“Sonya, benarkah itu kamu?” lirih Rafael dengan netra membola. Laki-laki itu membeku dengan tatapan tidak percaya. Ada perasaan sesak yang tengah memenuhi rongga dadanya.
Sonya hanya mengangguk dan meremas kemejanya. Ada rasa perih yang tengah menjalari raganya. Ingin sekali Sonya berlari dan memeluk Rafael, namun ia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.
“Sonya, kamu ke mana saja? Kenapa kamu tega meninggalkan aku di hari bahagia kita? Aku sungguh sangat terpukul dengan kepergianmu,” ucap Rafael dengan tatapan penuh kekecewaan. Laki-laki itu mengembuskan napas kasar seakan tengah melepaskan beban berat di dalam hidupnya.
“Rafael, maafkan aku!” lirih Sonya dengan bibir bergetar. Ada rasa bersalah yang kini tengah menyelimuti hati Sonya. Apalagi bayangan laki-laki brengsek itu, seakan terus menerus menari-nari di pelupuk matanya.
“Sonya, tanpa perlu meminta maaf, aku bahkan sudah memaafkanmu. Namun, aku tidak pernah menyangka kalau kamu begitu tega mempermalukan diriku.” Rafael berbicara dengan tatapan penuh amarah. Ia tidak menyangka wanita yang begitu dicintai, tega mengkhianati dirinya.
Sonya hanya menggeleng, ia ingin mengatakan semua kebenarannya. Namun, lidahnya kelu dan ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Ketika mereka sedang berduaan, tiba-tiba Stella keluar dari dalam. Ia tampak terkejut melihat keberadaan Sonya di rumahnya.
“Rafael, aku sudah selesai membuat…,” kata-katanya terhenti ketika Stella melihat mereka berdua di sana.
“Prang!” suara gelas yang jatuh dan beradu dengan lantai marmer membuat Rafael dan Sonya tampak terkejut. Mereka segera mengalihkan perhatiannya kepada Stella yang masih berdiri di tempatnya.
“S-stella, maaf!” lirih Sonya dengan wajah gugup. Ia merasa tidak nyaman melihat ekspresi sepupunya.
“Sonya, kamu ke mana saja?” tanya Stella dengan tatapan lekat. Ia merasa penasaran dengan kepergian sepupunya.
“A-aku tidak ke mana-mana. Selamat untuk pernikahan kalian dan aku berharap, kalian akan menjadi pasangan yang bahagia.” Sonya berusaha menyembunyikan tangisnya. Ia bahkan mencoba terlihat baik-baik saja di hadapan Rafael dan Stella.
“Sonya, kamu harus berterima kasih kepada Stella. Kalau bukan karena dia, mungkin keluargaku akan menanggung malu karena ulahmu!” Rafael berbicara dengan nada dingin. Ia masih menyimpan rasa sakit di dalam hatinya.
“Rafael, aku tahu kalau aku salah. Aku ke sini hanya ingin mengembalikan cincin pertunangan kita.” Sonya melepas cincin yang melingkar di jari manisnya dan menyerahkannya kepada Rafael. Ada rasa perih yang mengiris di hati perempuan itu. Bayangan peristiwa terkutuk itu, kembali menari-nari di pelupuk matanya.
Stella tampak begitu canggung, ia memilih untuk pergi meninggalkan Sonya dan Rafael. Meski dirinya juga mencintai Rafael, namun ia paham dengan posisi mereka.
“A-aku masuk ke dalam dulu!” ucap Stella dengan nada gugup.
Sonya ingin mencegah kepergian Stella, namun wanita itu sudah berlalu dari hadapan mereka.
“Sonya, kamu sudah puas menyakitiku?” ucap Rafael dengan tatapan sendu. Ada rasa sakit yang menghujam di dalam dadanya.
Sonya hanya terdiam dengan buliran bening yang menetes dari sudut netranya. Kalau saja pria brengsek itu tidak pernah merenggut segalanya, mungkin sekarang dirinya tengah bersama Rafael menikmati madu-madu cinta. Tapi semua telah berbeda, Sonya yang sekarang adalah wanita kotor yang sudah dinodai pria iblis seperti Oliver. Dirinya benar-benar tidak pantas bersanding bersama Rafael.
