinya.
Sonya seakan menulikan pendengarannya. Ia bahkan segera pergi menghentikan taksi yang melintas di depan rumahnya, lalu menuju ke rumah Rafael. Ya, hunian yang hendak mereka jadikan rumah masa depan untuk keluarga kecilnya. Namun, apa Sonya masih berhak, ketika Rafael telah memilih hati yang lain untuk berlabuh? Memikirkan hal ini membuat kepala Sonya berdenyut.
Sepanjang jalan, Sonya berusaha memberanikan diri untuk menemui pria yang selama ini menjadi pusat dunianya. Entah kenapa, rasa rindu itu begitu besar dan memaksa Sonya untuk melihat wajah pria yang hampir menjadi pendamping hidupnya.
Setelah hampir setengah jam, Sonya telah sampai di sebuah rumah berlantai dua dengan konsep industrial. Ia segera turun dan menatap bangunan bercat putih yang ada di hadapannya. Perempuan itu mengembuskan napas kasar dan mencoba menahan perih di dalam dadanya.
Dengan langkah perlahan, ia mendekat ke pintu utama dan menekan bel yang terpasang di sana. Wajahnya tampak gelisah dan menyiratkan kekhawatiran yang begitu besar di sana. Ia benar-benar takut untuk menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi.
“Tuhan, beri aku kekuatan untuk menemui Rafael!” lirih Sonya sambil menautkan jari jemarinya. Ia sedang mencoba menata hati sebelum benar-benar bertemu dengan pria yang sangat dirindukannya.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Seorang pria dengan wajah kusut keluar dari sana. Ketika tatapan mereka bertemu, tubuh Rafael menegang dan seolah tidak percaya dengan kehadiran sosok yang tengah berdiri di hadapannya.
“Sonya, benarkah itu kamu?”
***
Bersambung
“D-datang bulan?” tanya Sonya dengan tatapan terkejut. Seketika ia sadar kalau dirinya sudah terlambat datang bulan.“Ya, kapan Anda terakhir datang bulan?” ucap Dokter Shesa dengan senyum di wajahnya.“Awal bulan lalu,” jawab Sonya dengan tatapan cemas. Apa pelayan di rumahnya benar, kalau dirinya kini tengah mengandung? Kalau benar, ini adalah kabar bahagia untuk keluarga besar mereka. Namun, kalau kabar ini salah, pasti Oliver akan kecewa.“Kenapa kamu diam saja? Apa kepalamu masih pusing?” tanya Oliver dengan penuh kelembutan.“T-tidak, aku hanya khawatir kalau kamu akan marah padaku,” jawab Sonya dengan wajah tertunduk dalam.“Marah? Kenapa aku harus marah?” tanya Oliver dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Aku takut mengecewakanmu. Kalau aku tidak hamil bagaimana?” lirih Sonya dengan nada penuh kegelisahan.“Sonya, kamu bicara apa? Kalau kamu tidak hamil, bagiku tidak masalah. Apa kamu lupa kalau kamu sudah memberikanku ketiga anak-anak hebat yang melengkapi kebahagiaan rumah t
Tiga bulan kemudian“Hoek! Hoek! Hoek!” Sonya kembali memuntahkan isi perutnya dengan kepala yang berdenyut hebat. Wanita itu merasa aneh dengan rasa mual yang beberapa hari ini kerap menyerang dirinya. Padahal akhir-akhir ini, ia merasa kondisinya baik-baik saja. Namun, rasa mual itu membuatnya semakin tersiksa.“Sonya, apa kamu baik-baik saja?” seru Oliver dengan nada cemas. Laki-laki itu tampak gelisah ketika menunggu Sonya yang tidak kunjung keluar dari kamar mandi.“Y-ya, aku baik-baik saja.” Sonya menjawab dengan nada lemah. Wanita itu tampak menyadandarkan dirinya ke dinding kamar mandi sambil memijit pelipisnya yang berdenyut.Oliver yang tampak cemas, segera membuka pintu dan masuk ke dalam. Laki-laki itu sangat terkejut ketika mendapati istrinya tengah bersandar di dinding dengan wajah pucat pasi.“Sonya, apa yang terjadi? Apa kamu sedang sakit?” tanya Oliver dengan tatapan penuh kekhawatiran. Ia dengan sigap menggendong tubuh istrinya dan membawanya keluar dari sana.Dengan
