Share

Wanita Misterius

GAIRAH CINTA TERLARANG

Part 2

"Assalamualaikum sayang!" Wajah Mama Mas Satria terlihat seiiring pintu kamar terbuka.

Secepat kilat kuhapus air mata, agar Mama Rina tidak melihat keresahanku. Ucapan Mas Satria pun terhenti. Tak ada gunanya berdebat untuk saat ini.

"Waalaikum salam, Ma," jawab Mas Satria bersemangat. Wajahnya berubah ceria melihat kedatangan mama. Aku mengulas senyum terindah menyambut mertua tercinta.

"Kali ini kamu selamat, Mas," lirihku dalam hati.

"Maafkan Mama ya, Sayang. Mama tidak bisa menemani kamu di rumah sakit kemarin," ujar mama Rina seraya mengecup keningku lembut.

"Tidak apa, Ma, Tania mengerti keadaan Mama yang super sibuk," jawabku seraya menyunggingkan senyum manis untuk mama mertuaku yang baik hati.

"Cucu mama mana, Nak?" Tanya Mama seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Itu, Ma." Tunjuk Mas Satria ke arah box bayi di sudut kamar.

"Alhamdulillah, sekarang mama memiliki tiga orang cucu yang lucu-lucu." Mama Rina mengecup pipi putri kecilku. Wajahny terlihat bahagia melihat cucunya. 

Mama Rina mengendong bayi mungilku. Tubuh kecilnya mengeliat manja dengan mata terpejam. Dia seperti mampu merasakan sentuhan Oma-nya. 

"Satria, kamu sekarang semakin tua, anak sudah tiga, jadilah imam yang lebih baik untuk Tania." Nasehat mama Rina lembut. 

Mas Satria tersenyum, berjalan mendekati Mama Rina yang sibuk menganggu cucunya yang kembali tertidur nyenyak. 

"Iya Ma, Satria berusaha menjadi imam yang baik untuk istri dan anak-anak Satria." Mas Satria melirikku dengan senyuman khasnya. 

"Dengerin tuh, Pa!" timpalku cepat. Kesempatan untuk memancingnya terbuka lebar. Namun, akan berefek tidak baik untuk semua, jika aku mencoba mengali hal yang menganjal dalam hati.

"Iya, Sayang!" Mas Satria melangkah mendekatiku. Tangan nakalnya menjawil hidungku manja.

Jujur di hatiku masih ada rasa tidak nyaman dengan ucapan Roby. Setelah kesehatan dan kekuatanku kembali seperti semula, titik terang dari kegelisahan hati harus kucari secepatnya.

Firasat mengatakan sesuatu yang tidak baik membayangi keluargaku. Entah itu bisikan iblis atau kenyataan. 

Secepat mungkin, mengembalikan suasana hangat. Percuma, jika momen bahagia ini terlewat begitu saja. Kutepis segala hal yang membebani pikiranku.

****

Hari ini tepat empat puluh empat hari aku melahirkan anak ketiga. Kami sekeluarga membuat acara aqiqah untuk putri kecil kami. Sebelumnya telah kami laksanakan pada hari ke tujuh. Namun, hanya keluarga dekat saja dan hari ini banyak tamu yang diundang oleh kedua belah pihak keluarga. 

Dua bulan ini, Mas Satria tidak ada acara keluar negeri atau pun luar kota. Sepulang dari kantor dia langsung kerumah. Perhatian penuh dia berikan untukku. Sehingga, kecurigaan yang membelenggu hati hilang untuk sementara waktu.

Roby tidak lagi tinggal di paviliun belakang rumah. Palingan sesekali dia ke rumah untuk mengantarkan berkas untuk Mas Satria. Dia terkesan menghindar dariku. Mas Satria juga jarang bercerita tentang Roby. Tidak seperti sebelum-sebelumnya.

Menurutku, ini suatu keanehan yang tidak mampu kuartikan. Roby yang dulunya tidak terpisahkan dengan Mas Satria. Tiba-tiba menjaga jarak seperti orang yang saling memendam amarah.

Ketika aku menanyakannya pada Mas Satria dan Roby. Jawaban mereka berdua sama persis, seperti telah direncanakan. Orang tua Roby di kampung menjadi alasan Roby tidak lagi tinggal di paviliun.

Kutepiskan segala pikiran yang tidak mengenakan hatiku. Selama dua bulan ini pun Mas Satria selalu di sampingku. Ponselnya pun tidak pernah dia rahasiakan dariku. Tidak ada alasan untukku cemburu tentang sesuatu yang belum jelas rimbanya.