"Ya, kamu benar. Aku memang jahat dan tidak pantas bersamamu.” Sonya berbicara dengan nada bergetar. Bayangan malam terkutuk itu, kembali menari-nari di pelupuk Sonya.
“Sonya, kenapa kamu begitu tega mengkhianati hubungan kita? Kenapa kamu meninggalkanku di saat aku sudah siap mengucapkan janji suci denganmu? Kamu sungguh keterlaluan!” Rafael kembali menumpahkan kekecewaannya. Ia benar-benar terluka dengan keputusan yang diambil oleh Sonya.
“Maaf, aku memang terlalu jahat untukmu dan aku hanya mampu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua.” Sonya kembali menegaskan kalau dirinya sangat menyesal telah menyakiti pria yang sangat dicintainya. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia akan memilih untuk menikah dengan Rafael.
Ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman rumah Rafael. Tuan Arga turun dari sana dan seketika wajahnya terkejut melihat pemandangan di hadapannya.
“Sonya, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Tuan Arga dengan tatapan lekat. Ia merasa marah melihat Sonya yang masih memiliki keberanian untuk menemui putranya.
“S-saya hanya ingin menemui Rafael dan mengembalikan cincin pertunangan kami,” jawab
Sonya dengan wajah tertunduk. Ia merasa tidak pantas karena sudah menyakiti hati tunangannya.
“Cih, untuk apa kamu menemui putraku? Apa kamu belum cukup mempermalukan keluarga kami. Seharusnya kamu bersyukur dan berterima kasih kepada Stella. Kalau dia tidak datang, maka aku sudah menjebloskanmu ke dalam penjara. Aku benar-benar kecewa denganmu, Sonya!” Tuan Arga berbicara dengan nada sinis. Laki-laki itu merasa dipermainkan oleh Sonya.
“Paman, aku tidak bermaksud mempermalukan kalian. Sungguh, semua ini diluar kuasaku. Aku meminta maaf karena sudah mengecewakan kalian.” Sonya hanya terisak sambil menahan sesak di dalam dadanya. Ia tidak mungkin menceritakan peristiwa yang sudah menimpanya.
“Jangan coba-coba mencari pembelaan. Rafael sudah bahagia dengan Stella dan kamu tidak berhak mengusik mereka. Kamu yang membuang putraku dan kini, sebaiknya kamu pergi dan menghilang dari kehidupan kami!” Tuan Arga meminta Sonya meninggalkan kediaman putranya. Ia tidak sudi melihat perempuan itu berada di sana.
“Ayah, tolong jangan usir Sonya. Biar aku yang berbicara padanya!” Rafael tampak tidak terima dengan ucapan ayahnya. Ia melarang Tuan Arga mengusir Sonya.
“Rafael, apa kamu sudah gila? Kamu sudah memiliki Stella dan kamu lebih memilih gadis itu? Apa kamu lupa, kemarin dia telah mempermalukan dan menginjak-injak harga diri kita? Kalau bukan karena Stella, nama baik kita akan hancur di hadapan para tamu undangan.” Tuan Arga sangat marah dan melarang putranya mengejar Sonya. Rasa sayangnya berubah menjadi rasa benci setelah Sonya berani meninggalkan putranya di hari pernikahan mereka.
Sonya yang merasa tidak enak, memilih pergi dan berpamitan kepada Tuan Arga dan Rafael, sungguh dirinya tidak pernah menyangka kalau semua ini akan menjadi mimpi buruk di dalam hidupnya.
Dengan langkah tergesa, ia segera berlalu dari hadapan Rafael yang tengah berdebat bersama Tuan Arga.
Gerimis turun bersama buliran bening yang jatuh di pipi Sonya. Ada kesedihan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hari ini, Rafael bahkan terlihat sangat membenci Sonya dan menganggap dirinya sebagai pengkhianat. Apa ini balasan yang harus ia terima? Sungguh, dunia seakan tidak adil padanya.