Yura melangkah dengan wajah tertunduk. Sesekali wanita itu menggenggam erat tangan ayahnya. Ada kegelisahan yang terpancar jelas di wajahnya.“Jangan takut, semua akan baik-baik saja!” ucap Tuan Yoshio dengan penuh kelembutan. Laki-laki itu segera mengantarkan putrinya menuju ke pelaminan. Di sana Zack sudah menunggu sang mempelai dengan senyum yang tergambar jelas di wajahnya.Tuan Yoshio mengantarkan Yura ke pelaminan. Laki-laki itu menyerahkan tanggung jawabnya kepada Zack, pria yang kelak akan mendampingi putrinya dalam suka maupun duka.“Zack, aku serahkan putriku padamu dan aku harap, kamu tidak akan menyakiti atau menyia-nyiakan dia!” ucap Tuan Yoshio dengan netra mengembun. Untuk pertama kalinya laki-laki itu merasakan kesedihan yang begitu besar di dalam hidupnya. Melepaskan Yura adalah hal terberat di dalam hidupnya.“Tuan, saya akan menjaga Yura sebaik-baiknya.” Zack berbicara dengan tatapan lekat. Laki-laki itu tahu kalau Tuan Yoshio sangat mencintai putrinya.Setelah berb
“James, waktuku sepertinya telah tiba,” lirih Alia dengan tatapan menerawang.“Tidak Alia, kamu pasti akan sembuh. Jangan berbicara seperti itu!” ucap Tuan James dengan tatapan yang begitu lekat.Namun, genggaman tangan Alia semakin melemah. Wanita itu hanya berbisik pelan kepada James untuk kembali kepada Dayana.“J-james, kembalilah kepada Dayana dan hiduplah bersamanya,” bisik Alia dengan tatapan sendu. Wanita itu seakan ingin menebus kesalahannya kepada Dayana.“Ya, aku akan hidup bersamanya, namun berjanjilah untuk terus berjuang. Kamu pasti akan sembuh dan kita dapat hidup bersama-sama.” Tuan James menggenggam erat tangan Alia. Laki-laki itu takut terjadi apa-apa dengan istrinya.Wajah Oliver tampak pucat pasi. Laki-laki itu tidak menyangka kalau kondisi Alia akan memburuk. Tadi, mereka sempat berbincang panjang lebar mengenai asal usul dirinya. Alia bahkan meminta Oliver untuk berbakti kepada ibu kandungnya. Wanita itu meminta sang putra untuk memaafkan apa pun kesalahan ibu ka
“Bu, apa yang Ibu katakan? Kenapa Ibu menangis?” tanya Zack dengan penuh rasa penasaran. Ia takut telah terjadi sesuatu pada ibu kandungnya.Nyonya Prita hanya tersenyum dan mengusap air matanya. Wanita itu menggeleng pelan dan meminta putranya untuk tetap fokus mengemudi.“Zack, jangan mencemaskanku. Aku baik-baik saja,” jawab Nyonya Prita dengan senyum di wajahnya. Wanita itu kembali terdiam dengan tatapan sendu. Entah kenapa, dadanya berdebar hebat ketika membayangkan sosok Oliver yang akan ditemui olehnya. Wanita itu hanya berharap kalau Oliver mau menerima dirinya sebagai seorang ibu yang telah melahirkan laki-laki itu ke dunia.Setelah menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang dituju. Nyonya Prita segera turun dengan langkah tergesa. Wanita itu seakan sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sosok yang sangat dirindukannya.“Bu, tunggu!” seru Zack dengan nada cemas. Ia merasa aneh dengan gerak-gerik ibu kandungnya. Namun, Bibi Weni segera menghentikan langkah
“Zack, ayo cepat bersiap-siap. Setelah selesai sarapan, kita akan pergi!” ucap Nyonya Prita dengan nada serius. Wanita itu meminta putranya untuk segera bersiap-siap.“Pergi? Kita akan pergi ke mana Bu? Apa kita ada agenda bertemu seseorang?” tanya Zack dengan kening mengernyit. Laki-laki itu tampak keheranan mendengar ucapan ibunya.“Cepatlah bersiap-siap, kita akan segera sarapan!” jawab Nyonya Prita dengan tatapan lekat. Wanita itu tampak sibuk menyiapkan menu makanan di meja makan.Bibi Weni mendekat dan menatap kakak perempuannya dengan perasaan campur aduk. Wanita itu tahu kalau Prita tengah larut dalam kegelisahan di dalam dirinya.“Prita, apa kamu sudah siap untuk menemui Oliver?” tanya Bibi Weni dengan tatapan penuh perhatian.“Ya, tadi Tuan James menghubungiku. Dia memintaku untuk segera datang ke rumah sakit karena Alia memintaku untuk segera datang ke sana.” Nyonya Prita berbicara dengan nada serius. Wanita itu memang sempat beberapa kali berkomunikasi dengan Tuan James da