Share

GAIRAH CINTA TERLARANG
GAIRAH CINTA TERLARANG
Penulis: Novi Aprilia

Curiga

GAIRAH CINTA TERLARANG

Part 1

"Ma, Papa keluar negeri satu minggu, ada tugas luar yang harus Papa kerjakan," ucap Mas  Satria seraya melingkarkan tangannya di pinggangku.

Perlahan, dia meletakkan kepalanya diceruk leherku, hingga hembusan napasnya membangkitkan bulu kudukku.

"Tugas apa lagi sih, Pa? Perasaan akhir-akhir ini Papa sering keluar negeri," jawabku dengan nada kesal. 

Wanita mana yang rela ditinggal lama-lama oleh suami mereka. Menghabiskan malam panjang seorang diri itu cukup membosankan. Itu yang aku alami hampir beberapa tahun terakhir. 

"Mama sayang, Papa cari uang untuk membahagiakan kalian, untuk masa depan Rangga dan Adiba serta calon buah hati kita," sahut Mas Satria sembari mengusap lembut perutku yang tengah hamil delapan bulan. Lembut suaranya meredakan rasa kesal yang semakin meradang di hati.

"Iya Pa, tapi, kami juga butuh perhatian dan waktu Papa. Uang kita sudah banyak. Semua orang tahu akan hal itu. Mama butuh waktu dengan Papa. Anak-anak butuh perhatian Papa," ucapku dengan nada kesal. Mulut kumanyunkan lima senti. Biar Mas Satria mengerti akan kekesalanku.

"Papa janji, sepulang dari luar negeri kita liburan kemana Mama suka ..." 

"Horeee!" selaku cepat. 

Bersorak kegirangan seperti anak TK. Janjinya sedikit memberi ruang bahagia. Meski, janji itu bisa saja tercancel seperti yang telah berlalu. Positif thingking, hal yang selalu kutanamkan dalam pikiran. Suamiku pergi bekerja. Mengumpulkan rupiah untuk kebahagiaan keluarga kami.

"Tapi, jangan lama-lama pulangnya, sebentar lagi Mama mau melahirkan. Jangan sampai melahirkan ditemani orang lain," tukasku pelan sambil menatap bola mata sayunya.

"Sekarang Papa harus berangkat, nanti ketinggalan pesawat." Mas Satria mengecup lembut pucuk kepalaku. Mengelus kembali perut buncitku. 

"Hati-hati di jalan ya, Pa." Aku memeluknya erat. Sedetik kemudian, melabuhkan kecupan hangat di bibirnya. 

Mas Satria mengusap pelan wajahku. Membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Dia mulai mengesek-gesekkan hidung mancungku dengan hidungnya. Hal yang selalu dia lakukan, seolah menjadi candu baginya.

Aku mengantarnya sampai ke pintu depan. Bergelayut manja di lengannya. Kehidupan sempurna yang kujalani dengan Mas Satria. Lelaki tampan dengan kelembutan luar biasa dalam memanjakanku.

"Nanti Papa telpon, tenang saja, jangan banyak pikiran!" Mas Satria melepaskan tanganku dari lengannya. 

"Roby, jaga Bapak, ya," pintaku pada asisten pribadi Mas Satria. Roby senantiasa bersama suamiku. Anaknya sopan dan pekerja keras. Alasan yang Mas Satria utarakan kepadaku. Sehingga, memilih Roby menjadi orang kepercayaannya.

"Siap Buk!" Roby memberi hormat kepadaku. Mengulas senyum manis seperti biasanya.

"Kalau Bapak macam-macam, hubungi saya secepatnya," bisikku pada Roby. Mas Satria memicingkan mata ke arah kami. Aku mengulum senyum seraya mengancungkan jempol ke arahnya.

Roby mengangguk pelan. Mengangkat koper Mas Satria untuk dinaikkan ke mobil. Sebelum itu, dia menatapku dengan tatapan aneh yang tak mampu kuartikan. Aku hanya melambaikan tangan ke arahnya. 

Keresahan bertandang dalam diri, saat suamiku bekerja di luar sana. Ketakutan kehilangannya selalu menghantui. Cintaku terlalu dalam untuk lelaki yang telah menemaniku selama tujuh tahun.

Parasnya tampan, postur tubuhnya yang atletis, serta jabatan dan finansialnya yang sangat mapan membuatku gelisah. Hidupku sudah sepenuhnya aku gantungkan kepadanya. Bukan karena materi tetapi karena hatinya. Aku tidak mampu membayangkan, jika, dia meninggalkanku demi wanita lain.

Aku Tania Larasati, ibu rumah tangga yang memiliki dua orang buah hati yang lucu dan menggemaskan. Suamiku Satria Wijaksono, lelaki hebat yang memiliki perusahaan ternama di kota tempat tinggalku. Hidupku dipenuhi gelimangan harta dan cinta.