“Tuhan, kenapa semuanya terasa begitu berat? Apa salahku kepadaMu?” isak Sonya dengan air mata yang berderai. Ia mempercepat langkahnya ketika rintik hujan mulai turun membasahi bumi.
Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti tepat di sisi Sonya. Seorang laki-laki berkaca mata hitam tengah duduk di kursi kemudi dengan tatapan lurus ke depan.
Sonya tampak terkejut dan menghentikan langkahnya. Ia berdoa, semoga saja pengemudi mobil itu tidak berniat jahat kepadanya.
***
Bersambung
“D-datang bulan?” tanya Sonya dengan tatapan terkejut. Seketika ia sadar kalau dirinya sudah terlambat datang bulan.“Ya, kapan Anda terakhir datang bulan?” ucap Dokter Shesa dengan senyum di wajahnya.“Awal bulan lalu,” jawab Sonya dengan tatapan cemas. Apa pelayan di rumahnya benar, kalau dirinya kini tengah mengandung? Kalau benar, ini adalah kabar bahagia untuk keluarga besar mereka. Namun, kalau kabar ini salah, pasti Oliver akan kecewa.“Kenapa kamu diam saja? Apa kepalamu masih pusing?” tanya Oliver dengan penuh kelembutan.“T-tidak, aku hanya khawatir kalau kamu akan marah padaku,” jawab Sonya dengan wajah tertunduk dalam.“Marah? Kenapa aku harus marah?” tanya Oliver dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Aku takut mengecewakanmu. Kalau aku tidak hamil bagaimana?” lirih Sonya dengan nada penuh kegelisahan.“Sonya, kamu bicara apa? Kalau kamu tidak hamil, bagiku tidak masalah. Apa kamu lupa kalau kamu sudah memberikanku ketiga anak-anak hebat yang melengkapi kebahagiaan rumah t
Tiga bulan kemudian“Hoek! Hoek! Hoek!” Sonya kembali memuntahkan isi perutnya dengan kepala yang berdenyut hebat. Wanita itu merasa aneh dengan rasa mual yang beberapa hari ini kerap menyerang dirinya. Padahal akhir-akhir ini, ia merasa kondisinya baik-baik saja. Namun, rasa mual itu membuatnya semakin tersiksa.“Sonya, apa kamu baik-baik saja?” seru Oliver dengan nada cemas. Laki-laki itu tampak gelisah ketika menunggu Sonya yang tidak kunjung keluar dari kamar mandi.“Y-ya, aku baik-baik saja.” Sonya menjawab dengan nada lemah. Wanita itu tampak menyadandarkan dirinya ke dinding kamar mandi sambil memijit pelipisnya yang berdenyut.Oliver yang tampak cemas, segera membuka pintu dan masuk ke dalam. Laki-laki itu sangat terkejut ketika mendapati istrinya tengah bersandar di dinding dengan wajah pucat pasi.“Sonya, apa yang terjadi? Apa kamu sedang sakit?” tanya Oliver dengan tatapan penuh kekhawatiran. Ia dengan sigap menggendong tubuh istrinya dan membawanya keluar dari sana.Dengan
Yura melangkah dengan wajah tertunduk. Sesekali wanita itu menggenggam erat tangan ayahnya. Ada kegelisahan yang terpancar jelas di wajahnya.“Jangan takut, semua akan baik-baik saja!” ucap Tuan Yoshio dengan penuh kelembutan. Laki-laki itu segera mengantarkan putrinya menuju ke pelaminan. Di sana Zack sudah menunggu sang mempelai dengan senyum yang tergambar jelas di wajahnya.Tuan Yoshio mengantarkan Yura ke pelaminan. Laki-laki itu menyerahkan tanggung jawabnya kepada Zack, pria yang kelak akan mendampingi putrinya dalam suka maupun duka.“Zack, aku serahkan putriku padamu dan aku harap, kamu tidak akan menyakiti atau menyia-nyiakan dia!” ucap Tuan Yoshio dengan netra mengembun. Untuk pertama kalinya laki-laki itu merasakan kesedihan yang begitu besar di dalam hidupnya. Melepaskan Yura adalah hal terberat di dalam hidupnya.“Tuan, saya akan menjaga Yura sebaik-baiknya.” Zack berbicara dengan tatapan lekat. Laki-laki itu tahu kalau Tuan Yoshio sangat mencintai putrinya.Setelah berb