Dari pagi rumah sudah di penuhi oleh keluargaku dan keluarga Mas Satria. Para tetangga yang datang membantu, meskipun semua sudah ada panitianya masing-masing. Akan tetapi, antusias para tetangga sangat membuatku takjub. Itu mungkin saja karena sikap Mas Satria yang selalu berbagi dengan mereka.

Semua sudah disiapkan dengan sempurna. Rangga dan Adiba sudah di ambil alih oleh adik-adikku. Mereka sangat dekat dengan anak-anakku. Rangga berusia enam tahun, sedangkan Adiba lima tahun. Jarak antara Rangga dan Adiba tidak terlalu jauh. Karena, setelah melahirkan Rangga aku tidak mengunakan alat kontrasepsi untuk jarak kehamilanku.

 Dekorasi nuansa putih biru memenuhi setiap ruangan. Dari pagar rumah hingga halaman, Mas Satria memerintahkan event organizernya mendekor sesuai dengan warna favoritku dan Mas Satria.

Baju untuk hari ini pun serba putih biru. Semuanya sudah terkonsep dengan rapi. Raut kebahagian jelas terpancar dari wajah Mas Satria.wajah tampan penuh pesona yang selalu membuatku tergila-gila.

"Mbak!" Tegur seorang wanita cantik yang berdiri tegak di hadapanku, dalam gendongannya seorang bayi perempuan yang imut. Sejenak, tertegun melihat wajah cantik yang sangat asing bagiku.

"Iya, maaf, siapa ya?" tanyaku lembut. Mengulas senyum ramah pada wanita berbulu mata lentik di hadapanku.

"Saya Karmila, mitra kerja Pak Satria," jawab wanita yang memakai kostum senada denganku. Tangannya  dijulurkan ke hadapanku.

"Oooo ... Saya Tania, istrinya Pak Satria." Kusambut hangat uluran tangannya.

"Iya, Pak Satria sering cerita banyak tentang Mbak," ujarnya dengan menatapku. Seolah-olah, dia telah lama mengenalku. Tak ada rasa canggung dari sikapnya.

"Cerita banyak, Bu?" selidikku dengan dahiku berkerut. 

"Iya, Pak Satria selalu memuji Mbak, Mbak wanita hebat dan paling dia cintai," jawabnya cepat seakan mengerti akan keherananku karena ucapannya. Senyumnya terlihat manis. 

"Hemmm ... Ibu bisa saja," jawabku tersipu malu.

"Jangan panggil Ibu, panggil saja Karmila, lagian umur saya lebih muda dari pada Mbak," pintanya seraya mengedipkan mata kepadaku. Sikapnya benar-benar aneh. 

"Oh ... ya ... baik Bu Karmila, eh, Karmila."  

Aku sampai belepotan bicaranya. Karmila wanita yang ramah. Dia bercerita banyak hal tentangnya dan keluargaku. Penasaran semakin membuncah setiap mendengar deretan kata yang keluar dari mulutnya.

"Ini ada kado untuk Arisya." Karmila menyodorkan sebuah kado yang dibalut kertas berwarna biru dengan motif bunga mawar putih.

"Terimakasih, sepertinya Karmila banyak tahu tentang keluarga kami." 

Ucapanku membuat mata Karmila membulat. Wajahnya dia tundukkan sejenak. Sepertinya, dia tidak menyangka, jika akan lahir pertanyaan yang membuat dia kesusahan mencari jawabannya.

"Ah ... tidak, Mbak, kami palingan sering cerita keluarga masing-masing saat jeda meeting atau pun jam makan siang," jawabnya tenang.

"Hemm, Karmila satu kantor dengan Pak Satria, ya?" Selidikku. Semakin lama rasa penasaran semakin mengalungi hati.

"Tidak, Mbak.  Karmila punya perusaan sendiri," sahutnya cepat. 

Dari jauh Mas Satria memperhatikan kami berdua. Sepertinya, dia sengaja membiarkan kami bicara. Hingga, dia datang menghampiri kami.

"Ma, sudah kenalan sama Mitra kerja papa, ya?" tanya Mas Satria, matanya melirik ke arah Karmila.

"Sudah Pa," jawabku asal.

"Ini anak kamu, Karmila?" tanyaku seraya meraba pipi mulus bayi dalam gendongannya.

"Iya Mbak, anak saya," jawabnya dengan senyum yang merekah.

"Berapa umurnya, sepertinya masih bayi sekali, ya?" Selidikku.

"Iya Mbak, lima bulan, Mbak, namanya Misya," tandasnya seraya melirik ke arah Mas Satria.

Gerak-geriknya mencurigakan. Wanita mana yang tak kan kesal. Wanita lain secara terang-terangan menatap suaminya dengan tatapan tak mampu kuartikan. Seperti, ada ikatan yang erat antara mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status