Menikah dengannya bukan semata-mata karena harta, karena, aku juga dilahirkan dari keluarga yang memiliki kehidupan yang mewah. Harta bukan hal baru bagiku. Kasih sayang yang dia berikan membuat hidupku lebih berwarna.

Dulunya aku bekerja di perusahaan keluargaku. Namun, Mas Satria memintaku untuk resign dan lebih fokus pada keluarga. Aku menuruti kemauannya, Mas Satria pun memenuhi segala inginku. Memenuhi janji yang dia ucapkan di depan kedua orang tuaku.

Mas Satria selalu terbuka kepadaku tentang segala hal. Tidak ada rahasia antara kami berdua. Aku pun percaya sepenuhnya. Cinta dan kasih sayangnya hanya untuk kami. Rasa percaya yang terlalu besar untuknya. Aku tak dapat membayangkan, jika suatu saat kepercayaanku di khianati olehnya.

***

Satu bulan kemudian, aku melahirkan untuk ketiga kalinya, kali ini, bayi perempuan yang munggil dan lucu. Raut wajahnya mewarisi wajah papanya. Kami memberi namanya Arisya. Kebahagian semakin sempurna. Mas Satria semakin perhatian dan memperlakukanku layaknya ratu.

"Selamat ya Pak, akhirnya Bapak punya bayi lagi, wah, makin rame nih," ucap Roby sembari menjabat tangan Mas Satria.

Roby dan Mas Satria sangat dekat. Mereka berdua bagaikan Kakak dan Adik. Bahkan Mas Satria menyiapkan paviliun di belakang rumah untuk Roby tinggali.

"Iya Rob, banyak anak banyak rezeki, hahahha ...." Mas Satria tertawa bahagia.

"Banyaklah Pak, 'kan sudah lima ...."

"Lima, Rob?"  selaku cepat.

"Roby bercanda, Ma. Kita baru punya tiga, Ma. Maksud Roby kita harus punya lima anak, ya 'kan, Rob?" Sahut Mas Satria tenang, sedangkan Roby menundukkan wajahnya.

"Maaf Bu, iya, Bu. Seperti bapak bilang, Ibu harus punya lima anak." Jawabannya berusaha tenang, aku bisa menangkap ketakutan di bola matanya.

"Nggak usah dipikirkan, Ma. Roby otaknya agak mereng, akhir-akhir ini dia banyak Papa kasih tugas." Mas Satria menjitak kepala Roby.

"Oouuchhh, sakit, Pak," ringgis Roby pelan.

"Udah ... udah, jangan dibahas lagi," tukasku.

"Saya permisi, Pak, Buk." Roby keluar dengan wajah lesu tidak bersemangat.

Ada segurat penasaran mengenai ucapan Roby tentang Mas Satria memiliki lima anak. 

"Apa maksudnya Roby berbicara seperti itu?" tanyaku dalam hati.

"Mungkinkah Mas Satria punya anak dari wanita lain?" 

Batinku bergejolak hebat. Pikiran mulai berkelana tak tentu arah. Suasana hening beberapa saat. 

Mas Satria menjatuhkan bokong di sisi ranjang. Menatapku penuh cinta, mencoba meyakinkanku, bahwa ucapannya benar adanya.

"Ma, Papa sayang sama Mama, Papa punya hadiah untuk Mama." Mas Satria meroggoh sesuatu dari kantong celananya.

"Hemmm ... apa, Pa?" Aku berusaha tenang, curigaku tidak beralasan.

"Taraaa!" Sebuah kotak beludru berwarna merah dia pegang di hadapanku.

"Apaan ini, Pa?" tanyaku penasaran.

"Buka sendiri!" Mas Satria menyodorkan kotak itu ke dekatku.

"Alhamdulillah, horeeee!" Pekikku tertahan, perutku masih sakit akibat luka jahitan melahirkan Arisya. Sebuah kalung berlian dengan liontin berhuruf 'T' Mas Satria hadiahkan untukku.

"Mama senang, 'kan?" tanya Mas Satria yang semakin mendekat ke arahku.

"Sangat, Pa. Terima kasih, Sayang." Aku mencium punggung tanganya takzim.

"Pa, Mama minta sama Papa jangan pernah duakan Mama, Mama tidak bisa hidup tanpa papa." Bulir bening mengalir dari kedua sudut mataku. Netraku menantap wajah mas Satria ada segurat kekhawatiran di wajah tampannya.

"Mama cukup." Mas satria meletakkan telujuknya di bibirku.

"Pa ... bersumpahlah padaku, jika Papa tidak pernah menduakan Mama." Pintaku dalam isakan tangis yang aku sendiri tidak tahu kenapa aku sampai terisak pilu.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cahaya Asa
Lanjut terus, Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status