“James, waktuku sepertinya telah tiba,” lirih Alia dengan tatapan menerawang.“Tidak Alia, kamu pasti akan sembuh. Jangan berbicara seperti itu!” ucap Tuan James dengan tatapan yang begitu lekat.Namun, genggaman tangan Alia semakin melemah. Wanita itu hanya berbisik pelan kepada James untuk kembali kepada Dayana.“J-james, kembalilah kepada Dayana dan hiduplah bersamanya,” bisik Alia dengan tatapan sendu. Wanita itu seakan ingin menebus kesalahannya kepada Dayana.“Ya, aku akan hidup bersamanya, namun berjanjilah untuk terus berjuang. Kamu pasti akan sembuh dan kita dapat hidup bersama-sama.” Tuan James menggenggam erat tangan Alia. Laki-laki itu takut terjadi apa-apa dengan istrinya.Wajah Oliver tampak pucat pasi. Laki-laki itu tidak menyangka kalau kondisi Alia akan memburuk. Tadi, mereka sempat berbincang panjang lebar mengenai asal usul dirinya. Alia bahkan meminta Oliver untuk berbakti kepada ibu kandungnya. Wanita itu meminta sang putra untuk memaafkan apa pun kesalahan ibu ka
“Bu, apa yang Ibu katakan? Kenapa Ibu menangis?” tanya Zack dengan penuh rasa penasaran. Ia takut telah terjadi sesuatu pada ibu kandungnya.Nyonya Prita hanya tersenyum dan mengusap air matanya. Wanita itu menggeleng pelan dan meminta putranya untuk tetap fokus mengemudi.“Zack, jangan mencemaskanku. Aku baik-baik saja,” jawab Nyonya Prita dengan senyum di wajahnya. Wanita itu kembali terdiam dengan tatapan sendu. Entah kenapa, dadanya berdebar hebat ketika membayangkan sosok Oliver yang akan ditemui olehnya. Wanita itu hanya berharap kalau Oliver mau menerima dirinya sebagai seorang ibu yang telah melahirkan laki-laki itu ke dunia.Setelah menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang dituju. Nyonya Prita segera turun dengan langkah tergesa. Wanita itu seakan sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sosok yang sangat dirindukannya.“Bu, tunggu!” seru Zack dengan nada cemas. Ia merasa aneh dengan gerak-gerik ibu kandungnya. Namun, Bibi Weni segera menghentikan langkah
“Zack, ayo cepat bersiap-siap. Setelah selesai sarapan, kita akan pergi!” ucap Nyonya Prita dengan nada serius. Wanita itu meminta putranya untuk segera bersiap-siap.“Pergi? Kita akan pergi ke mana Bu? Apa kita ada agenda bertemu seseorang?” tanya Zack dengan kening mengernyit. Laki-laki itu tampak keheranan mendengar ucapan ibunya.“Cepatlah bersiap-siap, kita akan segera sarapan!” jawab Nyonya Prita dengan tatapan lekat. Wanita itu tampak sibuk menyiapkan menu makanan di meja makan.Bibi Weni mendekat dan menatap kakak perempuannya dengan perasaan campur aduk. Wanita itu tahu kalau Prita tengah larut dalam kegelisahan di dalam dirinya.“Prita, apa kamu sudah siap untuk menemui Oliver?” tanya Bibi Weni dengan tatapan penuh perhatian.“Ya, tadi Tuan James menghubungiku. Dia memintaku untuk segera datang ke rumah sakit karena Alia memintaku untuk segera datang ke sana.” Nyonya Prita berbicara dengan nada serius. Wanita itu memang sempat beberapa kali berkomunikasi dengan Tuan James da